JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai ada pembelokan informasi yang disampaikan plt pimpinan KPK Taufiequrrachman Ruki, sehingga seolah-olah ia  menyetujui revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK. Padahal informasi yang dikutip dari pernyataan Ruki itu tidak lengkap. Sebelumnya Ruki menyatakan bahwa UU KPK bisa saja direvisi namun harus lebih dulu direvisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Meskipun DPR telah menyetujui bahwa revisi itu akan masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2015. Dalam pembahasannya revisi UU KPK juga harus melibatkan pemerintah. Jika pemerintah menolak tentu revisi itu tidak akan terjadi. Sebab revisi UU KPK harus disetujui bersama antara para anggota dewan dan pemerintah.

Salah satu pelaksana tugas KPK Johan Budi Sapto Pribowo meluruskan kesimpangsiuran informasi yang saat ini beredar. Menurut Johan, hingga saat ini kelima pimpinan baik pelaksana tugas maupun definitif kompak menolak adanya revisi jika isinya sama dengan draft yang beredar beberapa waktu lalu.

"Berkaitan dengan revisi UU KPK, sampai hari ini pimpinan KPK lima-limanya solid menolak revisi UU KPK, kalau revisi yang keluar dari draf di DPR. Konferensi pers 9 Oktober, kita tegas menolak revisi UU KPK," katanya.

Namun Johan mengakui, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR beberapa waktu lalu, pihaknya menyetujui agar revisi undang-undang KPK disetujui. Tetapi dengan syarat, para anggota dewan harus terlebih dahulu merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Berkaitan dengan RDP itu, mungkin kurang lengkap mendengarnya. Revisi UU KPK dilakukan jika DPR telah melakukan revisi dulu terhadap KUHP, KUHAP, UU 31 1999 (tentang Tipikor), baru kita bicara revisi UU KPK," tandas Johan.

SURAT MENSESKAB - Johan menceritakan kronologi awal dari pernyataan KPK tentang penolakan revisi tersebut. Pada akhir Oktober, Menteri Sekretaris Kabinet (Menseskab) Pramono Anung menanyakan mengenai pandangan KPK terkait revisi undang-undang.

Ada tiga poin penting sikap KPK dalam menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, mengenai kewenangan tentang diterbitkannya Surat Penghentian Penyidikan (SP3). Johan dengan tegas mengatakan bahwa pihaknya menolak hal tersebut.

Kemudian kedua, terkait pengangkatan penyelidik, penyidik dan penuntut oleh KPK. "Kita sampaikan KPK harus punya sendiri di luar kepolisian dan kejaksaan," tutur mantan Juru Bicara itu. Terakhir mengenai adanya dewan pengawas.

"Tidak benar pimpinan mengusulkan revisi. Kpk memberikan jawaban. Biar tidak ada simpang siur. Ini surat yang kita sampaikan dari presiden melalui Menseskab," imbuh Johan yang dalam surat balasan itu ia juga meminta agar pembahasan revisi UU KPK dilaksanakan pada akhir 2016 mendatang.

Ketua KPK sementara Taufiequrrachman Ruki yang hadir dalam konferensi pers itu, juga menyatakan hal yang sama. Ia membantah bahwa dirinya menyetujui revisi undang-undang lembaga yang telah dua kali dipimpinnya itu.

Ruki juga menolak bahwa dirinya kerap mengambil tindakan sendiri termasuk dalam menyetujui revisi undang-undang KPK. "Atas surat itu kami jawab, lima pimpinan tanda tangan," tandas Ruki seraya menunjukkan surat tersebut.

Ruki menyetujui peraturan perundang-undangannya lembaganya direvisi  asal bukan untuk memperlemah, tetapi memperkuat kinerja KPK. "Kami meminta agar pembahasan fokus pada penguatan kewenangan pada penyadapan, SP3, mengangkat penyelidik, penyidik dan penuntut, dan dewan pengawas. Pimpinan KPK meminta pemerintah untuk menolak pembahasan dengan DPR jika revisi mengarah pada pelemahan," ujar mantan komisaris Bank Jabar Banten itu.
 
Sebelumnya beredar kabar bahwa Taufiequrrachman Ruki menjadi salah satu pimpinan KPK yang paling berinisiatif agar menyetujui revisi UU KPK. Kabar ini mengemuka setelah Wakil Ketua nonaktif Bambang Widjojanto mengatakan dalam sebuah diskusi pada Minggu (13/12) lalu.

"Pemimpin KPK belum solid. Ada pimpinan yang menentang revisi, ada yang mendukung revisi UU KPK," ujar Bambang.

Pria yang kerap disapa BW ini mempertanyakan  afiliasi kepentingan pimpinan KPK yang menyetujui revisi tersebut. Ia mengaku khawatir jika direalisasikan, justru menghambat upaya pemberantasan korupsi.

Namun saat di kantor Presiden, Ruki justru mengatakan sebaliknya. Ia mengklaim bahwa seluruh pimpinan KPK menyetujui revisi tersebut. "Saya kasih tau ya, naskah usulan ditandatangani berlima. Iya, jangan munafiklah," tutur Ruki, Selasa (15/12).

REVISI UU KPK DISETUJUI MASUK PROLEGNAS 2015 - Dilansir dari situs dpr.go.id, pada rapat paripurna DPR kemarin, para anggota dewan menyetujui revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersama RUU Pengampunan Pajak menjadi Prioritas Prolegnas 2015.

Namun demikian, tidak semua para anggota DPR setuju. Tercatat ada dua fraksi yang menyampaikan penolakannya atas revisi tersebut, yaitu dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan juga Gerindra. Namun, penolakan ini dituding hanya sandiwara belaka, karena pada akhirnya mereka juga menyetujui revisi ini.

Rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan ini memang sempat berlangsung alot dan diwarnai lobi oleh para Ketua Fraksi. Beberapa Anggota Dewan menyampaikan interupsi, dan menyatakan penolakannya.

Alasan penolakan ini karena kedua RUU tersebut merupakan usul inisiatif DPR. Padahal sebelumnya RUU ini usulan pemerintah. Kedua fraksi yang melakukan penolakan adalah Fraksi PKS dan Fraksi Gerindra. Namun, setelah melalui perdebatan dan lobi-lobi, kedua fraksi itu akhirnya menyetujui.

"Catatan dari seluruh fraksi, menjadi bagian tak terpisahkan dalam pengambilan keputusan dalam RUU nanti. Saya mengharapkan, dalam proses pengambilan keputusan ini, aspek prudent menjadi prioritas kita bersama-sama," kata Taufik, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (15/12).

Taufik menambahkan, jika pembahasan ini tidak selesai pada Prolegnas 2015 namun sudah disepakati, maka akan menjadi pembahasan pada 2016. Mengingat masa sidang DPR pada 2015 ini kurang dari tiga hari lagi.

Selain itu, Taufik menegaskan revisi kedua UU tersebut merupakan usulan bersama antara DPR dan Pemerintah. Sedangkan untuk pembahasan seluruh pasal yang akan direvisi DPR dan Pemerintah bakal mempertimbangkan analisa dan masukan dari pakar.

Politisi PAN itu menambahkan, hasil forum lobi yang dilakukan di sela-sela Paripurna dengan seluruh Ketua Fraksi, sudah ada jaminan dari Pemerintah, yang diwakili Menteri Hukum dan HAM. Bahwa apa yang diputuskan dalam Paripurna ini sudah sesuai mekanisme dan akan ditindaklanjuti bersama Pemerintah.

"Keputusannya sekarang, dua RUU (Pengampunan pajak dan revisi UU KPK-red) masuk dalam Prolegnas dengan tidak meninggalkan catatan-catatan yang ada," imbuh Taufik.

Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Golkar Firman Soebagyo melaporkan, Baleg telah menerima usulan penambahan RUU tentang Pengampunan Pajak dan usulan agar penyusunan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Baleg pada 27 November 2015 lalu telah melakukan rapat kerja dengan Menkumham untuk membahas usulan tersebut. Dalam raker tersebut disepakati jika kedua RUU akan dipersiapkan dan menjadi kesepakatan bersama Pemerintah dan DPR,"kata Firman.

Dengan adanya usulan tersebut, maka jumlah RUU dalam Prolegnas Prioritas 2015 berubah dari 39 RUU dan 5 RUU Kumulatif Terbuka, menjadi 40 RUU dan 5 RUU Kumulatif Terbuka.

"Namun, perlu kami sampaikan, mengingat waktu yang sangat terbatas pada tahun 2015, maka penyiapan dan pembahasan kedua RUU tersebut tentunya dapat dilanjutkan pada Prolegnas Prioritas 2016," kata Firman.

Sementara itu dalam interupsinya, Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar Misbakhun mengatakan, perdebatan mengenai kedua RUU itu sebenarnya sudah rampung di Baleg. Menurutnya, memang ada sejumlah fraksi yang menyatakan setuju dan tidak setuju. Namun, ketika hal itu sudah menjadi keputusan di Baleg, seharusnya rapat paripurna tinggal mengesahkannya.

Sanggahan datang dari Anggota Komisi V DPR Nizar Zahro, yang menolak kedua RUU tersebut disahkan menjadi UU. Menurutnya, RUU Tax Amnesty adalah sesuatu hal yang kontradiktif, mengingat pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa telah diatur dalam UU.

Sudah jelas sifatnya memaksa bukan mengampuni. Kalau diteruskan pasal 23a, Fraksi Gerindra menolak keras RUU Pengampunan Pajak untuk jadi prioritas,” kata Nizar.

Selain menegaskan bahwa fraksinya, Fraksi Gerindra, sepakat menolak Revisi UU KPK, Nizar juga mengingatkan bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat 1, Presiden memang berhak mengajukan RUU ke DPR. "Kami (dari) fraksi menolak kedua RUU itu untuk masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional)," tegas politisi asal dapil Jawa Timur itu.


BACA JUGA: