JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Kasus korupsi bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) hingga kini masih mangkrak. Kejaksaan Agung hingga saat belum dapat menghadirkan Direktur PT CPI Alexia Tirtawidjaja yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan dinyatakan buron. Meski telah menggandeng Tim Pemburu Koruptor nyatanya Alexia tak bisa tersentuh.

Kasus ini pun terkatung-katung hingga muncul persepsi Kejaksaan Agung tak serius mengungkap kasus bioremediasi ini. "Bukan tim jaksa tidak bekerja tetapi tersangkanya sudah berada di Amerika Serikat," kata Kepala Sub Direktorat Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Sarjono Turin, Jumat (1/5).

Tim jaksa mengaku telah memasukkan Alexia sebagai daftar pencarian orang pada Adhyaksa Monitoring Center. Tak hanya itu, tim juga telah meminta bantuan Kementerian Luar Negeri untuk melakukan upaya diplomasi agar bisa membawa Alexia ke Indonesia.

Sementara terkait aset yang akan disita dan uang pengganti sebesar Rp100 miliar, Turin mengaku  telah berkoordinasi dengan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta serta Kejaksaan Tinggi Riau. Namun hingga kini eksekusi atas aset dan uang pengganti itu belum juga dilakukan. Soal terhambatkan eksekusi ini Turin mengaku tak banyak tahu.

Sementara keterlibatan unsur pemerintah yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan SKK Migas, Turin mengatakan masih terus menyelidiki. Hanya saja ia mengaku, masih menunggu keterangan dari Alexia yang masih buron itu. "Tidak kita abaikan putusan dari pengadilan terhadap siapapun baik itu swasta maupun dari pihak pegawai pemerintah," tegas Turin.

Penyelidikan unsur pemerintah dipertanyakan perkembangannya, setelah enam tersangka dari unsur swasta terbukti. Apalagi, praktik korupsi tidak mungkin bisa terjadi tanpa ada unsur pemerintah dan sebaliknya.
Apalagi ada sampel Tph (Total Petroleum Hidrokarbon) temuan tim penyidik yang tenyata tidak bisa diuji, karena tiada alat pengujinya. Namun, justru KLH tetap merekomendasikan ke BP Migas untuk tetap membayar proyek yang bersifat cost recovery (dikerjakan, baru dibayar) tersebut.

Sebelumnya Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) R Widyopramono menegaskan akan melaksanakan apa yang menjadi putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukum bersalah Bachtiar Abdul Fatah, Ricksy Prematuri dan Herland Bin Ompo kurungan penjara 6 tahun dan mewajibkan terdakwa untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp100 miliar.

"(Perkara Chevron) kita akan tindaklanjuti semua," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) R Widyopramono di Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu.

Bachtiar ditetapkan tersangka pada 2012 bersama dua kontraktor bioremediasi yakni, Ricksy Prematuri selaku Dirut PT Green Planet Indonesia, dan Direktur PT Sumigita Jaya Herlan bin Ompo kemudian, empat pihak dari unsur PT Chevron yakni, Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, dan Alexia Tirtawidjaja.

Sementara pada awal Februari lalu, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum (JPU) dan memperberat hukuman terdakwa Ricksy. MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan menyatakan kembali kepada putusan Pengadilan Tipikor dengan menjatuhkan pidana 5 tahun penjara. Putusan itu sekaligus membatalkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang meringankan hukuman terdakwa menjadi tiga tahun.

Selain Ricksy, MA juga memutus sidang kasasi atas terdakwa Herland bin Ompo, Direktur PT Sumigita Jaya, pada April 2014. Herland dijatuhi hukuman 6 tahun penjara, denda ratusan juta rupiah, dan diwajibkan membayar yang pengganti kerugian negara sebesar USD 6,9 juta.

Pihak Chevron sendiri ketika dihubungi gresnews.com belum merespon terkait penyidikan kasus bioremediasi oleh Kejaksaan Agung. Namun dalam beberapa kesempatan pihak Chevron mengaku proyek ini masih sepenuhnya dibiayai Chevron dan tak menggunakan sepeser pun uang negara. Sehingga yang dimaksud kerugian negara belum terbukti.

BACA JUGA: