JAKARTA, GRESNEWS.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian UU Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan (I) di Gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (13/3). Perkara nomor 18/PUU-XII/2014 dimohonkan oleh Bachtiar Abdul Fatah, General Manager Sumatera Light South (SLS) Minas PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) yang telah divonis bersalah dalam perkara korupsi proyek bioremediasi CPI oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada 17 October 2013.

Bachtiar dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan. Menurut majelis, Bachtiar terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek normalisasi lahan tercemar minyak (bioremediasi) di Riau tahun 2006-2011 dengan cara menyalahgunakan kewenangan. Namun, satu dari tiga hakim yang dipimpin hakim Antonius Widjantono ini tidak sepenuhnya sepakat menyatakan Bachtiar bersalah. Dissenting opinion (pendapat berbeda) dari hakim anggota Selamet Subagyo dijadikan titik terang oleh Bachtiar untuk membuktikan dirinya tak bersalah.

Berdasarkan itulah, Bachtiar adalah mengajukan uji materi  UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 59 ayat (4), Pasal 95 ayat (1), dan Pasal 102 UU PLH.

Pasal 59 ayat (4) berbunyi: "Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat ijin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya".

Pasal 95 ayat (1) menyebutkan: "Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi menteri".

Sedangkan Pasal 102 menyatakan: "Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)".

Menurut pemohon, norma-norma tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum".

Alasan pemohon menyatakan UU PLH bertentangan dengan UUD 1945, yakni rumusan Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memungkinkan terjadi kondisi dimana karena alasan-alasan tertentu instansi yang berwenang tidak/belum memberikan ijin kepada orang yang menghasilkan limbah B3 untuk mengelola limbah B3 tersebut.

Alasan lainnya, keberadaan kata "dapat" dalam Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menciptakan ketidakpastian karena membuka kemungkinan "penegakkan hukum terpadu" hanya menjadi sekedar slogan karena memberikan peluang kepada aparat penegak hukum untuk "jalan sendiri-sendiri".

Karena itu, pemohon meminta majelis hakim menerima dan mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Pertama, menyatakan Pasal 59 ayat (4) juncto Pasal 102 UU PLH bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dibatalkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kedua, jika MK berpendapat lain maka pemohon meminta agar Pasal 102 UU PLH dinyatakan tidak konstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional). Kondisinya adalah sepanjang tidak dimaknai bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam pasal tersebut hanya dapat dikenakan sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.

Ketiga, menyatakan kata "dapat" pada Pasal 95 ayat (1) UU PLH bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus dibatalkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bachtiar juga meminta majelis hakim menyatakan frasa "tindak pidana lingkungan hidup" dalam Pasal 95 ayat (1) UU PLH bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk "tindak pidana terkait dengan lingkungan hidup".

Pemohon juga meminta majelis hakim  menyatakan frasa "dibawah koordinasi Menteri" dalam Pasal 95 ayat (1) UU PLH bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "di bawah koordinasi Menteri kecuali Menteri berdasarkan bukti permulaan yang cukup diduga terlibat dalam tindak pidana yang sedang disidik". Atau apabila majelis Hakim Konstitusi mempunyai pendapat lain atas perkara tersebut pemohon meminta diberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

BACA JUGA: