JAKARTA - Draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Draf itu perlu diperbaiki sebelum diterbitkan oleh pemerintah.

Anggota Komisi I DPR Farah Puteri Nahlia menilai rancangan Perpres itu bertentangan dengan UU TNI lantaran pengerahan kekuatan militer hanya berdasarkan perintah presiden. Padahal dalam UU TNI, untuk mengerahkan kekuatan militer harus melalui keputusan politik negara.

"Jika militer ingin dilibatkan maka keputusan politik negara harus menjadi syarat mutlak, yaitu keputusan yang diambil berdasarkan hubungan check and balances antara pemerintah dan DPR," kata Farah dalam diskusi Menimbang Rancangan Perpres tentang Pelibatan TNI dalam Perspektif Hukum, HAM dan Perempuan, Selasa (17/11/2020).

Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) dan (3) UU TNI menyebutkan yang dimaksud politik negara adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama dengan DPR.

Farah juga menyoroti pengaturan terkait sumber anggaran, yang menyebutkan sumber anggara berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Itu juga bertentangan dengan UU TNI. Anggaran seharusnya bersumber tunggal hanya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Jika dibuka terlalu luas seperti yang diatur dalam rancangan Perpres ini maka ada potensi terjadinya konflik kepentingan," kata Farah.

Farah mengatakan DPR akan berkonsultasi dengan masyarakat sipil, akademisi, dan LSM untuk mendapatkan masukan terkait rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme.

"Jangan sampai nanti ketika disahkan justru menuai kontroversi," katanya.

Sementara itu Komisioner Komnas Perempuan RI Andy Yentriyani mengatakan draf perpres ini belum mencerminkan adanya perspektif perempuan dalam menangkal terorisme. Padahal keterlibatan aktif dari perempuan telah terbukti berperan positif menjaga perdamaian.

Ia menjelaskan perpres itu mengacu pada UU yang memiliki pasal-pasal multitafsir sehingga bermasalah. Contohnya terkait pengerahan TNI tidak ada pembedaan yang jelas antara pengerahan yang sifatnya mendesak dan yang perlu konsultasi.

"Tidak ada kriteria yang memperhatikan kebijakan publik tersebut," katanya.

Definisi objek vital juga terlalu luas, sehingga menimbulkan multitafsir dan berpeluang terjadi penyalahgunaan.

Jika masyarakat menentang pembangunan infrastruktur yang tidak dikonsultasikan kepada masyarakat terdampak, misalnya, maka melalui rancangan perpres tersebut ada peluang untuk kriminalisasi.

Selain itu, penyejajaran aktor-aktor yang terlibat dalam penanganan terorisme yang diatur dalam rancangan perpres ini, seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), TNI, dan Polri, bisa mengakibatkan terjadinya tumpang tindih dan kompetisi, bahkan kompetisi dalam konteks anggaran.

Dosen Fakultas Hukum UGM Sriwiyanti Eddhiyono menyoroti minimnya ruang partisipasi dalam pembahasan rancangan perpres ini.

Menurutnya, kelompok perempuan sama sekali tidak dilibatkan dalam pembahasan rancangan Perpres pelibatan TNI dalam penanganan terorisme.

(G-2) 

BACA JUGA: