JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan perkara tindak pidana korupsi pada proyek bioremediasi yang dilakukan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) masih terus disidik, termasuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA) terkait eksekusi uang pengganti kerugian negara sebesar Rp100 miliar. "(Perkara Chevron) kita tindaklanjuti sesuai putusan MA," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) R Widyopramono di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (26/3).

Dalam kasus ini sejumlah tersangka korupsi bioremediasi telah memiliki kekuatan hukum tetap setelah MA menolak kasasi para terdakwa. Putusan MA tersebut selain menghukum  terdakwa, Bachtiar Abdul Fatah, Ricksy dan Herland Bin Ompo dengan penjara 6 tahun juga mewajibkan terdakwa untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp100 miliar. Sedangkan tiga lainnya dalam proses kasasi, yakni Endah Rumbiyanti, Kukuh Kertasafari dan Widodo.

‎Perkara Bachtiar telah berkekuatan hukum tetap setelah kasasinya ditolak Mahkamah Agung (MA) pada Oktober 2014. Bachtiar sendiri ditersangkakan Kejagung pada 2012 bersama dua kontraktor bioremediasi yakni, Ricksy Prematuri selaku Dirut PT Green Planet Indonesia, dan Direktur PT Sumigita Jaya Herlan bin Ompo kemudian, empat pihak dari unsur PT Chevron yakni, Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, dan Alexia Tirtawidjaja.

Disinggung soal sita eksekusi PT Chevron, Widyo menegaskan eksekusi tersebut telah dibahas dalam rapat bersama para pihak. "Nggak hanya Indosat saja, Chevron sudah dirapatkan," kata Widyo

Dalam kasus proyek bioremediasi senilai US$270 juta ini, penyidik tidak menyentuh unsur pemerintah‎ dalam hal ini yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan BP Migas yang saat ini telah berganti menjadi SKK Migas. Widyo menegaskan telah melakukan koordinasi dengan dengan pihak-pihak terkait. "Tunggulah proses berikutnya, tunggu saat yang terbaik," tegasnya.

Widyo juga belum dapat memastikan kapan penyelidikan unsur pemerintah dimulai, pasalnya dalam kasus korupsi ini masih ada satu tersangka yang hingga kini masih buron yakni Alexia Tirtawidjaja

Unsur pemerintah patut dipertanyakan keberlanjutannya, setelah enam tersangka dari unsur swasta terbukti. Apalagi, praktik korupsi tidak mungkin bisa terjadi tanpa ada unsur pemerintah dan sebaliknya. Apalagi ada sampel Tph (Total Petroleum Hidrokarbon) temuan tim penyidik yang tenyata tidak bisa diuji, karena tiada alat pengujinya. Namun, justru KLH tetap merekomendasikan ke BP Migas untuk tetap membayar proyek yang bersifat cost recovery (dikerjakan, baru dibayar).

Sementara itu Kasubdit Penyidikan Kejaksaan ‎Agung Sarjono Turin mengatakan jaksa akan mempercepat kasus Chevron. Dia mengatakan penyidik terus berupaya membawa salah satu tersangka yang saat ini buron yakni Alexia mantan General Manager Sumatera Light North Operation PT CPI.

"Kita sudah bersinergi dengan Interpol di sana (Amerika Serikat) untuk mencari Alexia yang telah masuk DPO. Sampai saat ini kita masih menunggu kabar baik dari sana," kata Turin.

Seperti diketahui, Alexia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam perkara tersebut sejak tahun 2011 silam. Namun, sejak ditetapkan sebagai tersangka pihak Kejaksaan Agung sampai saat ini, Alexia tidak pernah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. Alexia melalui kuasa hukumnya yang berasal dari Amerika Serikat pernah menyampaikan kepada Kejaksaan Agung bahwa kliennya tengah menemani suaminya yang sedang sakit sejak tahun 2011 di Amerika Serikat.

Namun, beredar kabar bahwa Alexia bukan sedang mengurusi suaminya yang tengah sakit keras di Amerika Serikat, tetapi sedang bekerja di Kantor Pusat Chevron yang berada di AS, karena Alexia Tirtawidjaja telah mendapatkan promosi dan dipindahkan dari Indonesia ke AS.

Sementara terpidana Bachtiar Abdul Fatah akan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Salah satu novum dalam pengajuan PK ini, Bachtiar akan menyertakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatannya. Yaitu, putusan yang mengabulkan permohonan uji materi UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

Kuasa Hukum Bachtiar, Maqdir Ismail, mengatakan putusan MK ini akan melengkapi beberapa novum yang telah disiapkan. Putusan tersebut akan menunjukkan kesalahan kejaksaan dan hakim dalam menangani perkara tersebut. Novum yang lain, lanjut Maqdir, adalah hasil kajian yang dilakukan oleh para ahli terkait kasus bioremediasi.

"Putusan MK ini bisa digunakan sebagai salah satu novum, di samping ada hasil penelitian dari beberapa ahli untuk mencoba mengkaji, menurut ahli ada kesalahan prinsipil yang dilakukan ahli terdahulu," ujar Maqdir.

Sebagaimana diketahui, MK mengabulkan gugatan Pasal 59 Ayat (4) dan Pasal 95 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang diajukan oleh terpidana kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), Bachtiar Abdul Fatah.

BACA JUGA: