-
Kebijakan Diskriminatif Cantrang di Jawa
Rabu, 24/01/2018 12:34 WIBKebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menetapkan cantrang hanya boleh digunakan nelayan di Laut Jawa dianggap kebijakan diskriminatif. Seharusnya pemerintah tidak membeda-bedakan antara nelayan di Jawa dan luar Jawa.
Ketua Komisi IV DPR RI, Edhy Prabowo menegaskan selama masih berada dalam negara kesatuan Republik Indonesia seharusnya tak boleh ada perbedaan perlakukan. "Ini jelas sangat diskriminatif. Apa bedanya di Jawa dan di luar Jawa? Apa kalau di Jawa lautnya tidak rusak lautnya? Kita semua masih di bawah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), masih dalam naungan Negara Indonesia. Tidak boleh dibeda-bedakan. Itu namanya diskriminasi," ungkap Edhy saat bertemu wartawan di ruang rapat Komisi IV DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (23/01).
Politikus dari Fraksi Partai Gerindra itu menjelaskan kalau memang pemerintah belum siap sebaiknya jangan memberlakukan larangan tersebut. Alasan pemerintah memperbolehkan penggunaan cantrang di laut utara Jawa karena karena belum siapnya alat tangkap ikan pengganti yang harus diberikan pemerintah kepada nelayan.
"Ya pemerintah harus siap. Bahkan sejak tahun lalu seharusnya ini sudah siap dan sudah selesai pendistribusiannya," kata Edhy.
Sehingga, tambah Edhy, nelayan sudah siap dengan alat tangkap ikan pengganti yang sudah disediakan atau diberikan pemerintah (Kementerian Kelautan dan Perikanan, RED). Bahkan pro dan kontra tentang cantrang pun tidak perlu ada lagi. Apalagi pelarangan cantrang yang diskriminatif ini, ini tidak boleh terjadi.
Sebagaimana diketahui usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan perwakilan nelayan di Istana Kepresidenan, Jakarta beberapa waktu lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti sepakat untuk memberikan kesempatan nelayan yang biasa berlayar di Laut Jawa untuk menggunakan alat tangkap cantrang.
Kesepakatan itu diambil tanpa mencabut aturan pelarangan cantrang. Bahkan Susi tidak segan menangkap dan menenggelamkan Kapal nelayan yang menggunakan cantrang berlayar di luar laut Jawa. (mfb)Polemik Kebijakan Menteri Susi
Jum'at, 25/08/2017 21:10 WIBAliansi Nelayan Indonesia (Anni) meminta Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti untuk mencabut laporan terhadap seorang aktivis nelayan Rusdianto. Mereka ingin Susi mencabut laporannya sebagai sikap seorang negarawan.
"Membela dan siap mendukung langkah saudara Rusdianto Samawa untuk melakukan langkah-langkah hukum, terkait dengan status tersangka. Meminta ibu Susi Pudjiastuti untuk legowo, mencabut laporan ke Bareskrim," ucap Ketua Umum Anni, Riyono, di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (25/8).
Riyono menjelaskan Susi seharusnya menunjukkan sikap negarawan yang mendengar dan memahami, bahwa tidak semua kebijakan yang dikeluarkan itu diterima oleh semua pihak. Selain itu, dia juga mengkritik laporan yang dilayangkan Susi.
"Mengkritik keras laporan Menteri Kelautan dan Perikanan atas tuduhan pencemaran nama baik, sebagai pejabat publik harus siap dan bersedia untuk dikritik oleh siapapun. Sebagai upaya perbaikan dan keseimbangan penyusunan kebijakan bagi kesejahteraan nelayan Indonesia," kata Riyono.
Riyono juga mengatakan akan melakukan Judicial Review terhadap peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan Menteri Susi. Dia juga meminta dilakukan kajian, uji petik alat tangkap cantrang dan payang.
"Aliansi Nelayan Indonesia (ANNI) akan melakukan Judicial Review berbagai peraturan dan kebijakan, yang dikeluarkan oleh mentri sebagai bentuk koreksi konstitusional yang dilindungi oleh hukum. Serta menagih janji KKP Dirjen Tangkap saat pekan yang lalu di KSP untuk melakukan kajian, dan uji petik alat tangkap cantrang dan payang yang sudah menjadi janji dan komitmen," kata Riyono.
Sebelumnya aktivis nelayan Rusdianto Samawa ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri atas kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Menteri Susi Pudjiastuti.
Pengacara Rusdianto, Abu Bakar J Lamatapo, mengatakan korban dalam kasus yang dilaporkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tidak jelas. Pihaknya juga berencana melaporkan balik Menteri Susi.
"Legal standing-nya kabur. Legal standing siapa sebagai korban itu tidak jelas. Apakah KKP atau Susi secara pribadi," kata Abu di Bareskrim Polri, Kamis (24/8).
Menurut Abu, ketidakjelasan legal standing yang ia maksud karena pelaporan itu dibuat oleh Biro Hukum KKP, bukan oleh Susi secara pribadi.
Abu menyebut laporan yang ditujukan kepada kliennya itu terkait dengan catatan kritis Rusdi terhadap KKP. Menurutnya, Rusdi mengkritik kebijakan KKP secara keseluruhan, bukan kebijakan Susi.
"Laporannya terkait dengan Rusdi terkait catatan kritis dan pidato di kampus UMM (Universitas Muhammadiyah Malang). Itu terkait kebijakan KKP, bukan kebijakan Susi pribadi," terangnya.
Kendati demikian, Abu dan kliennya akan mengikuti proses hukum ini. Mereka juga sudah mempersiapkan langkah praperadilan dan langkah hukum selanjutnya, yakni melaporkan balik Susi.
"Kita meladeni saja proses ini. Sambil mempersiapkan praperadilan atas ditetapkan sebagai tersangka itu. Dan bisa melaporkan langkah hukum melapor balik," ujarnya. (dtc/mfb)DPR Fasilitasi Pembentukan Independen untuk Kaji Cantrang
Jum'at, 04/08/2017 15:01 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Mengatasi polemik tentang larangan penggunaan alat tangkap cantrang, Komisi IV DPR menyatakan siap memfasilitasi pembentukan tim independen untuk mengkaji soal cantrang.
Ketua Tim Kunjungan Kerja Komisi IV DPR RI Herman Khaeron mengatakan DPR membuka ruang untuk memfasilitasi objektivitas tim independen dalam mengkaji persoalan cantrang.
"Kita duduk bersama seluruh kepala dinas, dirjen dan kementerian. DPR memfasilitasi pihak-pihak terkait kita ajak bicara, nelayan diajak bicara, bagaimana solusi yang tepat dengan situasi ini supaya persoalan ini tidak berkepanjangan dan sumber daya perikanan kita tetap bisa dijaga keberlanjutannya," ujar Herman saat dialog dengan pengusaha kapal di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kelautan dan Perikanan Mayangan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur (01/8).
Herman mengaku persoalan cantrang tersebut sebenarnya sudah sering dibahas, baik di Komisi IV, di Kementerian, maupun di masyarakat. Namun diakui hingga saat ini persoalan itu masih menjadi polemik terutama dikalangan para nelayan.
Seperti diketahui, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melarang nelayan menggunakan cantrang. Larangan tersebut didasarkan atas sifat pukat tersebut yang dinilai tidak ramah lingkungan dan merusak. Alat tangkap ini sampai ke dasar laut sehingga dikhawatirkan dapat merusak terumbu karang.
Namun Herman meyakini persoalan cantrang tersebut bisa dicarikan solusi. "Jika memang tidak merusak berarti menteri harus bisa mencarikan jalan keluarnya, dan jika memang merugikan, harus dicarikan jalan keluar terbaik bagi nelayan. Mungkin bisa dengan cara modifikasi cantrang," tutur politisi dari Demokrat ini, seperti dikutip dpr.go.id.
Menurut Herman, Komisi IV sebagai penengah tidak bisa memaksakan pihak-pihak tertentu, akan tetapi akan dibentuk tim independen yang akan melakukan penelitian ke lapangan pada daerah-daerah tertentu sehingga hasil penelitian itu bisa dijadikan dasar untuk pengambilan keputusan.
Anggota Tim Komisi IV lainnya, Nasyit Umar berpendapat, bahwa masyarakat tidak mempunyai hak untuk membuat badan kajian, tetapi tim kajian akan dibentuk bersama-sama dengan KKP dan juga dari unsur nelayan bersama Komisi IV DPR.
Pembentukan tim ini diharapkan bisa menghasilkan keputusan bersama. "Terus terang ini keinginan nelayan, yang menganggap bahwa cantrang dapat menghidupi mereka, tapi disisi lain KKP menganggap bahwa cantrang bisa merusak terumbu karang," beber Nasyit. (rm)DPR Sebut Larangan Cantrang Picu Pengangguran Massal
Senin, 24/07/2017 14:01 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - DPR menyebut larangan penggunaan alat tangkap cantrang telah mengakibatkan terjadinya pengangguran massal. Hal tersebut disampaikan Tim Komisi IV DPR RI usai melakukan kunjungan spesifik ke Balai Besar Percontohan Penangkapan Semarang bersama para nelayan Jateng, (21/7).
Ketua Tim Kunspek Komisi IV Daniel Johan (FPKB) mengatakan nelayan mengeluhkan kebijakan Peraturan Kelautan dan Perikanan No 2/2015 tentang Pelarangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Trawl dan Seine Nets. Menurutnnya, kebijakan Menteri KP terkait larangan penggunaan cantrang sudah dirasakan oleh para nelayan. "Sudah banyak nelayan di Jawa Tengah ditangkap karena melanggar ketentuan yang terdapat dalam Permen KP No. 2 Tahun 2015 itu," ujarnya.
Perwakilan nelayan dalam pertemuan dengan Tim Kunspek Komisi IV itu menyebut, pemerintah telah menerapkan kebijakan Permen KP No. 2 /2015, namun penerapan kebijakan itu disebutnya tidak disertai solusi pengganti alat cantrang. Menurut para nelayan cantrang justru tidak merusak lingkungan seperti apa yang dituduhkan pemerintah.
Disebutkan Daniel, kebijakan larangan penggunaan cantrang berdampak pada 17 jenis alat tangkap lainya. "Akibatnya 38 ribu kapal mangkrak dan mengakibatkan pengangguran massal sebanyak 760 ribu nelayan," ungkap Daniel seperti dikutip dpr.go.id.
Daniel Johan dalam pertemuan itu pun mengungkapkan bahwa kebijakan larangan pengunaan cantrang yang telah berjalan hampir 3 (tiga) tahun ini belum menemukan solusi dan jalan keluar.
"Akibatnya memperparah dan memperburuk keadaan para nelayan seluruh Indonesia. Dampak kebijakan tersebut, banyak kapal nelayan yang mangkrak, tidak bisa berlayar," tutur Daniel.
Daniel menilai penerapan kebijakan Menteri KP tersebut, tidak mempertimbangkan aspek sosial ekonomi nelayan, yang diperkirakan menderita kerugiann hingga Rp3,4 triliun/tahun.
Politisi PKB ini mengatakan, maksud kunjungan Komisi IV ke Semarang bertujuan untuk menyerap aspirasi nelayan di pelabuhan perikanan yang terkena dampak, baik yang berhasil maupun tidak berhasil menerapkan pengunaan alat penangkap ikan alternatif.
Selain itu kunjungan juga dimaksudkan untuk mengali informasi secara utuh dan langsung tentang berbagai teknologi, rekayasa, standardisasi, sertifikasi teknik penangkapan ikan yang ramah lingkungan. (rm)Larangan Cantrang Berlaku, Konflik Horizontal Menjelang
Senin, 23/01/2017 10:00 WIBBerlakunya larangan alat tankap pukat hela dan pukat tarik (cantrang) ternyata menimbulkan dilema di tengah-tengah masyarakat nelayan. Konflik horizontal pun menjelang antara nelayan yang pro pelarangan cantrang dan kontra.
Butuh Solusi Jitu Terkait Pelarangan Cantrang
Kamis, 02/04/2015 13:30 WIBSelain itu, dampak buruk di balik kebijakan pelarangan cantrang yaitu nelayan Pantura akan kehilangan akses atau alat penangkapan.
Menteri Susi Didesak Segerakan Alternatif Solusi Cantrang
Senin, 23/03/2015 16:30 WIBDiantaranya, pertama, penggunaan DAK Kelautan dan Perikanan di dalam APBN 2015 untuk program pemberdayaan nelayan kecil dan pelatihan penggunaan alat tangkap ikan yang ramah.
Pemerintah Didesak Perhatikan Nasib Nelayan Cantrang
Kamis, 05/03/2015 14:00 WIBMenurut Wiro, pro-kontra pelarangan cantrang tersebut merupakan hal wajar karena mayoritas penggunanya cukup banyak beroperasi di pulau Jawa.
KNTI: Polemik Cantrang Harus Segera Di Akhiri!
Rabu, 04/03/2015 13:00 WIBSejak awal, kata Riza, KNTI mendukung efektivitas pelarangan penggunaan alat tangkap merusak di seluruh perairan Indonesia.
Pemerintah Izinkan Nelayan Pakai Alat Tangkap Rawai Tuna
Jum'at, 27/02/2015 21:00 WIBAlasan lain pemerintah mengizinkan penggunaan rawai tuna karena wilayah pemetaan zona tangkapnya yang aman dan terhindar dari kawasan konservasi laut (di atas 12 mil).
Larang Cantrang, Pemerintah Harus Beri Solusi
Jum'at, 27/02/2015 05:00 WIBAbdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menegaskan, penggunaan alat tangkap merusak trawl berakibat pada hilangnya jiwa nelayan. Selain itu, juga berakibat pada ancaman kriminalisasi pasca dikeluarkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015.
Cantrang Mahal, Pemerintah tak Jamin Bantuan untuk Nelayan
Kamis, 26/02/2015 11:30 WIBSusi menekankan, alasan pemerintah tidak memberikan bantuan karena masih banyak nelayan kecil lainnya yang belum sejahtera.
Protes Larangan Cantrang, Ribuan Nelayan Akan "Geruduk" Kantor Susi
Kamis, 26/02/2015 10:00 WIBMenurutnya, cantrang yang mereka pakai sudah dimodifikasi agar ramah terhadap lingkungan bawah laut.