JAKARTA, GRESNEWS.COM - Selain eksekusi uang pengganti perkara korupsi penggunaan jaringan 3G PT Indosat Mega Media (IM2) sebesar Rp1,3 triliun, Kejaksaan Agung masih juga belum mengeksekusi uang pengganti perkara korupsi bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) sebesar Rp100 miliar. Padahal Mahkamah Agung (MA) telah menolak kasasi Bachtiar Abdul Fatah, mantan General Manager Sumatera Light South PT CPI.

Setahun sudah MA menolak kasasi Bachtiar. Bachtiar divonis bersalah dengan kurungan enam tahun penjara dan membayar denda uang pengganti kerugian negara sebesar Rp100 miliar. Bachtiar sendiri telah dieksekusi ke Lapas Sukamiskis Bandung. Sementara eksekusi uang pengganti tak juga dilakukan.

Kejaksaan Agung sendiri sejak putusan kasasi keluar belum tergerak untuk mengeksekusi uang pengganti. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) R Widyopramono hanya mengumbar janji untuk mengekeksusinya. Namun hingga ia dirotasi sebagai Jaksa Agung Pengawasan (Jamwas) tak pernah menepati janjinya.

Jaksa Agung M Prasetyo ketika disoal kasus Chevron selalu berkilah. Putusan kasasi masih akan dikaji lagi. "Kami akan lihat lagi seperti apa. Kami harus pelajari itu semua ya," kata Prasetyo beberapa waktu lalu.

Dalam perkara ini jaksa eksekutor ada di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Kepala Kejaksaan Tinggi saat itu Adi Toegarisman mengaku telah mengirim tim ke Riau untuk mengeksekusi putusan MA itu.

Sementara Kepala Kejari Jakarta Selatan Sarjono Turin mengaku belum mengetahui persis sejauh mana eksekusi uang pengganti kasus Chevron sebesar Rp100 miliar tersebut. "Nanti saya cek lagi, itu ada di Jampdisus," kata Turin kepada gresnews.com, Minggu (15/11).

Sedangkan hasil sita aset berupa sejumlah mobil operasional milik PT CPI telah dikembalikan lagi keperusahaan.

KEJAR ALEXIA - Hingga saat ini jaksa masih mengejar mantan General Manager South Light North Operation PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) Alexia Tirtawidjaja. Dia satu-satunya tersangka yang belum disidang. Sementara lainnya, enam tersangka yang sudah divonis bersalah adalah Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, Widodo dan Bachtiar Abdul Fatah (PT CPI). Lalu, dua dari rekanan Chevron, yakni Ricksy Prematuri dan Herlan bin Ompo.

Jampidsus Arminsyah mengaku jaksa masih berupaya menemukan Alexia dan membawanya ke Indonesia. Terakhir, Alexia dikabarkan telah menetap di Amerika Serikat dan menjabat posisi penting di perusahaan Chevron.

Jampidsus sendiri telah bekerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika di Indonesia dan Interpol. Termasuk memasukkan nama Alexia ke deretan nama yang diburu Tim Pemburu Koruptor di Luar Negeri.

"Kami komitmen untuk menuntaskan kasus ini termasuk mengejar tersangka (Alexia)," kata Widyo saat itu.

Sarjono Turin saat menjabat Kepala Subdirektorat Penyidikan mengatakan keterangan Alexia penting untuk mengungkap keterlibatan unsur pemerintah dalam kasus ini. Maka mau tidak mau Alexia harus dibawa pulang ke Indonesia.

Penyelidikan unsur pemerintah dipertanyakan keberlangsungannya, setelah enam tersangka dari unsur swasta terbukti. Apalagi, praktik korupsi tidak mungkin bisa terjadi tanpa ada unsur pemerintah dan sebaliknya. Selain itu, juga ada sampel Total Petroleum Hidrokarbon (Tph) temuan tim penyidik yang tenyata tidak bisa diuji, karena tiada alat pengujinya. Namun, justru KLH tetap merekomendasikan ke BP Migas untuk tetap membayar proyek yang bersifat cost recovery (dikerjakan, baru dibayar).

Kasus bioremediasi Chevron berawal saat Jampidsus Kejagung pada 5 Oktober 2011 mengeluarkan surat perintah penyidikan adanya dugaan korupsi proyek ini. Proyek ini dikerjakan PT Chevron dan BP Migas sejak 1994 dengan melakukan uji laboratorium. Lalu proses bioremediasi ini dioperasikan penuh sejak tahun 2003. Selanjutnya, proses ini ditenderkan kepada perusahaan PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya.

Namun proyek ini dinilai fiktif karena PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya sebagai pelaksana proyek ini, hanyalah kontraktor umum. Padahal, PT Chevron telah mengklaim biaya Bioremediasi kepada pemerintah Indonesia melalui BP Migas sejak tahun 2003. Dari sana Kejagung menemukan kerugian negara sebesar Rp200 miliar.

AJUKAN PK - Perlawanan terpidana kasus bioremediasi Chevron terus dilakukan. Setelah ditolak, Bachtiat siap melakukan Peninjauan Kembali. Ada novum baru yang dimiliki pihak Bachtiar.

Kuasa hukum Bachtiar, Maqdir Ismail mengatakan kliennya akan segera ajukan PK. Saat ini pihaknya menunggu salinan resmi putusan kasasi MA itu. Ada sejumlah bukti baru pengajuan PK itu.

Antara lain putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan uji materi Pasal 59 Ayat (4) dan Pasal 95 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang diajukan Bachtiar Abdul Fatah.

Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 59 Ayat (4) yang mengatur kewajiban izin pengelolaaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dinyatakan inkontitusional bersyarat. Sementara, Pasal 95 Ayat (1) menyangkut penegakan hukum lingkungan ditafsirkan wajib dilakukan secara terpadu oleh instansi terkait.

Dalam putusan bernomor 18/PUU-XII/2014, Mahkamah menyatakan Pasal 59 ayat (4) UU PPLH bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan bagi pengelolaan limbah B3 yang permohonan perpanjangan izinnya masih dalam proses harus dianggap telah memperoleh izin".

MK juga menghapus kata "dapat" dan memberi tafsir inkonstitusional bersyarat terhadap frasa "tindak pidana lingkungan hidup" dalam Pasal 95 Ayat (1) UU PPLH sepanjang tidak dimaknai "termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini".

Dengan begitu, Pasal 95 Ayat (1) UU PPLH selengkapnya menjadi "Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini, dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri".

Maqdir mengatakan putusan MK itu bertentangan dengan putusan MA. Dalam putusan MA disebutkan proyek bioremediasi yang dilakukan Chevron tidak berizin, sementara dari MK izin telah ada dengan pengawasan dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Menurut Maqdir dalam putusan MK itu menyatakan ketika orang sedang mengajukan izin perpanjangan perizinan pengelolaan limbah B3 tidak lantas dianggap tidak berizin. Namun, kasus yang dialami Bachtiar dalam kasus korupsi Bioremediasi Chevron, pihak kejaksaan menganggap perpanjangan itu dianggap tidak ada izin meski telah diajukan bukti. Terhadap putusan MK bisa jadi dasar untuk bukti baru dalam PK.

"Bisa, izin itu administratif dan MK punya kewenangan memutus, sementara di pengadilan pertama tidak ada izin," kata Maqdir.

BACA JUGA: