Pakar Hukum Sebut Alih Status Pegawai KPK Tak Boleh Rugikan Pihak Terkait
JAKARTA - Proses alih status para pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengundang polemik. Pertanyaan seleksi tak relevan lantaran menyangkut tata cara beragama, keimanan, bahkan hingga urusan seksual.
Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fahri Bachmid, mengatakan, bahwa Alih status pegawai KPK menjadi ASN sebagai konsekwensi berlakunya UU 19/2019 tentang KPK dilakukan tidak boleh serampangan dan wajib berpedoman pada kaidah-kaidah konstitusional sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Perkara Nomor : 70/PUU-XVII/2019.
"Sebab proses alih status pegawai KPK merupakan sebuah produk regulasi yang baru yang mana ada pihak-pihak yang terdampak langsung secara sistemik dari keberlakuan suatu norma baru, dan salah satunya adalah pegawai KPK," kata Fahri melalui pesan whatsapp yang diterima oleh Gresnews.com, Selasa (11/5/2021).
Fahri melanjutkan, bahwa secara doktrinal maupun prinsip-prinsip hukum pada hakikatnya eksistensi sebuah norma hukum itu tidak boleh merugikan pihak terkait yang berkepentingan langsung dengan objek serta organ yang diatur.
"Ini adalah sesuatu yang sangat elementer, karena terkait dengan dimensi hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi," jelasnya.
Hal itu, kata Fahri, dapat dicermati dan dilihat dalam UU No. 19/2019, bahwa ditentukan waktu untuk dilakukannya penyesuaian peralihan status kepegawaian KPK adalah paling lama 2 tahun sejak UU KPK berlaku.
Berkaitan dengan mekanisme penyesuaian tersebut telah diterbitkan instrumen hukum yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN (PP 41/2020), yang secara substansial desain dan konstruksi pengalihannya telah ditentukan skema pengalihan.
"Yaitu mulai dari pemetaan ruang lingkup pegawai KPK (apakah berstatus pegawai tetap atau pegawai tidak tetap) sampai dengan tahapan pengalihannya dengan melakukan penyesuaian jabatan pada KPK," tuturnya.
Dalam konferensi pers pada Rabu, 5 Mei 2021, Ketua KPK Firli Bahuri mengaku tidak tahu materi pertanyaan dalam tes itu. Dari 1.351 pegawai KPK yang menjalani tes wawasan kebangsaan itu disebutkan bila 75 orang di antaranya tidak memenuhi syarat dan 2 lainnya tidak hadir di tahap wawancara. Sedangkan sisanya yaitu 1.274 orang memenuhi syarat untuk menjadi ASN.
"Mohon maaf, itu bukan materi KPK, karena tadi sudah disampaikan yang menyiapkan materi siapa, penanggung jawabnya siapa, kan jelas tadi," ucap Firli.
Dua pegawai KPK buka-bukaan perihal model wawancara dalam tes itu. Keduanya yaitu Novel Baswedan dan Yudi Purnomo Harahap.
Untuk Novel, ada pertanyaan soal `orang-orang liar di KPK`.
"Itu soalnya aneh-aneh kok, anehnya parah. Dia nanya gini, `Pak Novel bagaimana dengan orang-orang KPK yang liar, yang tidak terkendali oleh pimpinan, oleh struktural atau pimpinan, bertindak sendiri-sendiri?` (Ditanya balik) `Maksudnya?`, `OTT-OTT sendiri tanpa izin, segala macam dan lain sebagainya`, saya bilang itu nggak mungkin karena mekanisme itu jelas," ucap Novel.
"Sekarang begini, saya dengarkan isu itu sudah lama, cuma Anda sebagai pewawancara kenapa kemakan isu itu. Terus saya bilang sama dia, bisa nggak orang yang menjadi informan ke Bapak disuruh mengkonstruksikan bagaimana caranya, kegiatannya apa, maksudnya kalau ada suatu tindakan yang liar gitu, coba gambarkan, tindakannya apa, apakah penggeledahan, apakah penyitaan, apakah OTT, harus jelas-konkret, coba konstruksikan, saya pastikan Anda gagal, karena apa? Itu hoaks," imbuhnya.
"Ketika aku jawab begitu, mungkin diambil kesimpulan, oh ini suka melawan atasan, ha-ha-ha...," sambung Novel.
Sedangkan Yudi yang juga Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo Harahap itu ditanya soal ucapan hari raya ke umat agama lain. Yudi sendiri merupakan seorang muslim.
"Saya heran ketika ada pertanyaan ke saya tentang apakah saya mengucapkan selamat hari raya ke umat beragama lain," kata Yudi dalam keterangannya, Jumat (7/5/2021).
Menurut Yudi, pewawancara seharusnya tidak mempertanyakan hal tersebut. Sebab, sejatinya, kata Yudi, mengucapkan selamat hari raya kepada umat lain merupakan hal lumrah yang dilakukan di lembaga antirasuah itu.
Yudi mengungkapkan perayaan seperti hari raya Natal, misalnya, selalu diadakan oleh KPK. Semestinya, lanjut Yudi, hal itu bisa menepis isu-isu `Taliban` dan radikal di tubuh KPK.
"Pada saat pandemi pun, perayaan Natal tetap diadakan di KPK dengan virtual dan saya pun juga memberikan sambutan. Saya sampaikan kepada pewawancara yang intinya bahwa di KPK kami walau beda agama tetap bisa kerja sama dalam memberantas korupsi. Jadi isu-isu radikal dan Taliban di luaran hanya isapan jempol," tuturnya.
"Saya pun menunjukkan bukti print foto kegiatan Natal kepada dua orang yang mewawancarai saya sebagai bukti," imbuhnya.
Fahri Bachmid menambahkan, untuk mengatur lebih lanjut mekanisme kerja pengalihan tersebut agar lebih cepat diwujudkan sesuai dengan kondisi faktual, bahwa PP RI No. 41/2020 menyerahkan pengaturannya dalam Peraturan KPK. Bahwa dalam Peraturan KPK inilah telah ditentukan penghitungan terhadap masa kerja dalam jenjang pangkat sebelum pegawai KPK menjadi ASN sesuai ketentuan Pasal 7 Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara.
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri telah memberikan tafsir konstitusional sebagaimana terdapat dalam pertimbangan hukum dalam Perkara Nomor : 70/PUU-XVII/2019, yang telah diputuskan/dibacakan pada hari Kamis, tanggal 8 Mei 2021.
MK menegaskan bahwa adanya ketentuan mekanisme pengalihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan kondisi faktual pegawai KPK.
Sudah ditegaskan oleh MK bahwa dengan adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana telah ditentukan mekanismenya sesuai dengan maksud adanya Ketentuan Peralihan UU RI No. 19/2019, maka dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut.
Sebab, menurut Fahri kembali, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan lagi, secara konstitusional.
"Itu sudah clear," tegasnya.
Selain itu, apa yang diputuskan oleh MK merupakan tafsir yang final dan definitive. Sehingga tidak perlu di reduksi ataupun diterjemahkan selain daripada yang telah digariskan oleh MK.
Artinya KPK tidak boleh membangun tafsir lain terkait status 75 pegawai yang tidak lolos dalam tes alih status menjadi ASN berdasarkan hasil asesmen TWK pegawai dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada 27 April 2021 lalu, artinya secara hukum, Putusan MK telah jelas sehingga idealnya putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019 merupakan pedoman serta acuan bagi lembaga negara terkait.
"Termasuk KPK untuk menjalankannya secara fungsional," ujarnya.
"Saya berpendapat bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) wajib menaati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut proses peralihan status menjadi aparatur sipil negara (ASN) tidak boleh merugikan hak pegawai. Itu adalah sifat putusan yang imperatif bagi KPK dan jangan abaikan perintah MK tersebut untuk menghindari tradisi pembangkangan terhadap konstitusi," pungkasnya. (G-2)
- MK Tolak Permohonan Uji Formil UU KPK yang Diajukan Mantan Pimpinan KPK
- Kecolongan Pencurian Barbuk, KPK Rotasi Lebih Sering Anggota Satgasnya
- Oknum Satgas KPK Dipecat Dewas Karena Curi Emas Batangan Sitaan
- KPK Eksekusi Politikus PAN Sukiman dan Mantan Dirut Jasa Tirta
- Janji KPK Kejar Buron Termasuk Harun Masiku pada 2021
- Satu Tahun Perjalanan KPK Era Firli Bahuri