JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perkara korupsi bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) tak kunjung tuntas. Terpidana Bachtiar Abdul Fatah bahkan tengah menyiapkan upaya hukum luar biasa dengan melakukan Peninjauan Kembali atas vonisnya.

"Kita masih menunggu salinan putusan kasasi (MA), belum terima, sekarang belum apa-apa nanti kalau sudah kita ajukan PK," kata Maqdir Ismail, Kuasa Hukum Bachtiar Abdul Fatah dan CPI, kepada Gresnews.com ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (20/5).

Pihaknya mengaku memiliki bukti baru untuk mengajukan PK dalam kasus korupsi bioremediasi Chevron ini. Bukti tersebut adalah putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan uji materi Pasal 59 Ayat (4) dan Pasal 95 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang diajukan Bachtiar Abdul Fatah.

Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 59 Ayat (4) yang mengatur kewajiban izin pengelolaaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dinyatakan inkontitusional bersyarat. Sementara, Pasal 95 Ayat (1) menyangkut penegakan hukum lingkungan ditafsirkan wajib dilakukan secara terpadu oleh instansi terkait.

Dalam putusan bernomor 18/PUU-XII/2014, Mahkamah menyatakan Pasal 59 ayat (4) UU PPLH bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan bagi pengelolaan limbah B3 yang permohonan perpanjangan izinnya masih dalam proses harus dianggap telah memperoleh izin".

MK juga menghapus kata "dapat" dan memberi tafsir inkonstitusional bersyarat terhadap frasa "tindak pidana lingkungan hidup" dalam Pasal 95 Ayat (1) UU PPLH sepanjang tidak dimaknai "termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini".

Dengan begitu, Pasal 95 Ayat (1) UU PPLH selengkapnya menjadi "Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini, dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri".

Maqdir mengatakan putusan MK itu bertentangan dengan putusan MA. Dalam putusan MA disebutkan proyek bioremediasi yang dilakukan Chevron tidak berizin, sementara dari MK izin telah ada dengan pengawasan dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Menurut Maqdir dalam putusan MK itu menyatakan ketika orang sedang mengajukan izin perpanjangan perizinan pengelolaan limbah B3 tidak lantas dianggap tidak berizin. Namun, kasus yang dialami Bachtiar dalam kasus korupsi Bioremediasi Chevron, pihak kejaksaan menganggap perpanjangan itu dianggap tidak ada izin meski telah diajukan bukti. Terhadap putusan MK bisa jadi dasar untuk bukti baru dalam PK.

"Bisa, izin itu administratif dan MK punya kewenangan memutus, sementara di pengadilan pertama tidak ada izin," kata Maqdir.

Sementara itu, Kejaksaan Agung menyatakan tetap berkomitmen untuk menuntaskan kasus korupsi bioremediasi Chevron ini. Selain menyeret mantan General Manager South Light North Operation PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) Alexia Tirtawidjaja ke meja hijau, penyidik akan mendalami keterlibatan unsur pemerintah dalam hal ini SKK Migas dan KLH yang kini menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

"Kita komitmen tuntaskan kasus Chevron, keterangan (Alexia) jika ada fakta keterlibatan unsur pemerintah akan kita tindaklanjuti," kata Kepala Sub Direktorat Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Sarjono Turin kepada Gresnews.com.

Penyelidikan unsur pemerintah dipertanyakan keberlangsungannya, setelah enam tersangka dari unsur swasta terbukti. Apalagi, praktik korupsi tidak mungkin bisa terjadi tanpa ada unsur pemerintah dan sebaliknya.

Selain itu, juga ada sampel Tph (Total Petroleum Hidrokarbon) temuan tim penyidik yang tenyata tidak bisa diuji, karena tiada alat pengujinya. Namun, justru KLH tetap merekomendasikan ke BP Migas untuk tetap membayar proyek yang bersifat cost recovery (dikerjakan, baru dibayar).

Alexia adalah tersangka terakhir yang belum diajukan ke pengadilan, setelah enam tersangka lain dinyatakan bersalah dan dipidana berkisar dari dua sampai lima tahun. Enam tersangka yang sudah divonis bersalah, adalah Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, Widodo dan Bachtiar Abdul Fatah (PT CPI). Lalu, dua dari rekanan Chevron, yakni Ricksy Prematuri dan Herlan bin Ompo.

Kasus bioremediasi Chevron berawal saat Jampidsus Kejagung pada 5 Oktober 2011 mengeluarkan surat perintah penyidikan adanya dugaan korupsi proyek ini. Proyek ini dikerjakan PT Chevron dan BP Migas sejak 1994 dengan melakukan uji laboratorium. Lalu proses bioremediasi ini dioperasikan penuh sejak tahun 2003. Selanjutnya, proses ini ditenderkan kepada perusahaan PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya.

Namun proyek ini dinilai fiktif karena PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya sebagai pelaksana proyek ini, hanyalah kontraktor umum. Padahal, PT Chevron telah mengklaim biaya Bioremediasi kepada pemerintah Indonesia melalui BP Migas sejak tahun 2003. Dari sana Kejagung menemukan kerugian negara sebesar Rp200 miliar.

BACA JUGA: