JAKARTA -  Serangan teroris terhadap Mabes Polri dilakukan seorang wanita berusia 25 tahun berinisial ZA pada hari Rabu, 31 Maret 202 lalu. Aksi teror ini merupakan aksi tunggal yang disebut lone wolf hingga lebih sulit diprediksi oleh aparat intelijen.

Menurut pengamat intelijen dan teroris, Stanislaus Riyanta, lone wolf itu sendiri adalah pelaku teror merancang dan melakukan sendiri, tanpa bantuan pihak lain sehingga peluang terdeteksi oleh aparat keamanan menjadi kecil. Sangat jarang terjadi rencana aksi teror lone wolf dapat diketahui dan digagalkan oleh aparat keamanan.

"Aksi teror di Indonesia mulai menggunakan bentuk baru. Jika dulu dilakukan oleh kelompok-kelompok besar yang terencana dengan rapi, maka sejak beberapa tahun terakhir mulai muncul model teror lone wolf," kata Stanislaus melalui surat elektronik yang diterima oleh Gresnews.com, Sabtu (4/4/2021).

Selain itu, kata Stanislaus, di Indonesia aksi lone wolf biasanya memang terinsipirasi atau dipengaruhi oleh ideologi kekerasan yang dimiliki pelaku. Pengaruh terbesar adalah dari kelompok transnasional seperti ISIS.

"Meskipun terdapat satu kasus khusus aksi lone wolf yang dipengaruhi oleh motif ekonomi yaitu yang terjadi di Mall Alam Sutera," jelasnya.

Stanislaus pun mengambil beberapa contoh aksi lone wolf yang pernah terjadi di Indonesia. Seperti aksi teror bom di Mal Alam Sutera (28/10/2015) yang dilakukan oleh pemuda berusia 29 tahun, aksi teror di Gereja Katolik Santo Yosep Medan (28/8/2016) yang dilakukan oleh remaja 18 tahun, penyerangan polisi di Pos Lantas Cikokol (20/10/2016) dilakukan oleh pemuda berusia 22 tahun.

Kemudian, lanjut dia, aksi penusukan terhadap dua anggota Brimob di Masjid Falatehan (30/6/2017) yang dilakukan oleh pemuda berusia 28 tahun, serangan kepada Gereja St Ludwina Sleman Yogyakarta oleh pelaku berusia 23 tahun, aksi serangan bom di Pos Polisi Kertasura (3/6/2019) yang dilakukan oleh pemuda berusia 23 tahun.

"Dan kasus terbaru adalah aksi serangan ke Mabes Polri (31/3/2021) oleh seorang perempuan berusia 25 tahun," terang pengamat dari Universitas Indonesia tersebut.

Ia menilai bahwa aksi teror sangat berbahaya karena sulit dideteksi. Untuk mencegah aksi ini terjadi maka harapan besar terletak pada masing-masing keluarga dan masyarakat.

Seseorang yang terpapar paham radikal seharusnya dapat diketahui oleh orang terdekat, karena biasanya terdapat perubahan perilaku, seperti menarik diri dari masyarakat, menolak berbaur dengan orang yang keyakinannya berbeda, menolak acara-acara budaya, antipemerintah dan menganggap pemerintah sebagai musuh.

"Dan perilaku lain termasuk melakukan ujaran kebencian terhadap pihak lain karena perbedaan ideologi," beber Stanislaus.

Oleh karena itu, menurutnya, keluarga menjadi kunci dari pencegahan aksi teror lone wolf. Kepedulian antar anggota keluarga sangat penting terutama untuk mencegah dan mengetahui adanya paparan paham radikal.

Pembekalan pengetahuan bagi masyarakat tentang mengetahui ciri-ciri seseorang yang terpapar paham radikal sangat penting untuk dilakukan. Dengan pengetahuan ini maka diharapkan fungsi pencegahan dapat secara masif dilakukan oleh masyarakat melalui masing-masing keluarga.

Stanislaus menilai, pemerintah tidak mungkin sendirian dalam mencegah dan menangani terorisme karena berbagai keterbatasannya. Kekuatan besar yang tersedia adalah masyarakat.

"Untuk itu kunci utama dalam pencegahan terorisme adalah dengan kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat," tukasnya.

Sementara itu Indonesia Police Watch (IPW) mempertanyakan institusi Polri mengenai siapa pejabat Polri yang bertanggung jawab atas kebobolan pengamanan Mabes Polri dari serangan teroris beberapa hari lalu.

Menurut Ketua Presidium IPW, Neta S Pane, serangan teroris dari dalam Mabes Polri adalah pukulan telak yang sangat memalukan bagi jajaran kepolisian. Tapi anehnya hingga kini tidak ada tindakan tegas dari Mabes Polri tentang siapa pejabat kepolisian yang bertanggungjawab terhadap kebobolan itu.

"IPW melihat, sudah tiga hari serangan teroris itu terjadi di Mabes Polri tapi tidak ada satu pun aparatur dan pejabat kepolisian yang ditindak sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kecerobohan hingga teroris bisa masuk ke Mabes Polri," kata Neta melalui surat elektronik yang diterima Gresnews.com, Sabtu (3/4/2021), siang.

Neta menilai, bisa lolosnya teroris ke jantung markas besar Polri tak terlepas dari kecerobohan jajaran kepolisian dalam menjaga sistem keamanan di markas besarnya. IPW melihat sistem keamanan yang dibangun di Mabes Polri sebenarnya sudah cukup baik.

"Tapi konsistensi dalam menerapkan protokol keamanan itu yang tidak ada dan petugas penjaga cenderung ceroboh. Sehingga teroris terbiarkan masuk dan melakukan serangan dari dalam," jelasnya.

Dia juga mempertanyakan, apa yang terjadi di Mabes Polri itu adalah pukulan telak buat kapolri Listyo Sigit Prabowo yang baru menjabat. Di saat Sigit sibuk konsolidasi ke berbagai eksternal kepolisian, markas besarnya justru kebobolan diserang teroris dari dalam.

Ironisnya hingga kini tidak ada tindakan tegas yang dilakukan Kapolri atas bobolnya sistem keamanan Mabes Polri itu. Terbukti hingga kini tidak ada satu pun aparaturnya yang ditindak.

"Siapa pejabat polri yang harus bertanggungjawab atas bobolnya sistem keamanan Mabes Polri itu pun menjadi tidak jelas. Seolah kebobolan Markas Besar Polri itu dari serangan teroris adalah hal biasa saja," ujarnya.

Padahal, kata Neta, dengan terjadinya serangan teroris di Mabes Polri itu akan membuat publik menjadi krisis kepercayaan terhadap kepolisian.

Publik akan bertanya, bagaimana polisi bisa menjaga dan melindungi masyarakat dari serangan teroris sedangkan menjaga markas besarnya saja tidak mampu.

"Sebab itu Polri perlu mengkonsolidasikan diri dan menindak aparaturnya yang ceroboh agar kepercayaan publik tetap terbangun pada Polri," tutupnya. (G-2)

BACA JUGA: