-
Kelompok Pro-KPK Dinilai Bergerak Tanpa Pola dan Konten yang Teratur
Senin, 14/10/2019 10:12 WIBYLBHI: Kekuatan Oligarki Kuasai Presiden dan DPR
Rabu, 18/09/2019 09:51 WIBICW Rilis Statistik Korupsi Politikus DPR
Minggu, 15/09/2019 23:02 WIBTekanan ke Jokowi, Friksi Pimpinan, Revisi UU KPK
Senin, 09/09/2019 11:24 WIBLindungi Semua yang Jihad Lawan Korupsi, NU Tolak Revisi UU KPK
Minggu, 08/09/2019 11:26 WIBJubir KPK, Ketua YLBHI dan Koordinator ICW Dituduh Sebar Berita Bohong
Kamis, 29/08/2019 11:57 WIBPansel Capim KPK: Jika Temuan Merupakan Kebenaran atau Berkekuatan Hukum Tak Ada Kompromi
Sabtu, 24/08/2019 16:16 WIBAbraham Samad: Pelemahan KPK Bisa dari Dalam
Kamis, 08/08/2019 22:52 WIBJenderal Polisi Dinilai Tidak Layak oleh Koalisi LSM
Minggu, 28/07/2019 04:05 WIBBorgol Para Koruptor
Jum'at, 04/01/2019 21:26 WIBKPK dan Kisah Para Konglomerat
Jum'at, 09/11/2018 22:26 WIBJangan Setengah Hati Usut BLBI
Senin, 23/04/2018 01:37 WIBKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melimpahkan berkas perkara atas nama mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung ke Pengadilan Tipikor Jakarta. Sidang akan segera dimulai. Inilah salah satu momentum besar bangsa ini untuk mengungkap skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Tapi benarkah demikian?
Apakah cukup dengan satu terdakwa, kasus BLBI berarti tuntas? Bukankah masih banyak obligor yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban namun tidak jelas ke mana rimbanya sekarang.
Video ini akan mengulas lagi duduk perkara BLBI yang sebenarnya. Penting disimak mengingat betapa negara berpotensi rugi ribuan triliun akibat kasus ini.
Menanti Gebrakan KPK Tuntaskan Kasus di 2018
Senin, 01/01/2018 13:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif berharap bisa menyelesaikan kasus korupsi e-KTP dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hingga tuntas. Selain itu juga KPK akan menggeber penyelesaian kasus lain yang sempat tertunda tahun lalu.
"Resolusi 2018, kasus e-KTP dan BLBI bisa diselesaikan tuntas," kata Syarif, Senin (1/1/2018).
Selain itu, Syarif berharap bisa membawa para tersangka korupsi korporasi ke pengadilan. Para tersangka korupsi di bidang sumber daya alam juga menjadi salah satu yang ditargetkan oleh Syarif untuk diberantas.
"Tindak pidana korupsi korporasi dan korupsi sumber daya alam lebih banyak yang sampai penuntutan," ujarnya.
Sebelumnya, Syarif mengatakan akan menuntaskan kasus-kasus yang tertunda di antaranya kasus yang melibatkan RJ Lino serta kasus Bank Century. "(Kasus) yang lain sedang dilakukan, misalnya penetapan tersangka yang tadi dikatakan, misalnya RJ Lino juga sekarang lagi dihitung (angka kerugiannya), bekerja sama juga dengan BPK. Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama. Kita jadikan prioritas di tahun 2018, jangan sampai kelamaan," kata Syarif kepada wartawan di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (27/12).
Beberapa kasus memang ada yang tersendat sepanjang 2017. Penyebabnya macam-macam, jumlah penyidik yang tak imbang hingga konsentrasi penyidik tersedot menangani kasus-kasus besar lain. Seperti dugaan korupsi proyek e-KTP dan penertiban Surat Keterangan Lunas BLBI kepada Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
KPK juga memilih bersikap hati-hati dalam pengumpulan bukti yang dimiliki. Kasus-kasus itu mandek dalam periode kepemimpinan Ketua KPK, Agus Rahardjo Cs, padahal kasus-kasus itu sudah naik ke tingkat penyidikan.
Berikut sejumlah kasus mandek.
1. Kasus TPPU Tubagus Chaeri Wardana
Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan divonis bersalah dalam kasus suap kepada Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Namun, Wawan masih harus menghadapi kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
KPK menetapkan Wawan sebagai tersangka pencucian uang, pada 13 Januari 2014. Tapi, hingga kini lembaga antirasuah itu belum meningkatkan kasus TPPU Wawan ke penuntutan.
Ratusan saksi telah diperiksa selama hampir empat tahun mengusut kejahatan penyamaran aset hasil korupsi suami Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany itu. Mulai dari penyelenggara negara, politisi, pihak swasta, hingga selebritis, telah dimintai keterangan untuk melengkapi berkas perkara Wawan.
Tak hanya memeriksa saksi, penyidik KPK turut melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap aset-aset Wawan yang disinyalir berasal dari praktik korupsi.
Aset-aset Wawan yang disita dalam kurun waktu tiga tahun terakhir di antaranya, aset bergerak, sekitar 74 mobil dan satu motor besar, serta 100 unit tanah dan atau bangunan yang berada di Bali, Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.
KPK menduga Wawan meraup keuntungan berlebih dari, sedikitnya 1.200 proyek di lingkungan Pemprov Banten, Kota Tangerang Selatan dan Kota Pandeglang, selama kurun waktu 2002 hingga 2013 lalu.
Adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah menggunakan 300 perusahaan fiktif, dalam melancarkan kejahatannya tersebut. Pemeriksaan saksi untuk kasus TPPU Wawan, dilakukan KPK pada awal tahun ini.
2. Kasus Korupsi Eks Dirut Pelindo II RJ Lino
KPK mulai penyidikan kasus dugaan korupsi Direktur Utama PT Pelindo II, Richard Joost Lino (RJ Lino), dengan surat perintah penyidikan tertanggal 15 Desember 2015.
Lino dijerat sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tiga unit quay container crane (QCC) alias mesin derek besar kontainer pada 2010.
Dia diduga menyalahgunakan wewenangnya dengan menunjuk langsung perusahaan asal Tiongkok, PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery. Co.Ltd., dalam pengadaan tiga alat berat tersebut. Dalam kasus ini negara ditaksir merugi hingga Rp60 miliar.
Lino sempat mengajukan gugatan praperadilan melawan KPK, namun kandas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada 26 Januari 2016. Lino juga sudah diperiksa sebagai tersangka pada 5 Februari 2016.
KPK telah memeriksa 60 saksi, yang terdiri dari unsur pejabat dan staf Pelindo II, pejabat Kementerian BUMN dan swasta. Bahkan, lembaga antirasuah telah mengirim penyidik ke Tiongkok untuk mencari bukti lainnya, dalam kasus Lino ini.
Belakangan, KPK kesulitan mendapatkan harga asli QCC, yang dibeli perusahaan plat merah tersebut dari perusahaan asal Tiongkok tersebut. Otoritas Tiongkok belum memberikan harga asli barang tersebut.
3. Kasus TPPU Rohadi
KPK menetapkan mantan panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Utara Rohadi sebagai tersangka gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), pada 31 Agustus 2016. Rohadi sebelumnya dijerat sebagai tersangka suap pengamanan perkara pedangdut Saipul Jamil.
Setelah pengusutan berjalan setahun lebih, penyidik KPK belum juga merampungkan berkas perkara Rohadi itu.
Dalam dugaan penerimaan gratifikasi dan TPPU, Rohadi diduga melakukan korupsi saat menjabat sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Pengadilan Negeri Bekasi terkait pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).
Rohadi disinyalir menyamarkan uang miliaran rupiah dari hasil korupsi.
KPK sudah menyita sejumlah aset milik Rohadi, di antaranya mobil ambulans, Mitshubisi Pajero Sport, Toyota Yaris. Kemudian uang Rp700 juta yang ditemukan di mobil Rohadi saat ditangkap penyidik KPK.
Selain itu, ada dua rumah di Perumahan Royal Residence Blok A6 Nomor 12 dan Blok D3 Nomor 8, Cakung, Jakarta Timur, Rumah Sakit Resya Permata, rumah di Cikedung dan di kampung Lungadung, Indramayu, serta satu unit Apartemen di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
KPK terakhir kali memanggil saksi-saksi untuk penyidikan kasus dugaan gratifikasi dan TPPU Rohadi pada Juni 2017.
4. Kasus Suap Eks Bos Lippo Group
KPK menetapkan mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro sebagai tersangka suap kepada mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, pada sekitar November 2016.
Dari surat dakwaan terhadap bekas pegawai Lippo Group Doddy Aryanto Supeno dan Edy Nasution, Eddy Sindoro disebut merestui pemberian sejumlah uang dengan total mencapai Rp2,3 miliar kepada mantan panitera PN Jakarta Pusat itu.
Sampai saat ini, Eddy Sindoro belum pernah diperiksa sebagai tersangka. Chairman PT Paramount Enterprise Internasional itu dikabarkan masih berada di luar negeri. KPK pun sudah meminta pihak imigrasi mencegah yang bersangkutan ke luar negeri sejak April 2016.
KPK sudah beberapa kali melayangkan surat panggilan untuk Eddy Sindoro, namun yang bersangkutan mangkir.
5. Kasus Suap Eks Dirut Garuda Indonesia
KPK menetapkan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan Soetikno Soedarjo, yang merupakan beneficial owner Connaught International Pte Ltd, sebagai tersangka suap terkait pengadaan mesin Rolls-Royce untuk pesawat Airbus milik Garuda Indonesia pada periode 2005-2014.
Emirsyah diduga menerima suap dari Rolls-Royce melalui Soetikno, CEO sekaligus salah satu pendiri PT Mugi Rekso Abadi (MRA). Suap yang diduga diterima Emirsyah yakni dalam bentuk uang sebesar €1,2 juta dan US$180 ribu, serta barang bernilai total US$2 juta yang tersebar di Indonesia dan Singapura.
Baik Emirsyah maupun Soetikno, mereka berdua telah diperiksa penyidik KPK, pada sekitar Februari 2017. Usai diperiksa KPK ketika itu, Emirsyah mengaku akan kooperatif selama penyidikan kasus suap ini.
KPK telah melakukan serangkaian penggeledahan dan menyita dokumen terkait kasus dugaan suap pembelian mesin untuk pesawat Garuda Indonesia. KPK mengonfirmasi pada Juni 2017, berkas perkara Emirsyah dan Soetikno bakal segera rampung.
Kasus-kasus di atas, merupakan kasus yang penanganan di tingkat penyidikannya memakan waktu hampir setahun hingga empat tahun.
Sementara itu, hingga 30 September 2017, KPK melakukan penanganan tindak pidana korupsi dengan rincian, penyelidikan 70 perkara, penyidikan 78 perkara, penuntutan 58 perkara, inkracht 48 perkara, dan eksekusi 49 perkara. (dtc/mfb)Ancaman PPP Mundur dari Pansus KPK
Kamis, 21/12/2017 13:55 WIBPartai Persatuan Pembangunan (PPP) mengancam mundur dari Panitia Khusus (Pansus) Angket KPK di DPR. Ancaman itu akan direalisasi jika Pansus belum menyelesaikan kerjanya pada masa sidang berikutnya.
"PPP sejak masa sidang yang lalu telah meminta kepada pimpinan dan anggota Pansus agar Pansus menyelesaikan masa kerjanya paling lambat akhir masa sidang yang akan datang (pertengahan Februari)," kata anggota Pansus Angket KPK dari Fraksi PPP, Arsul Sani, Kamis (21/12).
PPP sejauh ini belum memutuskan akan menarik diri dari keanggotaannya di Pansus. Saat ini Pansus masih menyusun laporan akhir untuk memberikan rekomendasi kepada KPK selaku objek Pansus Angket.
"Kami sampaikan, kalau sampai masa sidang yang akan datang tidak selesai, ya kami akan mundur," sebut Arsul.
Keberadaan Pansus Angket KPK kembali dipertanyakan setelah Golkar memilih ketum baru, yaitu Airlangga Hartarto. Sebagai penyumbang anggota terbesar, Golkar akan menggelar rapat internal untuk menentukan sikap terkait Pansus.
"Kami akan adakan rapat internal karena, berdasarkan mekanisme, itu ada mekanismenya di dalam DPR. Nah, tentu masa sidang kan sebetulnya akan mulai. Golkar nanti menyampaikan posisinya dalam masa sidang tersebut," ucap Airlangga, Rabu (20/12) malam. (dtc/mfb)Uji Materi Dicabut, Pansus KPK Tetap Bekerja
Jum'at, 08/12/2017 18:33 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah pihak yang sebelumnya mengajukan gugatan uji materi (Judicial Review) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3), terkait keabsahan pembentukan Pansus Angket DPR terhadap KPK mencabut gugatan tersebut dari Mahkamah Konstitusi (MK) . Adapun pemohon yang mencabut gugatan adalah mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas sebagai pemohon individu, Asfinawati mewakili YLBHI, Ilhamsyah dan Damar Panca Mulya dari KPBI serta Adnan Topan Husodo mewakili ICW
Menanggapi dicabutnya gugatan dengan nomor perkara 47/PUU-XV/2017 tersebut, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, Pansus Angket tetap dapat bekerja. "Status Pansus Angket sebagai produk DPR yang juga telah disahkan di paripurna, tidak lagi memiliki halangan hukum apapun dalam bekerja. Maka ini sesuai juga dengan hasil rapat Pimpinan Fraksi dan Pimpinan DPR yang menerima Pimpinan Pansus, agar Pansus terus bekerja," tegas Fahri, Jumat (8/12), seperti dikutip dpr.go.id.
Menurut Wakil Ketua DPR bidang Korkesra itu, sudah waktunya Pansus Angket meminta aparat Kepolisian untuk melakukan pendampingan dalam pelaksanaan tugasnya. Apabila ada pihak-pihak yang tidak mau dihadirkan secara sukarela, maka dalam panggilan ketiga, sudah bisa dihadirkan secara paksa.
"Kini, Pansus Angket sudah bisa melakukan pemanggilan paksa terhadap Pimpinan KPK. Tidak ada alasan lagi untuk tidak bisa hadir memenuhi panggilan Pansus Angket," tandas politisi asal dapil NTB itu.
Terkait pencabutan gugatan itu, Busyro Muqoddas mengaku hal itu dilakukan karena kecewa dengan insiden pertemuan Ketua MK, Arief Hidayat, bersama Komisi III DPR. "Kami sebagai warga negara termasuk teman-teman yang mewakili masyarakat sipil tadi kami mengajukan JR dengan harapan akan ada putusan yang jernih, yang benar adil dan menjauhkan dari pengaruh apapun juga. Tapi setelah ada masalah tadi, kedatangan yang bersangkutan (Arief Hidayat), ke Komisi III kami sepakat kita menjadi kecewa. Kecewa sekali dan putusannya kami menarik permohonan itu," ucap Busyro di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (7/12).
Menurut Busyro, dengan adanya pertemuan tersebut dia yakin hasil putusan terhadap gugatannya tidak akan sesuai rasa keadilan. Dia mengatakan, pertemuan Arief dan Komisi III DPR bisa mempengaruhi putusan, apalagi putusan itu dikaitkan dengan fit and proper test. "Kami semua melihat kedatangan yang bersangkutan ke DPR RI itu sebagai fakta yang kami memiliki rasa kekhawatiran yang cukup serius," ujarnya.
Sedangkan Adnan Topan Husodo selaku penggugat, mengatakan, dengan adanya pencabutan itu, diharapkan majelis etik MK melakukan tindakan. "Kita juga berharap majelis etik MK melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk kemudian menjernihkan kembali persoalan yang kemarin sempat muncul sekaligus memberikan kepastian pada masyarakat," kata Adnan yang juga peneliti ICW ini. (dtc/mag)