JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pemerintah menyatakan ketentuan izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) beserta sanksinya dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sudah jelas, tegas dan tidak menimbulkan ketidakpastian sehingga tidak perlu ditafsirkan kembali. Pihak pemerintah, dalam sidang uji materi UU tersebut di Mahkamah Konstitusi, Rabu (23/4) kemarin, menyatakan setiap perusahaan yang mengelola limbah B3 wajib mendapatkan izin lingkungan dari instansi terkait dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup, sebelum bisa mendapatkan izin usaha.

Deputi Bidang Penaatan Hukum Likungan Kementerian Lingkungan Hidup Sudariyono mengatakan, dalam UU PPLH jelas dinyatakan setiap usaha terkait limbah B3 diwajibkan terlebih dulu mendaoat izin lingkungan dan atau izin PPLH. Dan kedua izin ini merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha atau kegiatan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 40 Ayat (1) UU PPLH yang berbunyi: "Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 27/2012 tentang Izin Lingkungan".

"Pengelolaan limbah B3 wajib dilakukan dengan pendekatan prinsip kehati-hatian melalui penerapan instrumen perizinan, mulai dari penyimpanan, pengumpulan dan pengakutannya hingga pemanfaatan serta pengelolaan bahkan penimbunannya harus diatur dengan baik," kata Sudariyono di sidang tesebut.

UU PPLH diuji materi oleh Bachtiar Abdul Fatah, General Manager Sumatera Light South (SLS) Minas PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) yang telah divonis bersalah dalam perkara korupsi proyek bioremediasi CPI oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada 17 October 2013. Dalam permohonananya Fatah beralasan UU PPLH bertentangan dengan UUD45. Khususnya khusunya rumusan Pasal 59 Ayat (4) yang dinilai Bachtiar memungkinkan terjadi kondisi dimana karena alasan-alasan tertentu instansi yang berwenang tidak/belum memberikan ijin kepada orang yang menghasilkan limbah B3 untuk mengelola limbah B3 tersebut.

Bachtiar merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan keberadaan Pasal 59 Ayat (4) dan Pasal 95 Ayat (1) UU PPLH. Alasan pemohon. Untuk pasal yang terakhir, keberadaan frasa "dapat" dalam dinilainya dapat menciptakan ketidakpastian karena membuka kemungkinan frasa "penegakkan hukum terpadu" hanya menjadi sekadar slogan. "Karena memberikan peluang kepada aparat penegak hukum untuk jalan sendiri-sendiri," kata Bachtiar.

Hal inilah yang disanggah KLH selaku wakil pihak pemerintah. Menurut Sudariyono, sifat limbah B3 sangat berbahaya dan beresiko bagi manusia dan lingkungan hidup. Menurutnya, dalil pemohon hanya berupa asumsi yang menyatakan UU PPLH bertentangan dengan UUD 1945. "Perizinan memiliki fungsi yuridis preventif dan pengendalian, sekaligus fungsi yuridis preventif untuk mencegah pemegang izin melanggar persyaratan izin dan peraturan perundang-undangan dengan mencantumkan norma larangan dan norma perintah yang dilekatkan dalam keputusan izin itu," tegasnya.

Karena itu, kata Sudariyono, cukup beralasan apabila dalam ketentuan UU PPLH mengatur pengelolaan limbah B3 dalam usaha atau kegiatannya, yang mengharuskan suatu perusahaan memperolah izin dari menteri/gubernur/bupati/walikota sesuai kewenangannya. Tujuannya agar pemerintah dan pemangku kepentingan dapat melaksanakan kewajibannya dalam melaksanaan pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.

Pemerintah juga menilai Pasal 95 Ayat (1) UU PPLH adalah sistem penegakan hukum satu atap (one roof enforcement system-Ores) atau integrated criminal justice system (penegakan hukum pidana terpadu). "Penegakan hukum lingkungan terpadu antara penyidik PPNS, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri Negara Lingkungan Hidup merupakan upaya sungguh-sungguh agar penegakan hukum lingkungan efektif dan efisien," tegasnya.


Sudariyono menilai, frasa "dapat" di pasal tersebut telah sesuai dengan fungsinya, yaitu pernyataan sebagai sifat diskrisioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang atau lembaga. Sehingga berdasarkan norma dalam pasal tersebut mempunyai makna bahwa menteri lingkungan hidup memiliki diskresi untuk menentukan penanganan tindak pidana lingkungan hidup, melalui instansi-instansi penegak hukum lainnya.

BACA JUGA: