JAKARTA - Kalangan masyarakat sipil terus menekan Presiden Joko Widodo untuk melakukan langkah menghentikan pembahasan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Koalisi Masyarakat Sipil Kawal KPK—Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Indonesia Corruption Watch (ICW), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), LBH Jakarta, Pokja Implementasi UU Disabilitas, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, dan Perhimpunan Tuna Netra Indonesia (Pertuni)—meminta Presiden Jokowi tidak menerbitkan Surat Presiden (Surpres) atas revisi UU KPK yang diusulkan oleh DPR.

Selain itu, Koalisi juga meminta Presiden melakukan komunikasi intensif dengan parpol pendukung pemerintah untuk tidak melanjutkan rencana pembahasan revisi UU KPK.

Menurut Koalisi, dalam pernyataan yang diterima oleh Gresnews.com, Senin (9/9), kurang dari tiga hari sejak penyerahan nama capim KPK untuk diproses DPR, Badan Legislasi mengajukan rencana revisi UU KPK dalam Sidang Paripurna, yang rencananya akan disahkan kurang dari sebulan lagi, yaitu pada 24 September 2019.

“Pengajuan revisi UU KPK sama sekali tidak mengikuti tertib peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 45 Ayat (1) UU itu mengatur bahwa penyusunan RUU harus berdasarkan Prolegnas. Sementara revisi UU KPK kali ini tidak tercantum dalam daftar RUU Prioritas 2019. Lebih dari itu, inisiatif revisi UU KPK ini juga melanggar Peraturan Tata Tertib DPR sendiri yaitu Pasal 65 Ayat (1) yang menyatakan bahwa seharusnya Baleg DPR mengajukan usulan perubahan Prolegnas, bukan mengajukan RUU inisiatif sendiri,” kata Koalisi.

Polemik revisi UU KPK bukanlah barang baru. Gresnews.com mencatat pada 2015, pertentangan pendapat menajam dan di antara pimpinan KPK sendiri ketika itu terjadi kesimpangsiuran posisi. Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Taufiequrachman Ruki dituding menyetujui revisi UU KPK. Siapa yang melansir informasi itu? Bambang Widjojanto (BW)—Wakil Ketua KPK Nonaktif—dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu 13 Desember 2015. BW menyindir afiliasi kepentingan pimpinan KPK yang menyetujui revisi UU KPK itu. Asal tahu saja, Ruki berlatar belakang polisi dengan pangkat terakhir Inspektur Jenderal. Sementara itu BW berstatus nonaktif karena ditetapkan sebagai tersangka kasus kesaksian palsu dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri.

BACA: Polemik Pimpinan KPK Setujui Revisi UU 

Pelaksana Tugas Pimpinan KPK lainnya, Johan Budi Sapto Pribowo, menggelar jumpa pers, Rabu, 16 Desember 2015, yang intinya menegaskan pimpinan KPK solid menolak revisi UU KPK. Meskipun demikian, Johan mengakui saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR, pimpinan KPK menyetujui adanya revisi UU KPK sepanjang bukan draf versi DPR. Syarat revisi UU KPK, kata Johan, adalah DPR harus merevisi dulu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Johan juga mengungkapkan kronologi awal sikap pimpinan terhadap revisi UU KPK ketika Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung menanyakannya. Ada tiga inti jawaban: menolak adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) di KPK, menolak adanya Dewan Pengawas KPK, meminta KPK memiliki penyelidik, penyidik, dan penuntut umum sendiri di luar Polri dan Kejagung.

Di DPR, RUU Prolegnas masuk Prioritas Prolegnas 2015. Tapi dua fraksi yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerindra menolak revisi UU KPK.

Namun isu bergulir terus. Dalam Laporan Singkat RDP Komisi III DPR dengan KPK pada Kamis, 19 November 2015, dalam poin Pokok Pembahasan tercantum hal tentang penyempurnaan UU KPK. Menurut Laporan itu, penguatan kelembagaan KPK berfokus pada pengaturan tentang kewenangan KPK dalam hal penyadapan/merekam pembicaraan, pembentukan Dewan Pengawas KPK, mengeluarkan SP3, dan mengangkat penyelidik, penyidik, dan penuntut di luar Polri dan Kejagung.

Semua hal itulah yang saat ini ditentang oleh kalangan yang menolak revisi UU KPK. Sementara itu, Laporan/Risalah RDP Komisi III DPR dengan KPK itulah yang saat ini menjadi ‘senjata’ DPR bahwa revisi UU KPK akan dilakukan. (G-1)

BACA JUGA: