JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tak hanya menggugat UU Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH), terpidana korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) Bachtiar Abdul Fatah, ternyata juga mengajukan uji materi UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pengujian UU tersebut dilatarbelakangi penahanan Pemohon dalam kasus tindak pidana korupsi sejak 26 September sampai dengan 27 November 2012. Setelah itu Pemohon dibebaskan berdasarkan putusan praperadilan, namun kemudian dipaksakan untuk ditahan lagi sejak 17 Mei 2013 sampai dengan saat ini.

Pemohon merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 29, Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2) dan ayat (4) KUHAP. Pasal-pasal ini terkait penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan, serta penahanan lanjutan.

Menurut pemohon, akibat pasal-pasal tersebut dirinya telah kehilangan hak konstitusional untuk bekerja serta melakukan berbagai kegiatan dan berkomunikasi secara layak dan manusiawi karena status tersangka/terdakwa tindak pidana korupsi yang disandang oleh Pemohon pada saat penahanan hingga saat ini.

Alasan pemohon menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, antara lain Pasal 1 angka 2 UU KUHAP dapat diinterpretasikan dan diberi makna bahwa seseorang dapat ditetapkan terlebih dahulu sebagai tersangka sebelum adanya penyidikan. Padahal menurut Pemohon penyidikan bukan merupakan proses pidana yang mengharuskan lahirnya tersangka pada proses akhir. Penyidikan secara tegas memberikan syarat bahwa penetapan tersangka merupakan tahapan lanjutan yang syaratnya hanya dapat dilakukan setelah penyidik berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang cukup.

Pasal 1 angka 14 UU KUHAP juga dinilainya melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2), ayat (4), ayat (5) UUD 1945 karena terdapat makna multitafsir sehingga dalam penegakannya menimbulkan ketidakpastian hukum.

Pemohon juga mempersoalkan frasa ‘bukti permulaan’ Pasal 1 angka 14, frasa ‘bukti permulaan yang cukup’ Pasal 17, frasa ‘bukti yang cukup’ Pasal 21. Frasa yang berbeda-beda pada pasal-pasal tersebut menurut Pemohon harus diberi makna dan dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa ’bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ harus dimaknai sebagai minimum dua alat bukti secara kualitatif, kecuali dalam hal keterangan saksi.

Ia berpendapat, penyidikan adalah kegiatan mengumpulkan bukti yang akan membuat terang perkara untuk menemukan tersangka. Proses penetapan tersangka tidak bisa dilakukan secara acak.

"Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur dan memberikan batasan yang dapat dilakukan oleh negara dalam proses penyelidikan, penyidikan, hingga proses peradilan dengan metode yang baku untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak individu selama proses hukum berlangsung," tambah kuasa hukum pemohon Maqdir Ismail dalam sidang pengujian perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 di Gedung MK, Rabu (19/3).

Sebab, lanjut Maqdir, hukum acara pidana adalah aturan hukum untuk melindungi warga negara dari perlakuan sewenang-wenang oleh aparatur penegak hukum karena diduga melakukan perbuatan pidana.

Sebelumnya, Bachtiar juga sudah menjalani sidang perdana atas pengujian UU PLH dengan agenda pemeriksaan pendahuluan (I) pada pada Kamis (13/3). Pemohon merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 59 ayat (4), Pasal 95 ayat (1), dan Pasal 102 UU PLH.

Menurut pemohon, norma-norma tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum’. Alasannya,  rumusan Pasal 59 ayat (4) UU PLH memungkinkan terjadi kondisi dimana karena alasan-alasan tertentu instansi yang berwenang tidak/belum memberikan ijin kepada orang yang menghasilkan limbah B3 untuk mengelola limbah B3 tersebut.

Alasan lainnya, keberadaan kata “dapat” dalam Pasal 95 ayat (1) UU PLH menciptakan ketidakpastian karena membuka kemungkinan “penegakkan hukum terpadu” hanya menjadi sekedar slogan karena memberikan peluang
kepada aparat penegak hukum untuk “jalan sendiri-sendiri”.

Seperti diketahui Bachtiar Abdul Fatah adalah General Manager Sumatera Light South (SLS) Minas CPI yang telah divonis bersalah dalam perkara korupsi proyek bioremediasi CPI oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada 17 October 2013. Bachtiar dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan denda Rp200 juta subsidair tiga bulan kurungan.

Menurut majelis, Bachtiar terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek normalisasi lahan tercemar minyak (bioremediasi) di Riau tahun 2006-2011 dengan cara menyalahgunakan kewenangan. Namun, satu dari tiga hakim yang dipimpin hakim Antonius Widjantono ini tidak sepenuhnya sepakat menyatakan Bachtiar bersalah. Dissenting opinion (perbedaan pendapat) dari hakim anggota Selamet Subagyo dijadikan harapan untuk membuktikan dirinya tak bersalah.

BACA JUGA: