JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menerima bila TNI dilibatkan dalam penanganan aksi terorisme seperti tertuang dalam draf rancangan peraturan presiden (perpres). Namun BNPT meminta pelibatan TNI itu sesuai peraturan yang berlaku.

Direktur Penegakan Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Eddy Hartono menyatakan pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme harus disesuaikan porsi kewenangannya.

"Kami sepakat TNI, bahwa DPR, Pemerintah sepakat bahwa TNI dilibatkan namun dalam tetap dalam kerangka rules of the law. Tinggal diatur perpres itu, perkembangan terorisme ini mengalami metamorfosis dalam strategi perundangan-undangan. Namun memang harus dalam rangka pemulihan," kata Eddy Hartono dalam video konferensi, Rabu (26/8/2020).

Menurutnya tinggal diatur di dalam Perpres itu yang mengatur porsi kewenangan TNI. Selama ini pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme sudah jelas tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme).

Namun, jika disesuaikan dengan kondisi saat ini, maka harus ada harmonisasi di tengah strategi yang telah disusun. "Sebenarnya strategi sudah terlihat yaitu pencegahan, penegakan hukum," ujarnya.

Eddy menjelaskan telah melakukan pembahasan terkait hal ini dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Pembahasan itu menyangkut pembagian tugas masing-masing lembaga sesuai amanat konstitusi.

"Tugasnya siapa, kami bagi tugas, kami BNPT membuat pencegahan, perlindungan korban. Kemudian TNI progresnya Kementerian Pertahanan (Kemhan) kemudian DPR untuk pengawas," ucapnya.

Terlepas dari itu, Eddy mengatakan sudah ada 2.000 narapidana teroris di Indonesia. Dia kembali menegaskan akan tetap mendukung peran TNI untuk turut andil menangani terorisme tapi tetap dalam kerangka aturan masing-masing.

Ia menjelaskan BNPT secara kelembagaan sebelum adanya UU Terorisme. BNPT bekerja bersama pemerintah juga, sekarang dengan adanya UU Terorisme ini secara kelembagaan BNPT diamanahkan UU diberikan beberapa tugas dan fungsi.

Pertama, BNPT menjadi pusat krisis dan kendali krisis. BNPT akan membentuk dan mengelola stabilitas. Artinya memadukan serta mengintergrasikan potensi intelijen baik TNI, polri, kejaksaan.

"Untuk sama-sama menganalisis tentang terorisme sebagai masukan kepada Bapak Presiden. Untuk menetapkan kebijakan yang strategis seperti apa," katanya.

Kedua, BNPT di dalam UU Terorisme mempunyai tugas kewenangan mengkoordinasikan, kemudian melaksanakan dan merumuskan kebijakan strategis penanggulangan terorisme di bidang kesiagaan nasional. Kemudian melakukan kontraradikalisasi dan deradikalisasi.

Ia menjelaskan ketika bicara kesiagaan nasional, kontraradikalisasi dan deradikalisasi pemerintah wajib menekankan tiga hal tersebut masuk ke dalam langkah pencegahan terhadap penanggulangan terorisme.

Kesiapsiagaan nasional ini melalui pemberdayaan masyarakat kemudian peningkatan pemahaman hukum.

Kedua, kontra radikalisasi yang terdiri dari tiga pilihan. Salah satunya adalah kontra ideologi, ini juga dilaksanakan bersama-sama oleh intelegen.

Di BNPT ini lengkap, ada TNI, Polri, ada aparatur sipil negara (ASN). Semua berpartisipasi didalam konsep menentukan penanggulangan terorisme.

Terakhir adalah deradikalisasi. Deradikalisasi adalah memang kontraradikalisasi itu sendiri. Kalau kontraradikalisasi adalah kepada masyarakat pendatang. Kalau deradikalisasi adalah kepada orang yang sudah terpapar terorisme.

Ketua Bidang Pertahanan dan Keamanan Partai Nasdem Mayor Jenderal TNI (Purn) Supiadin Aries Saputra menilai rencana pelibatan TNI dalam penanganan terorisme harus diberikan sekat kewenangan yang jelas, khusus, dan detail.

Ia menegaskan pelibatan TNI ini tidak bisa secara langsung, kecuali dalam keadaan khusus di mana memang Polri tidak mampu dan di luar wilayah kewenangan Polri.

Namun menurutnya tugas TNI yang diatur dalam undang-undang sebetulnya tidak hanya berfokus pada pertahanan negara seperti perang. Oleh sebab itu, ia menilai UU Terorisme perlu dilengkapi lagi jika hendak memasukkan peran TNI.

Ia menjelaskan pasal-pasal UU Nomor 15 Tahun 2018 itu banyak kelemahan, antara lain adalah kewenangan Polri yang sangat terbatas.

"UU yang lama tidak bisa Polri kalau ada orang yang latihan dan itu terkesan latihan militer nggak bisa ngapa-ngapain. Tapi sekarang kewenangan itu sudah kita berikan. Bahkan penahanan pun kewenangan kepada Polri. Dulu penahanan itu dalam konteks penyidikan. Sekarang dalam rangka penyelidikan, orang boleh ditahan," ujarnya.

Direktur Imparsial Al Araf mengatakan ada dua model dalam penanganan terorisme. Pertama paradigma war model di mana terorisme diasumsikan sebagai suatu kelompok lawan sehingga perspektifnya adalah perang.

Paradigma kedua, dalam konsepsi kontraterorisme atau paradigma yang disebut dengan criminal justice system di mana terorisme diasumsikan sebagai tindak kejahatan. Pola penanganan terorisme yang dikedepankan adalah penindakan hukum.

Di dalam negara-negara demokrasi hampir semua menggunakan pola criminal justice system dalam penanganan terorisme.

Pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme dalam Rancangan Perpres tersebut dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan wewenang kekuasaan. "Jadi, prinsip-prinsip tersebut kami tolak," katanya.

Pengamat Militer Connie Rahakundini Bakrie mengatakan dalam rancangan perpres tersebut hal yang tak disetujuinya adalah tentang anggaran TNI. "TNI adalah institusi yang tidak boleh dapat dana dari manapun (selain dari APBN),"tandasnya.

Selain itu, TNI atau militer adalah manusia yang disempurnakan. "Jadi, manusia yang disempurnakan. Pendidikannya, pelatihannya, apanya itu, semuanya dia menjadi tetap harus berdasarkan aturan," kata Connie.

Kemudian, kata Connie, ada video beredar Polri sudah setuju TNI terlibat dalam penanganan terorisme. Ini negara polisi Republik Indonesia atau negara Kesatuan Republik Indonesia?

"Kenapa Polri setuju atau tidak setuju?"

Connie tidak setuju kalau TNI masuk. "Memang TNI di bawah Polri?" tuturnya.

TNI itu punya kemampuan teritorial dan fungsinya itu jelas.

Pakar Kajian Terorisme UI Sidratahta Muktar mengatakan di Indonesia ancaman terorisme dianggap gawat sehingga semua mekanisme, perangkat aparatur negara digunakan, termasuk TNI.

Baru sejak ada BNPT tahun 2010 kemudian keluar Perpres tahun 2012 itu ada program deradikalisasi. Kemudian UU Terorisme juga berbicara tentang deradikalisasi dan bahkan dianggap suatu metode penanggulangan terorisme yang paling humanis.

Tetapi faktanya bahwa perkembangan terorisme ini bukan hanya di dalam negeri bahkan terorisme ini ada juga dari Singapura dan negara lainnya. Di Indonesia ini ancaman yang bersifat lokal tapi ada terorisme yang ancamannya bersifat global yaitu ISIS. (G-2)

 

BACA JUGA: