JAKARTA - Kritik terhadap rencana pemerintah melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam upaya pemberantasan terorisme semakin terdengar kencang di masyarakat.

Posisi saat ini pemerintah telah merampungkan penyusunan Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Draf itu juga disebut telah diserahkan kepada DPR beberapa waktu lalu untuk dapat dibahas secara bersama-sama.

Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Trisno Raharjo mengatakan sejak awal Muhammadiyah menentang pelibatan TNI dalam penanganan terorisme. Aturan soal keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme sudah tercantum dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme).

"Kami menolak pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme," kata Trisno dalam diskusi virtual Menimbang Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme yang diikuti Gresnews.com, Selasa (18/8/2020).

Trisno mengatakan pelibatan TNI dalam menangani aksi terorisme berpotensi melanggar aturan hukum dan HAM yang berlaku. Tanpa pelibatan TNI saja, kata Trisno, penanganan aksi terorisme di Indonesia sudah banyak terjadi pelanggaran HAM.

Keberadaan terorisme itu tidak lepas dari awal kemerdekaan Indonesia. Sampai peristiwa serangan atau ledakan dua menara World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat maka terjadi perubahan tentang terorisme.

Namun dalam kajian Muhammadiyah sebenarnya tidak ada yang berubah terkait akar terorisme di Indonesia. Masih tetap berakar pada apa yang ada dengan Darul Islam pimpinan Soekarmadji Maridjan Kartosuwiryo dan seterusnya. "Belakangan muncul berbagai pola-pola yang kemudian dihubungkan dengan ISIS dan seterusnya," kata Trisno.

Sementara itu Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan perlu perspektif untuk melihat perkara yang esensial dari terorisme. Apakah terorisme itu satu persoalan yang ada dalam kerangka penegakan hukum nasional atau masuk hukum internasional?

Pertama, kata Usman, bila dalam kerangka penegakan hukum maka pelibatan polisi sebagai tulang punggung utama bukan TNI. Sementara konsep yang kedua dalam konteks pelibatan kekuatan perang. "Belum ada yang berubah didalam paradigma melihat terorisme didunia ini," kata Usman.

Pada 2001 terjadi serangan gedung kembar World Trade Center (WTC) yang menjadi pemicu perang melawan terorisme. Saat itu dunia akhirnya terpengaruh sudut pandang Amerika Serikat di bawah Presien George Bush yang memutuskan menggunakan konsep perang melawan terorisme.

Tentu saja dalam konsep perang yang betul-betul memaksudkannya sebagai perang. Dengan menggunakan hukum perang, tindakan perang dan persetujuan untuk perang.

"Tapi kalau di Indonesia itu segalanya bisa disebut perang. Perang terorisme, perang melawan narkoba, segala perang. Tapi tidak dimaksudkan dalam pengertian benar-benar perang sebagaimana yang dimainkan atau diperankan negara besar," tuturnya.

Selain itu, tindak pidana terorisme di Indonesia itu masih dianggap kejahatan. Apakah dia kejahatan yang luar biasa sehingga ia misalnya pantas untuk dianggap sebagai kejahatan nasional?

"Pertanyaannya sederhana, apakah ia memenuhi syarat-syarat hukum internasional tentang kejahatan internasional yang disebut the most serious crime (kejahatan yang paling serius), war crime, atau menyerang dengan agresif, atau genocide?" katanya.

Dalam kerangka itu, kata Usman, almarhum Munir, aktivis HAM, pernah mengkritik pendekatan militer Amerika Serikat yang membikin pengadilan militer untuk mengadili sendiri orang-orang yang dianggap melakukan pelanggaran hukum internasional dalam kasus Guantanamo, Afganistan dan Irak.

Munir bahkan mengusulkan agar semua negara meratifikasi Statuta Roma, hukum internasional tentang pengadilan pidana internasional. Agar bisa mengadili perkara-perkara besar terorisme dalam skala misalnya, Menara Kembar (WTC), atau dalam skala Pentagon atau skala yang lebih serius lagi di tempat lain untuk dipertimbangkan di dalam mekanisme pengadilan internasional sebagai kejahatan internasional.

Usman mengatakan bahwa bukan berarti TNI tidak boleh terlibat. Justru TNI dilatih untuk satu situasi yang khusus di mana kejahatan itu bukan lagi dianggap sebagai kejahatan biasa atau kejahatan nasional. Melainkan kejahatan luar biasa atau kejahatan internasional.

"Pertanyaannya kepada ahli hukum bagaimana situasi di Indonesia ini, apakah kejahatan itu sudah mengarah ke sana? Dan apa signifikansinya dan tentu saja apa urgensinya?" kata Usman.

Usman mengatakan naskah akademik yang diajukan oleh masyarakat sipil telah disampaikan kepada Menkopolhukam Mahfud MD untuk dipertimbangkan. Agar pendekatan kontraterorisme di Indonesia tetap mengedepankan penegakan hukum.

Ghufron Mabruri, Wakil Direktur Imparsial, mengatakan ada dua aspek yang yang tercakup di dalam terorisme.

Pertama, kebijakan antiterorisme. Yakni kebijakan yang selama ini dipahami sebagai satu kebijakan sekadar kebijakan yang ditujukan untuk mencegah dan menghilangkan peluang-peluang tumbuh suburnya terorisme.

"Kebijakan ini dalam pelaksanaannya melibatkan misalnya, institusi-intitusi lainnya. Karena terkait dengan pendidikan, persoalan-persoalan keadilan, politik dan lain sebagainya," kata Ghufron dalam acara tersebut.

Selain itu, kebijakan ini terkait dengan peran institusi atau kementerian dan lembaga-lembaga lain yang relevan dengan proses pencegahan, atau peluang-peluang yang berpotensi menimbulkan tumbuh suburnya terorisme di Indonesia.

Kedua, kebijakan kontraterorisme. Kebijakan ini dipahami sebagai satu instrumen kebijakan yang menitikberatkan pada aspek penindakan terhadap terorisme dan aksi-aksi teror.

"Kebijakan yang kedua ini sifatnya koersif, yang melibatkan kepolisian, dan aparat yang terkait lainnya. Yang dalam pelaksanaannya menuntut adanya profesionalitas," tuturnya.

Kemudian proporsionalitas dari instrumen atau lembaga-lembaga yang memiliki wewenang di dalam konteks kebijakan tersebut.

"Itu sangat penting agar dalam pelaksanaannya tidak dilakukan secara eksesif dan menimbulkan persoalan-persoalan dalam konteks hukum, HAM dan sebagainya," tuturnya.

Isu Perpres tentang Pelibatan TNI sebagai turunan dari UU terorisme yang sudah direvisi saat ini sudah masuk DPR sebagai bagian dari pertimbangan. Merupakan satu kebijakan yang masuk dalam klaster kedua, yaitu kebijakan kontraterorisme.

Menurutnya, persoalan Perpres ini menjadi kontroversi di publik karena ada banyak persoalan di dalamnya.

"Proses pembahasannya di DPR penting untuk dilakukan secara terbuka. Dan masukan-masukan publik tentu menjadi penting agar persoalan-persoalan yang dikhawatirkan bisa dihindari," jelasnya.

Pendapat lainnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Milda Istiqomah melihat pelibatan TNI mengatasi terorisme dari segi sistem peradilan pidananya. Apa implikasi hukum dari rancangan Perpres ini dalam sistem peradilan pidana.

Menurut Milda, mengutip Richard Jackson (2005), pertama adalah perang terhadap teror itu sendiri. Itu sebetulnya sudah tertanam, sudah mengakar tidak hanya pada institusi atau lembaga penegakan hukum. "Dan ini sudah dianggap sangat normal,"katanya

Selain itu, tanpa adanya pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme saja sudah banyak kritik dan dugaan-dugaan yang dituduhkan kepada Densus 88. "Saya mengambil laporan-laporan yang ditunjuk kepada Kontras, komnas HAM, bahwa ada dugaan extrajudicial killings," ujarnya. 

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Abdul Wachid Habibullah menyoroti masalah penahanan dan penangkapan.

"Ada pasal terkait dengan membawa orang tapi kita tidak tahu apa dia terlibat atau tidak," kata Wahid dalam acara tersebut.

Jadi, kata Wahid, itu yang sebenarnya bermasalah sehingga melahirkan keraguan di Pasal 43 ini yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membentuk suatu rancangan peraturan Presiden.

Menurut Wahid, sebenarnya ada rekomendasi bahwa TNI bisa menangani terorisme tapi pada eskalasi tertentu. Dan memang itu adalah pilihan yang paling terakhir. Ketika kepolisian atau pun Densus 88 tidak mampu untuk melakukan penanganan. Sehingga TNI diberikan kewenangan dan itu pun harus ada syarat keputusan politik. Syarat politik itu landasan hukumnya bisa melalui undang-undang.

"Kenapa kok undang-undang? Karena produk hukum UU ini disusun atas keputusan politik. Tidak hanya eksekutif saja yang melakukan itu. Tapi ada persetujuan dari DPR sebagai wakil kita secara posisional sehingga membahas untuk peraturan ini," tandasnya. (G-2)

BACA JUGA: