JAKARTA - Telah satu tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja digawangi lima orang. Mereka adalah Firli Bahuri sebagai ketua, Alexander Marwata, Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, dan Nurul Ghufron sebagai wakil ketua.

Namun kinerja pimpinan KPK periode 2019-2023 yang dilantik di Istana Kepresiden pada Minggu 20 Desember 2019 masih jauh dari kata memuaskan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai masa depan pemberantasan korupsi semakin terancam.

Hal itu diakibatkan atas berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Revisi UU KPK) yang benar-benar telah mengubah arah pemberantasan korupsi.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan alih-alih menguatkan, produk legislasi baru tersebut telah mereduksi berbagai kewenangan KPK. Tak cukup di situ, problematika pemilihan hingga pelantikan komisioner periode 2019-2023 juga menjadi satu hal yang sangat krusial.

"Betapa tidak, KPK saat ini terlihat lebih sering menunjukkan kontroversi, ketimbang menuai prestasi," kata Kurnia melalui surat elektronik yang diterima Gresnews.com, Rabu (30/12/2020).

Alhasil kepercayaan publik terhadap KPK ternyata menurun usai UU KPK baru disahkan. Berdasarkan survei yang dilakukan Cyrus Network pada periode 24-30 Januari 2020, hanya 57% responden yang menilai KPK kuat, solid dan bisa dipercaya. Hal ini berbeda dengan Polri, yang memiliki tingkat kepercayaan sebesar 71%.

Berdasarkan survei Charta Politik pada Juli 2020, tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di angka 71,8%. Ini juga lebih rendah ketimbang Polri yang berada di angka 72,2%.

Sementara itu berdasarkan survei Indikator Politik pada 13-16 Juli 2020, tingkat kepercayaan publik kepada KPK ada di angka 24,7%. Hal ini juga lebih rendah ketimbang tingkat kepercayaan terhadap Polri yakni, 75,3%.

"Hal ini baru, sebab, dalam sejarah berdirinya KPK, lembaga ini selalu mendapat kepercayaan tinggi dari publik," jelas Kurnia.

Namun, kata Kurnia, menurunnya kepercayaan publik sebenarnya sudah diprediksi sejak jauh-jauh hari. Pada 2019, publik sudah mengingatkan pemerintah dan DPR bahwa kebijakan pemberantasan korupsi yang dilakukan menciptakan situasi stagnasi bagi penegakan hukum.

Misalnya, dalam konteks revisi UU KPK, legislasi itu telah mengikis pondasi utama lembaga pemberantasan korupsi, yakni independensi.

Hal itu jelas tampak dalam amanat Pasal 6 UNCAC yang telah diratifikasi melalui UU 7/2006 yang menyatakan lembaga antikorupsi bersifat independen dan terbebas dari kepentingan manapun. Bukan hanya kooptasi kelembagaan pada rumpun eksekutif semata, bahkan, status kepegawaian turut terkena imbasnya.

Dalam kurun waktu yang tak lama lagi, seluruh pegawai KPK akan segera bertransformasi menjadi aparatur sipil negara. Ditambah lagi dengan pembentukan Dewan Pengawas yang justru semakin memperlihatkan ketidakpahaman dari pemangku kepentingan terhadap suplemen pemberantasan korupsi.

Sebagai contoh misalnya, aksi demonstrasi #ReformasiDikorupsi medio Oktober 2019, publik juga sudah mewanti-wanti agar Presiden Joko Widodo dan DPR mengurungkan niat untuk memilih para komisioner yang memiliki rekam jejak bermasalah.

Namun, menurut Kurnia, saran itu seakan dianggap angin lalu saja. Saat ini kekhawatiran publik itu pun terbukti, tatkala mayoritas persoalan-persoalan di KPK bersumber dari para komisioner terpilih itu sendiri.

Mulai dari pelanggaran etik, menunjukkan gimik politik, sampai pada permintaan kenaikan gaji yang juga diikuti pembelian mobil dinas.

"Sehingga, wajar saja, jika beberapa akademisi sudah mulai memikirkan untuk meninggalkan KPK dari gerbong pemberantasan korupsi," katanya.

Kurnia mengatakan, khusus sektor penegakan hukum, temuan Indonesia Corruption Watch menemukan tren penindakan tahun 2019, terdapat penurunan signifikan atas penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum.

Selain itu, pada sektor peradilan pun belum menunjukkan perbaikan, rata-rata hukuman bagi terdakwa perkara korupsi sepanjang tahun 2019 hanya berkisar 2 tahun 7 bulan penjara.

"Di tengah kemerosotan pemberantasan korupsi di Indonesia, sangat disayangkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan DPR malah menambah asupan negatif dengan melemahkan KPK," kata Kurnia.

Kurnia melanjutkan berbagai regulasi yang dipandang dapat menguatkan penindakan perkara korupsi hingga saat ini tak kunjung diundangkan. Maka dari itu, menjadi hal yang wajar jika sejak awal publik skeptis terhadap komitmen eksekutif maupun legislatif.

Selain itu, dari sisi pemenuhan komitmen global, Pemerintah Indonesia juga dipandang belum serius dalam memenuhi komitmen global seperti UNCAC. Dari 32 rekomendasi dari hasil review UNCAC putaran pertama, Indonesia baru menyelesaikan sekitar 8 rekomendasi sedangkan dari 21 rekomendasi hasil review putaran kedua, Indonesia baru menyelesaikan sekitar 13 rekomendasi.

KPK mengidentifikasikan ada 6 isu prioritas yang perlu diselesaikan dari rekomendasi Review UNCAC Putaran I dan II Indonesia, antara lain sebagai berikut: Penyelesaian Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor); Peningkatan Transparansi dan Integritas Sektor Publik dan Penguatan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi; Peningkatan Transparansi dan Integritas Sektor Swasta; Penyelesaian Revisi Undang-Undang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (MLA); Penguatan Independensi dan Kelembagaan Lembaga Anti Korupsi; dan Penyelesaian Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.

Sementara itu, KPK menyampaikan catatan kinerja akhir tahun KPK 2020 atas realisasi anggaran dan penyelamatan aset negara yang dianggap telah menunjukkan kinerja membaik.

Pada tahun 2020 KPK mendapatkan Pagu Anggaran sebesar Rp920,3 miliar hingga 21 Desember 2020, dan KPK telah merealisasikan penggunaan anggaran sebesar 91,7% atau Rp 843,8 miliar.

"Realisasi anggaran tersebut berdasarkan jenis belanja, digunakan untuk Belanja Pegawai sebesar Rp611,1 miliar. Belanja Barang sebesar Rp186,7 miliar, dan Belanja Modal sebesar Rp46,1 miliar. Perbandingan realisasi anggaran berdasarkan jenis belanja, terlihat dalam grafis yang ditampilkan," kata Juru Bicara Ali Fikri melalui surat elektronik kepada Gresnews.com, Rabu (30/12/2020).

Sedangkan untuk serapan anggaran kedeputian, Fikri merinci antara lain. 1. Sekretariat Jendral Rp711,4 miliar (97%), 2. Kedeputian Informasi dan Data Rp64,3 miliar (80%), 3. Kedeputian Penindakan Rp35,8 miliar (72%), 4. Kedeputian Pencegahan Rp31,1 miliar (61%), 5. Kedeputian PIPM Rp1,2 miliar (35%).

Selanjutnya, dari hasil kerja tahun ini, kata Fikri, KPK sudah menyetorkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke kas negara senilai Rp120,3 miliar dengan rincian sebagai berikut.

Pertama, Denda Hasil Tindak Pidana Korupsi Rp14 miliar, Kedua, Uang hasil sitaan Tindak Pidana Korupsi Rp54,4 miliar, Ketiga, Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi Rp19,8 miliar, Keempat, Uang hasil sitaan Tindak Pidana Pencucian Uang Rp18,5 miliar, Kelima, Uang hasil lelang Tindak Pidana Korupsi Rp3,3 miliar, Keenam, Gratifikasi Rp2,9 miliar. "Ketujuh Jasa Giro Rp7 miliar," jelasnya.

Menurut Fikri, selain berkontribusi dalam penerimaan negara melalui PNBP, dari upaya pencegahan tahun ini. KPK juga berhasil menyelamatkan potensi kerugian keuangan negara.

"Sebesar Rp592,4 triliun dari upaya pemulihan, penertiban, dan optimalisasi aset," ungkapnya.

Selain itu, KPK dalam menjalankan tugas, melakukannya bersama-sama dengan jumlah pegawai 1.586 orang. Jumlah ini terdiri dari 5 orang Pimpinan, 5 orang Dewan Pengawas, 243 orang Pegawai Negeri yang Dipekerjakan, 974 orang Pegawai Tetap, dan 359 orang Pegawai Tidak Tetap.

"Selama tahun 2020, ada 43 pegawai yang mengundurkan diri dengan berbagai alasan," tutur Fikri.

Sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 19 Tahun 2019 bahwa Pegawai KPK adalah aparatur sipil negara sebagaimana peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara. Saat ini salah satu fokus KPK adalah melaksanakan proses alih status Kepegawaian.

"Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN diatur dalam PP 41 Tahun 2020," cetusnya.

Adapun salah satu upayanya mempersiapkan alih status tersebut adalah merumuskan Peraturan Komisi Tentang Alih Status yang saat ini masih dalam harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM. Selain itu KPK ikut merumuskan Peraturan Presiden tentang Gaji Pegawai KPK.

"Upaya lain yang tengah dilakukan adalah dengan merumuskan jabatan fungsional sesuai PP 41 Tahun 2020," tutupnya. (G-2)

 

BACA JUGA: