JAKARTA, GRESNEWS.COM – Penanganan kasus korupsi bioremediasi Chevron di Kejaksaan Agung tak kunjung tuntas. Pasalnya, mantan General Manager South Light North Operation PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) Alexia Tirtawidjaja yang merupakan salah satu kunci kasus ini, telah melarikan diri sejak dua tahun lalu.

Kejaksaan Agung memang telah memasukkan nama Alexia dalam daftar pencarian orang (DPO). Hanya saja, hingga kini Alexia tak juga bisa dipulangkan untuk diperiksa terkait kasus korupsi bioremediasi Chevron ini. Akibatnya, kasus korupsi bioremediasi Chevron ini tak kunjung tuntas.

Alexia adalah tersangka terakhir yang belum diajukan ke pengadilan, setelah enam tersangka lain dinyatakan bersalah dan dipidana berkisar dari dua sampai lima tahun. Enam tersangka yang sudah divonis bersalah, adalah Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, Widodo dan Bachtiar Abdul Fatah (PT CPI).

Lalu ada juga dua dari rekanan Chevron, yakni Ricksy Prematuri dan Herlan bin Ompo. "Kita telah berkoordinasi dengan semua pihak, bahkan saya telah bertemu dengan Dubes AS," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) R Widyopramono di Kejaksaan Agung, Selasa (5/5).

Upaya memulangkan Alexia yang kabur ke Amerika Serikat memang tak mudah. Apalagi diduga Alexia telah menjadi pegawai Chevron di Ameriksa Serikat sehingga mendapat perlindungan. Itu salah satu alasan Kejaksaan Agung kesulitan memulangkan Alexia melalui jalur ektradisi.

Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung Sarjono Turin menegaskan, tim jaksa penyidik yang menangani kasus korupsi bioremediasi Chevron ini bukan tak bekerja. Secara resmi pihaknya telah meminta bantuan interpol di Amerika Serikat melalui interpol Indonesia untuk menangkap Alexia.

Bahkan tim khusus yang dipimpin Sekretaris Jampidsus Arnold Angkouw telah pergi ke Amerika Serikat untuk mengejar Alexia. "Kita tunggu kabar baiknya dari sana (Amerika Serikat)," kata Turin.

Seperti diketahui, sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Alexia sudah terlebih dulu kabur ke Amerika Serikat. Kejaksaan Agung pun kesulitan melakukan pemanggilan atas Alexia untuk diperiksa.

Alexia mengelabui pihak Kejagung dengan memberikan keterangan melalui surat dari rumah sakit bahwa dia tidak bisa pulang ke tanah air. Salah satu alasannya karena masih menemani suaminya yang sedang sakit. Dia mengaku baru akan pulang usai suaminya sembuh.

Namun Kejagung kecele, sebab saat dipanggil untuk pemeriksaan penyidik, Alexia kembali mangkir. Dia tak mau kembali ke tanah air untuk diperiksa Kejaksaan Agung terkait kasus korupsi bioremediasi Chevron ini.

Terkait masalah ini, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM Hifdzil Alim menyayangkan lembaga seperti Kejaksaan Agung bisa dipecundangi oleh seorang Alexia sehingga sampai kini sama sekali belum diperiksa. Karena itu, dirinya mendesak Kejagung melakukan proses hukum sesuai ketentuan.

Kejaksaan Agung melalui Kementerian Luar Negeri harus berupaya mengektaradisi Alexia. Political will dari Kejaksaan Agung dan Pemerintah untuk menuntaskan kasus ini.

"Jika mau, bisa memulangkan Alexia ke Indonesia tinggal kesungguhan Kejaksaan dan pemerintah tuntaskan kasus ini," kata Hifdzil.

Kasus korupsi bioremediasi Chevron berawal saat Jampidsus Kejagung pada 5 Oktober 2011 mengeluarkan surat perintah penyidikan adanya dugaan korupsi proyek ini. Proyek ini dikerjakan PT Chevron dan BP Migas sejak 1994 dengan melakukan uji laboratorium. Lalu proses bioremediasi ini dioperasikan penuh sejak tahun 2003. Selanjutnya, proses ini ditenderkan kepada perusahaan PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya.

Namun proyek ini dinilai fiktif karena PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya sebagai pelaksana proyek ini, hanyalah kontraktor umum. Padahal, PT Chevron telah mengklaim biaya bioremediasi kepada pemerintah Indonesia melalui BP Migas sejak tahun 2003. Dari sana Kejagung menemukan kerugian negara sebesar Rp200 miliar dalam kasus korupsi bioremediasi Chevron ini.

BACA JUGA: