JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali melanjutkan penyidikan kasus korupsi bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) yang sempat mangkrak. Tindak lanjut penyidikan perkara itu merupakan bagian dari komitmen Kejagung untuk menuntaskan sejumlah kasus yang penanganannya selama ini mangkrak  

Tim penyidik Kejagung tengah mengkaji kemungkinan menyidik keterlibatan pihak pemerintah yakni BP Migas (SKK Migas) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyusul ditolaknya permohonan kasasi lima tersangka dari unsur swasta. "Kita masih kaji," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah saat dikonfirmasi, di Jakarta, Sabtu (13/8).

Namun, Arminsyah belum bisa memastikan selesainya pengkajian akan dilanjutkan dengan penetapan tersangka. Menurutnya, kajian tersebut butuh kehati-hatian karena menyangkut kebijakan nasional. Selain itu, kasus tersebut juga melibatkan perusahaan besar yang berpengaruh di kancah internasional. "Supaya tidak menimbulkan dampak (bagi investasi dan pembangunan nasional)," terang Arminsyah.

Kasus bioremediasi berawal saat Jampidsus Kejagung pada 5 Oktober 2011 mengeluarkan surat perintah penyidikan atas adanya dugaan korupsi dalam proyek ini. Proyek bioremediasi adalah kegiatan pengelolaan tanah yang terkontaminasi minyak mentah atau minyak lainnya akibat kegiatan industri dengan menggunakan mikroorganisme. Upaya itu dilakukan untuk menghilangkan sifat racun pada tanah agar tidak berbahaya bagi lingkungan.

Proyek ini dikerjakan PT Chevron dan BP Migas sejak 1994 dengan melakukan uji laboratorium. Lalu proses bioremediasi ini dioperasikan penuh sejak tahun 2003. Selanjutnya, proyek ini ditenderkan kepada perusahaan PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya.

Namun proyek itu dinilai fiktif karena PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya sebagai pelaksana proyek ini, hanyalah kontraktor umum. Padahal, PT Chevron telah mengklaim biaya bioremediasi kepada pemerintah Indonesia melalui BP Migas sejak tahun 2003. Dari sana Kejagung menemukan kerugian negara sebesar Rp100 miliar.

Lima tersangka yang terbukti bersalah adalah Ricksy Prematuri (Dirut PT Green Planet Indonesia) dan Herland bin Ompo (rekanan PT Sumigita Jaya). Tiga lainnya, Manajer Lingkungan Sumatera Light North (SLN) dan Sumatera Light South (SLS) Endah Rumbiyanti, Team Leader SLN Kabupaten Duri Propinsi Riau Widodo, Team Leader SLS Migas Kukuh dan General Manager SLS Operation Bachtiar Abdul Fatah. Sementara General Manager SLN Operation Alexia Tirtawidjaja diketahui bersembunyi di Amerika Serikat.

Kendati sempat ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, setelah ditolaknya kasasi dalam kasus ini,  sejumlah nama dari unsur pemerintah, dalam hal ini BP Migas dan KLHK, tidak lagi tersentuh. Padahal praktik korupsi terjadi karena keterlibatan unsur pemerintah.

Apalagi ada sampel Total Petroleum Hidrokarbon (Tph) temuan tim penyidik yang tenyata tidak bisa diuji, karena ketiadaan alat pengujinya. Namun, justru KLHK tetap merekomendasikan ke BP Migas untuk membayar proyek yang bersifat cost recovery (dikerjakan, baru dibayar).

Pemerhati hukum Iqbal Daud Hutapea mempertanyakan kerja Kejagung yang belum juga menyeret pihak dari unsur pemerintah, meski lima tersangka lain telah terbukti.

"Ya, korupsi kan tidak mungkin dilakukan unsur swasta atau unsur pemerintah saja, tapi korupsi bisa terjadi karena adanya unsur swasta dan pemerintah yang bekerja sama," kata Iqbal.

TETAP MELAWAN - Proses penanganan kasus bioremediasi ini tak kunjung putus. Salah satu terpidana kasus ini Bahctiar Abdul Fatah masih terus melakukan upaya hukum luar biasa dengan mengajukan Peninjauan Kembali atas vonisnya. Kuasa Hukum Bahtiar Abdul Fatah dan PT CPI, Maqdir Ismail, menyatakan akan mengajukan PK setelah salinan putusan kasasi MA diterimanya. Namun hingga kini salinan putusan itu belum juga diterima.

Maqdir mengaku memiliki bukti baru untuk mengajukan PK. Bukti tersebut adalah putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan uji materi Pasal 59 Ayat (4) dan Pasal 95 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang juga diajukan Bachtiar Abdul Fatah.

Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 59 Ayat (4) yang mengatur kewajiban izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dinyatakan inkontitusional bersyarat. Sementara, Pasal 95 Ayat (1) menyangkut penegakan hukum lingkungan ditafsirkan wajib dilakukan secara terpadu oleh instansi terkait.  

Dalam putusan bernomor 18/PUU-XII/2014, Mahkamah menyatakan Pasal 59 Ayat (4) UU PPLH bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan bagi pengelolaan limbah B3 yang permohonan perpanjangan izinnya masih dalam proses harus dianggap telah memperoleh izin.

MK juga menghapus kata "dapat" dan memberi tafsir inkonstitusional bersyarat terhadap frasa "tindak pidana lingkungan hidup" dalam Pasal 95 Ayat (1) UU PPLH sepanjang tidak dimaknai "termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini. Dengan begitu, Pasal 95 Ayat (1) UU PPLH selengkapnya menjadi "Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini, dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri.

Maqdir mengatakan putusan MK itu bertentangan dengan putusan MA. Dalam putusan MA disebutkan proyek bioremediasi tidak berizin, sementara dari MK izin telah ada dengan pengawasan dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Menurut Maqdir putusan MK itu menyatakan ketika orang sedang mengajukan izin perpanjangan perizinan pengelolaan limbah B3 tidak lantas dianggap tidak berizin. Namun, kasus yang dialami Bachtiar dalam kasus korupsi Bioremediasi Chevron, pihak kejaksaan menganggap perpanjangan itu dianggap tidak ada izin meski telah diajukan bukti. Putusan MK ini, menurut Maqdir, bisa jadi dasar untuk bukti baru dalam PK.

"Bisa, izin itu administratif dan MK punya kewenangan memutus, sementara di pengadilan pertama tidak ada izin," kata Maqdir.

BACA JUGA: