JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung benar-benar dibuat pusing tujuh keliling dengan sikap Mahkamah Agung dalam menangani kasus korupsi bioremediasi Chevron. Pasalnya, MA yang ditingkat kasasi masih memenangkan pihak Kejaksaan Agung dengan menghukum para terpidana kasus ini, tiba-tiba berubah arah 180 derajat di tingkat Peninjauan Kembali (PK).

Majelis hakim agung di tingkat PK malah mengabulkan PK yang diajukan oleh dua terpidana kasus ini yaitu Direktur PT Green Planet Indonesia Direktur PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya Herlan bin Ompo. Putusan ini jelas membuat pihak Kejaksaan Agung kelimpungan.

Pasalnya, hingga kini pihak Kejagung masih terus melakukan penyidikan terkait kasus tersebut. Keterangan para terpidana itu juga masih dibutuhkan untuk mengungkap lebih jauh kasus yang merugikan negara sebesar US$270 juta itu. Terlebih dalam kasus ini, masih ada satu tersangka yang berstatus buronan yaitu Alexia Tirtawidjaja.

Pihak Kejaksaan Agung pun menegaskan, pihaknya akan segera mempelajari putusan itu. "Itu justru yang kami sedang pelajari. Karena hingga ke tingkat banding, kami telah memenangkan perkara tersebut," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung M Rum kepada gresnews.com, Minggu, (25/9).

Rum mengatakan, Kejaksaan Agung belum bisa mengeksekusi putusan PK tersebut. Alasannya, pihak Kejagung belum menerima salinan putusannya. "Kita baru menerima petikan putusan," kata Rum.

Rum menegaskan, pihak Kejaksaan menghormati putusan MA tersebut, meski jaksa sudah membuktikan dua terpidana bersalah mulai dari pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri), pengadilan tinggi hingga tingkat kasasi di MA. "Itu sudah putusannya, tentu harus kita hormati dan kita laksanakan putusan itu," tukasnya.

Dia juga belum bisa menjelaskan langkah apa yang akan diambil Kejaksaan Agung dengan putusan ini. Pasalnya, Kejagung tak mungkin mengajukan PK karena sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan MA yang menyatakan penegak hukum termasuk kejaksaan tidak bisa mengajukan PK.

Pernyataan senada juga disampaikan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan Sarjono Turin selaku eksekutor. "Tunggu dulu, setelah kita terima salinannya," kata Turin.

Pihak Kejagung memang menghadapi persoalan rumit dengan adanya putusan PK itu. Pasalnya, lewat putusan itu, MA memerintahkan pihak Kejagung untuk segera mengeluarkan para terdakwa dari Rutan Sukamiskin, Bandung. Kejaksaan juga harus mengembalikan semua barang bukti milik Ricksy Prrematuri dan Herlan bin Ompo.

Jika kedua terdakwa itu dikeluarkan, dan barang bukti dikembalikan, Kejaksaan Agung jelas bakal kesulitan mengungkap lebih jauh kasus ini. Saat ini Kejagung memang tengah mengembangkan penyidikan untuk mengungkap keterlibatan pihak pemerintah.

Tim penyidik Kejagung tengah mengkaji kemungkinan menyidik keterlibatan pihak pemerintah yakni BP Migas (SKK Migas) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyusul ditolaknya permohonan kasasi lima tersangka dari unsur swasta. "Kita masih kaji," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah saat dikonfirmasi, di Jakarta, Sabtu (13/8).

Namun, Arminsyah belum bisa memastikan selesainya pengkajian akan dilanjutkan dengan penetapan tersangka. Menurutnya, kajian tersebut butuh kehati-hatian karena menyangkut kebijakan nasional. Selain itu, kasus tersebut juga melibatkan perusahaan besar yang berpengaruh di kancah internasional. "Supaya tidak menimbulkan dampak (bagi investasi dan pembangunan nasional)," terang Arminsyah.

Kini, rencana Kejagung terancam berantakan dengan dibebaskannya Ricksy dan Herlan. Bahkan Kejagung bisa direpotkan lebih jauh dalam kasus ini. Pasalnya, selain Ricksy dan Herlan, satu terpidana lain perkara ini, Bachtiar Abd Fatah (Eksekutif PT CPI) tengah mengajukan PK.

Sedangkan terdakwa lain yakni Endah Rumbiyanti, Kukuh Kertasafari dan Widodo, perkaranya dalam proses kasasi. Jika saja putusan MA atas para terdakwa ini sama dengan putusan terhadap Ricksy dan Herlan, bisa jadi harapan Kejagung membongkar kasus ini pupus.

BUKTI KEJAGUNG LEMAH - Sikap MA yang dinilai tak konsisten memang sempat dipertanyakan sebagian pihak. Sebab melalui putusan kasasi, MA telah menghukum para terpidana. Namun di tingkat PK, MA malah meloloskan para terpidana.

"Rasanya nalar kita diputar-balikan," kata Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman merespons putusan MA tersebut.

Namun dia mengaku, Kejagung juga punya andil atas terjadinya putusan PK kontroversial itu. saya juga memandang alat bukti jaksa yang hanya mengandalkan saksi ahli yang ´berkepentingan´ kurang kuat, karena tidak didukung alat bukti lain," katanya.

Kendati demikian, dia menyatakan putusan itu sudah final. "Karena jaksa adalah termohon PK dan sudah mengajukan dalil-dalilnya," tegas Boyamin.

Seperti diketahui, dalam putusan kasasi, pihak MA memang memperkuat putusan pengadilan di tingkat sebelumnya yang menghukum para terdakwa. Lewat putusan nomor: 2441 K/Pid.Sus/2013, 10 Maret 2014, MA menguatkan hukuman terpidana Herlan bin Ompo berupa pidana penjara selama enam tahun dan membayar denda sebesar Rp250 juta. MA juga menghukum PT Sumigita Jaya membayar uang pengganti kerugian negara sebesar US$6,9 juta.

Kemudian, lewat putusan nomor 2330 K/Pid. Sus/2014, 10 Februari 2014, MA juga menguatkan putusan atas Ricksy Prematuri dengan hukuman penjara selama lima tahun dan membayar denda sebesar Rp200 juta. MA juga menghukum PT Green Planet Indonesia membayar uang pengganti sebesar US$3,08 juta.

Atas putusan itu, Kejari Jakarta Selatan juga sudah mengeksekusi dan melelang barang bukti perkara Bioremediasi milik PT CPI berupa 15 kendaraan, di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, 27 November 2014.

Sayangnya, kedua terpidana kemudian mengajukan PK ke Mahkamah Agung. Keduanya mengajukan beberapa bukti baru dalam perkara ini. Hal-hal baru atau keadaan yang dianggap baru yang diajukan dalam memori Peninjauan Kembali tersebut antara lain :

Pertama, Surat Satuan Kerja Khusus Pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi kepada Direktur PT GPI yang menyatakan pengeluaran yang menjadi temuan pemeriksaan ditunda pembebanannya sebagai biaya operasi dan wajib dibukukan sebagai biaya yang ditangguhkan;

Kedua, Surat Vice Presidet PT CPI kepada Dirut PT GPI yang menyatakan dana untuk pembayaran ini diperoleh dari sumber pembiayaan internal PT CPI (sama sekali bukan berasal dari dana APBN);

Ketiga, Bukti Swift Inquiry Current yang menyatakan pembebanan biaya proyek bioremediasi sebesar US$9,86 juta dikeluarkan dari biaya operasi dan dana tersebut masih berada di SKK Migas cq Dirjen Anggaran Kementrian Keuangan;

Keempat, Surat Satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha huku minyak dan gas bumi (SKK Migas) kepada Presiden Direktur PT CPI yang menyatakan SKK migas telah mengeluarkan nilai pembebanan biaya proyek bioremediasi tersebut dalam perhitungan over (under) lifting tahun 2011.

Nah, di tingkat PK, rupanya majelis hakim agung menilai, novum yang diajukan pihak terpidana valid. Akibatnya majelis hakim PK menilai tidak ada kerugian negara dalam perkara ini. Adanya putusan PK ini juga dikhawatirkan akan berdampak pada status hukum para terpidana lainnya.

ALIBI CHEVRON - Terkait kasus ini, pihak Chevron memang sejak semula bersikukuh menegaskan tidak ada kerugian negara dalam perkara itu. Senior VP Policy, Government, & Public Affairs ‎Chevron Pacific Indonesia Yanto Sianipar, pernah mengatakan, yang terjadi dalam kasus ini justru sebuah kriminalisasi karena masalah perdata dibawa ke ranah kriminal. "Sebenarnya kasus itu lebih kepada administrasi negara," kata Yanto, di awal-awal merebaknya kasus ini.

Kejaksaan Agung kemudian menilai telah terjadi kerugian negara, karena ada penilaian uang cost recovery dari APBN digunakan untuk melakukan bioremediasi. Dia memang mengakui, ada masa dimana Chevron tidak memiliki izin bioremediasi, tetapi karena itu sedang dilakukan proses perpanjangan.

"Kita sedang perpanjangan, kita diminta mengoperasikan bioremediasi. Tapi dikatakan tidak ada izin. Uang cost recovery dipakai untuk proyek ilegal, ada kerugian negara. Padahal KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) menyebutkan perlu ada bioremediasi untuk kepentingan lingkungan," paparnya.

Oleh karena itu, Yanto tidak sepakat dengan anggapan telah terjadi korupsi. Dia juga dengan tegas menolak bioremediasi Chevron menggunakan teknologi yang tidak benar. "Kita tidak pernah terima uang sepeser pun. Dikatakan fiktif, teknologinya tidak benar. Padahal kita dijadikan contoh oleh KLH," sebutnya.

Kasus bioremediasi berawal saat Jampidsus Kejagung pada 5 Oktober 2011 mengeluarkan surat perintah penyidikan adanya dugaan korupsi dalam proyek ini. Proyek ini dikerjakan PT Chevron dan BP Migas (sekarang SKK Migas) sejak 1994 dengan melakukan uji laboratorium. Lalu proses bioremediasi ini dioperasikan penuh sejak tahun 2003. Selanjutnya, proses ini ditenderkan kepada perusahaan PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya.

Namun proyek ini dinilai fiktif karena PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya sebagai pelaksana proyek ini, hanyalah kontraktor umum. Padahal, PT Chevron telah mengklaim biaya Bioremediasi kepada pemerintah Indonesia melalui BP Migas sejak tahun 2003. Dari sana Kejagung menemukan kerugian negara sebesar Rp100 miliar.

Lima tersangka yang terbukti bersalah adalah Ricksy Prematuri (Dirut PT Green Planet Indonesia) dan Herland bin Ompo (rekanan PT Sumigita Jaya). Tiga lainnya, Manajer Lingkungan Sumatera Light North (SLN) dan Sumatera Light South (SLS) Endah Rumbiyanti, Team Leader SLN Kabupaten Duri Propinsi Riau Widodo, Team Leader SLS Migas Kukuh dan General Manager SLS Operation Bachtiar Abdul Fatah. Sementara General Manager SLN Operation Alexia Tirtawidjaja masih bersembunyi di Amerika Serikat.

BACA JUGA: