JAKARTA, GRESNEWS.COM  – Kejaksaan Agung berupaya memanggil mantan General Manager South Light North Operation PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) Alexia Tirtawidjaja yang diketahui berada di Ameriksa Serikat. Kesaksian Alexia dinilai penting untuk mengungkap peran unsur pemerintah dalam hal ini pihak Kementerian Lingkungan Hidup dalam kasus korupsi Bioremediasi Chevron,

"Kita komitmen tuntaskan kasus korupsi bioremediasi Chevron, keterangan (Alexia) jika ada fakta keterlibatan unsur pemerintah akan kita tindaklanjuti," kata Kepala Sub Direktoran Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Sarjono Turin kepada Gresnews.com, Sabtu (9/5).

Saat ini Alexia telah masuk daftar pencarian orang (DPO). Kejaksaan Agung juga telah meminta bantuan interpol Amerika Serikat melalui interpol Indonesia untuk memanggil Alexia. Namun surat yang dikirimkan Kejaksaan Agung belum mendapat balasan.

Namun Turin menegaskan tim penyidik kasus ini akan terus berusaha memanggil Alexia. Sebab keterangan Alexia akan memperkuat bukti terjadi korupsi bioremediasi oleh PT CPI. Termasuk melanjutkan kasus ini dengan menyeret unsur pemerintah.

Penyelidikan unsur pemerintah dipertanyakan keberlangsungannya, setelah enam tersangka dari unsur swasta terbukti. Apalagi, praktik korupsi tidak mungkin bisa terjadi tanpa ada unsur pemerintah dan sebaliknya.

Apalagi ada sampel Tph (Total Petroleum Hidrokarbon) temuan tim penyidik yang tenyata tidak bisa diuji, karena tiada alat pengujinya. Namun, justru KLH tetap merekomendasikan ke BP Migas untuk tetap membayar proyek yang bersifat cost recovery (dikerjakan, baru dibayar) itu kepada Chevron.

Alexia adalah tersangka terakhir yang belum diajukan ke pengadilan, setelah enam tersangka lain dinyatakan bersalah dan dipidana berkisar dari dua sampai lima tahun. Enam tersangka yang sudah divonis bersalah, adalah Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, Widodo dan Bachtiar Abdul Fatah (PT CPI). Lalu, dua dari rekanan Chevron, yakni Ricksy Prematuri dan Herlan bin Ompo.

Seperti diketahui, sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Alexia terlebih dulu kabur ke Amerika Serikat. Kejaksaan Agung melakukan pemanggilan untuk diperiksa. Namun Alexia mengelabui pihak Kejagung dengan memberikan keterangan melalui surat dari rumah sakit bahwa tidak bisa pulang ke tanah air.

Salah satu alasannya karena masih menemani suaminya yang sedang sakit. Baru dia akan pulang usai suaminya sembuh. Namun Kejagung kecele, sebab saat dipanggil untuk pemeriksaan penyidik, Alexia kembali mangkir. Enggan kembali ke tanah air untuk di periksa Kejaksaan Agung.

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengaku kecewa kasus korupsi bioremediasi Chevron masih menyisakan satu tersangka. Padahal Alexia penting untuk menuntaskan kasus ini yang diduga ada keterlibatan unsur pemerintah.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman meminta Kejaksaan Agung melalui Kementerian Luar Negeri harus berupaya mengekstradisi Alexia. Political will dari Kejaksaan Agung dan Pemerintah untuk menuntaskan kasus korupsi bioremediasi Chevron ini.

"Ya harus diproses hukum, jika tak jelas dan gantung Kejaksaan akan dituding ada main. Tersangka lain sudah vonis tapi ini (Alexia) tidak," kata Boyamin.

Kasus korupsi bioremediasi berawal saat Jampidsus Kejagung pada 5 Oktober 2011 mengeluarkan surat perintah penyidikan dugaan korupsi proyek ini. Proyek ini dikerjakan PT Chevron dan BP Migas sejak 1994 dengan melakukan uji laboratorium.

Lalu proses bioremediasi ini dioperasikan penuh sejak tahun 2003. Selanjutnya, proses ini ditenderkan kepada perusahaan PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya.

Namun proyek ini dinilai fiktif karena PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya sebagai pelaksana proyek ini, hanyalah kontraktor umum. Padahal, PT Chevron telah mengklaim biaya Bioremediasi kepada pemerintah Indonesia melalui BP Migas sejak tahun 2003.

Dari sana Kejagung menemukan kerugian negara sebesar Rp200 miliar dalam kasus bioremediasi Chevron ini.

BACA JUGA: