JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi seperti tak pernah tuntas. Meskipun enam dari tujuh tersangka telah melalui proses hukum, namun sejumlah pihak khususnya dari unsur pemerintah yang diduga turut terlibat dalam proyek ini belum juga terungkap. Kelanjutan kasus yang merugikan negara sebesar Rp100 miliar ini sampai kini masih menggambang dan belum ada tindakan untuk meningkat ke penyidikan.

Bahkan Kejagung sendiri seperti enggan berbicara banyak soal kasus bioremediasi Chevron ini. Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto mengaku belum mengetahui perkembangan kasus proyek Bioremediasi, yang dikerjakan oleh PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) di Duri, Riau ini. Namun dipastikan kasusnya masih ditangani penyidik di Gedung Bundar.

Andhi malah meminta para wartawan untuk menanyakan perkembangan kasusnya ke Jampidsus.  "Itu tanyakan ke penyidik (Jampidsus)," kata Andhi di Jakarta, Senin (25/8).

Ketika ditanyakan kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) R Widyopramono, yang bersangkutan hanya mengatakan kasus korupsi bioremediasi tetap berjalan. Termasuk salah satu tersangka yang saat ini masih jadi buron Alexiat Tirtawidjaya. Hanya saja dia tak menjelaskan lebih jauh bagaimana upaya Kejakgung untuk menangkap Alexiat.

Kejakgung sendiri seperti tak berkutik memulangkan Alexiat yang kini diduga berada di Amerika Serikat. Malah Widyo dalam beberapa kali kesempatan menyatakan penyidik belum mengetahui keberadaan Alexiat. "Kalau ada yang mengetahui, informasikan kepada kami (penyidik)-red," kata Widyo.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM Hifdzil Alim menyayangkan sikap Kejakgung tak bisa bertindak tegas dalam kasus ini hanya karena alasan belum bisa memeriksa Alexiat. Dia mengatakan, tak berkutiknya Kejakgung bukan tanpa sebab. "Diduga Kejagung ada main dalam kasus ini," ujarnya.    

Dalam kasus ini Kejagung memang telah menetapkan tujuh tersangka. Namun dari unsur pemerintah belum ada yang ditetapkan tersangka. Sedangkan korupsi tidak akan terjadi, jika tidak ada kerjasama antara swasta dan pemerintah.

Tujuh orang tersangka yang sudah terbukti bersalah dan dipidana berkisar dua sampai lima tahun, adalah Endah Rumbiyanti, Widodo, Kukuh Kertasafari, Bachtiar Abd Fatah. Satu lagi dari PT CPI Alexia Tirta Wijaya. Dua dari kontraktor, adalah Ricksy Prematuri (PT Green Planet Indonesia) dan Herlan (PT Sumigita Jaya).

Peran unsur pemerintah disini, adalah Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan BP Migas (kini, SKK Migas). KLH  yang merekomendasikan kepada BP Migas untuk membayar proyek senilai US$270 juta yang bersifat cost recovery (dikerjakan dahulu, baru dibayar), meski proyek bermasalah.

Masalah dalam hal ini, karena ada unsur Tph (total petroleum hidrokarbon) yang dikatakan KLH sudah diteliti dan unsurnya memenuhi syarat untuk proyek pemulihan lahan bekas eksplorasi Migas). Padahal, alat untuk meneliti unsur tersebut tidak ada dan terbukti di Pengadilan Tipikor.

BACA JUGA: