JAKARTA - Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme tak lagi diperlukan. Lantaran sudah ada dua undang-undang yang mengatur keterlibatan TNI dalam mengatasi Terorisme yakni UU 34/2004 tentang TNI dan UU 5/2018 tentang Pemberantasan Terorisme.

"Kita itu sudah lengkap, gak perlu lagi ada perpres itu, kalau mau war system pakai UU 34 sedangkan bila mau criminal justice system pakai UU 5," kata mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) Soleman B Ponto dalam diskusi webinar yang diikuti Gresnews.com, Rabu (02/09/2020).

Namun masalahnya pada Pasal 43 I UU 5/2018 pada ayat 1 yakni disebut tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang (OMSP).

Termasuk juga ayat 3 Pasal 43 I UU 5/2018 yang menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana pada ayat 1 diatur dalam Peraturan Presiden.

"Salahnya Pasal 43 1 ini dimasukkan dalam UU 5/2018, jadi sebaiknya ini dibuang saja, karena isinya untuk war system, jadi itu salah tempat," katanya.

Jadi yang saat ini menjadi rancangan peraturan presiden ini adalah mengikuti Pasal 43 I UU 5/2018.

"Mohon dibaca baik-baik bahwa tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari OMSP, itu ayat 1," kata Ponto.

"Inilah sebabnya waktu itu saya mengusulkan bahwa ayat 3 itu, bahwa TNI mengatasi terorisme itu jangan dibuat berdasarkan Perpres tapi berdasarkan UU 34. Kalau UU 34 langsunglah berlaku UU 34 bahwa dia harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara," urainya.

Sekarang apa bedanya kebijakan politik negara dengan Perpres? Kalau kebijakan dan keputusan politik negara itu diambil secara ad hoc. Kalau ada kejadian, setiap kejadian baru selalu ada keputusan. Setiap kejadian ada keputusan.

"Tapi kalau Perpres dibuat sekali jadi untuk segala macam. Sekali buat untuk semua kejadian. Itu Perpres sekali jadi untuk semuanya," katanya.

Jadi kontrol DPR, kontrol pemerintah terhadap TNI itu sangat ketat. Karena setiap ada kejadian baru TNI turun atau tidak dalam UU 34/2004.

"Tapi di Perpres sekali Perpres jadi itu yang akan menjadi pegangan seterusnya. Nah ini perbedaan prinsip," terangnya.

Sedangkan menurut anggota Komnas HAM Amiruddin Al-Rahab, problemnya itu sekarang dari Perpres ini adalah soal logic berpikr penyusunannya. Di sini ada dua hal. Satu dalam rangka criminal justice system, kedua dalam rangka operasi yang dilaksanakan oleh tentara.

"Ini kan sebenarnya kita mau mencampur antara ketimun sama duren ini. Makanya dari awal kalau saya sekarang kita mau memperdebatkan pasal-pasal Perpres ini sudah banyak kita berdebat," kata Amir dalam diskusi tersebut.

Perdebatan yang panjang ini siapa yang mau menginstitusionalisasikan. Sehingga hal itu bisa menjadi satu gagasan yang diterima dikonstruksikan dan dipertanggungjawabkan.

Menurut Amir, hal ini hanya menjadi perdebatan yang terus menerus. Jadi yang pertama bahwa terorisme itu memang adalah ancaman.

Sekarang yang menjadi soal adalah cara mengatasinya. Kalau cara mengatasinya berdasarkan Perpres ini. Siapa yang menjadi leading sektornya dan kapan itu bergeraknya. Kalau itu kabur didalam kertas, di atas UU dilapangan pun akan kabur lebih jauh lagi nanti.

Di situlah muncul kekhawatiran-kekhawatiran. Di mana orang kalau khawatir apa saja bisa dia pikirkan. Supaya kekhawatiran ini tidak semakin jauh dan masalah duduk pada tempatnya.

"Saya pikir begini, kita mesti dorong Menkopolhukam Mahfud Md semestinya mengumpulkan semua pihak ini. Sehingga bisa dibahas disitu. Masukan-masukan dari teman-teman civil society misalnya, dibicarakan di situ. Dari Komnas HAM, TNI, Polri," jelasnya.

Jadi seharusnya Menkopolhukam mengambil inisiatif untuk membuat forum atau pertemuan dan mengumpulkan semua gagasan ini. Disitu baru bisa dilihat mana yang bisa digunakan lebih maksimal.

Kalau tidak, seperti sekarang ini. Lontaran-lontaran pemikiran sepotong-sepotong. Lalu ditanggapi sepotong-sepotong. Habis itu satu sama lainnya menduga-duga gagasan yang sepotong itu seperti apa.

"Saya akan coba mengkomunikasi dan mendorong Menkopolhukam untuk membuat forum. Sehingga persoalan dan kekhawatiran-kekhawatiran itu kedepan bisa menjadi terang,"imbuhnya.

Menurut Amir, gagasan ini kontruksinya adalah penegakkan hukum pidana terhadap penanganan teroris. Apakah publik akan memberikan TNI masuk kedalam penegakkan hukum pidana atau yang mananya? Karena apa? Hal ini supaya sama-sama jelas.

"Ini memang harus kita sampaikan ke Menkopolhukam. Sehingga perdebatan-perdebatan ini, kajian-kajian yang disampaikan oleh akademisi, atau pemerhati ini, bisa dihimpun," tandasnya.

Peneliti LIPI Diandra Megaputri Mengko mengatakan bahwa sebenarnya yang pro dan kontra, sepakat bahwa aksi terorisme itu jelas merupakan persoalan satu ancaman yang serius. Termasuk di Indonesia ancaman yang datang tidak hanya persoalan keamanan negara tetapi juga keamanan manusianya.

Untuk itu negara harus mempunyai tanggungjawab melindungi masyarakat dari berbagai ancaman yang hadir termasuk salah satunya terorisme.

"Jadi itu jelas terorisme sebagai ancaman dan negara punya tanggungjawab untuk melindungi masyarakatnya," kata Dian dalam acara diskusi tersebut.

Masalahnya yang muncul adalah mengatasi terorisme bukan sesuatu yang mudah. Setidaknya ada empat pokok persoalan yang membuat persoalan terorisme ini kompleks.

Pertama, apa itu terorisme dan siapa teroris itu definisinya tidak ada satu kesepakatan di antara dunia. Jadi definisinya dibuat oleh masing-masing negara.

Secara sederhana definisi terorisme itu ada dua hal. Terorisme itu punya motif politik dalam melakukan kekerasan itu yang membedakan terorisme dengan kriminal biasa.

Kedua, terorisme adalah bermaksud untuk menyebarkan teror melalui random target. "Nah itu yang membuat dia (terorisme) menyebarkan teror dan ketakutan bagi masyarakat," tuturnya.

Selain itu, Rancangan Perpres pelibatan TNI menghadapi terorisme secara prioritas dalam war model itu karena perang. Dia adalah prioritas utama untuk memenangkan atau tidak. Sementara kalau criminal justice system memandang bahwa persoalan terorisme adalah persoalan sehari-hari. Dari persoalan kriminalitas, pembunuhan yang terus ada.

"Jadi dalam kondisi perang dan damai," jelasnya.

Selain itu, mengenai skema pertanggungjawaban di sini berarti militer sejauhmana bersifat akuntabel dalam pelaksanaannya. Itu harus sesuai dengan mandat yang sudah ditetapkan oleh otoritas sipil.

"Bagaimana kita menyikapi rancangan Perpres ini? Pertama pemerintah dan DPR dan masyarakat semua juga perlu menyadari bahwa ada inkonsistensi antara apa yang dimaksud oleh pemerintah dengan apa yang tertera didalam rancangan Perpres," tuturnya.

Kalau tadi, kata Dian, melihat maksudnya pemerintah dari berbagai pernyataan resmi maksudnya adalah pelibatan situasional. Hal itu boleh dan bisa saja.

Tetapi yang muncul di rancangan Perpres ini pelibatannya penuh. Karena pelibatannya penuh maka banyak menimbulkan implikasi negatif yang menjadi diskursus banyak pihak. Inilah yang perlu diwaspadai ada beda maksud antara maksud dan apa yang tertera.

Kedua, rancangan Perpres ini menimbulkan kerumitan tata kelola penanganan terorisme di Indonesia, tapi justru kontraproduktif dalam upaya membangun koordinasi yang baik antar lembaga maupun upaya dalam membangun profesionalisme dan demokrasi di Indonesia.

Ketiga, adalah langkah konkret yang diharapkan dalam hal ini DPR atapun pemerintah diharapkan bisa melakukan evaluasi kembali terhadap rancangan Perpres ini.

"Dan memperbaiki draf sesuai dengan pertimbangan isi konten masukan dari berbagai pihak," tandasnya.

Sementara, Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Feri Kusuma mengatakan persoalan rancangan Perpres ini sudah dari hulu ke hilir. Baik dari awal dalam agenda reformasi sektor keamanan maupun secara substansial masuk dalam rancangan Perpres pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme ini.

"Mengacu dari apa yang disampaikan Pak Ponto, memang seharusnya pendekatannya itu cukup dengan UU TNI, UU 34 tahun 2004," kata Feri dalam acara diskusi tersebut.

Tetapi kalau dilihat sepertinya TNI ini memaksakan ingin ada Perpres yang memperjelas atau melegalkan fungsi TNI dalam pemberantasan terorisme.

Tetapi, kata Feri, karena ketentuan dari UU Nomor 5/2018 itu mengharuskan adanya rancangan Perpres maka mau tidak mau harus diuji lebih jauh. Apakah rancangan ini sudah tepat atau belum? Dan juga secara tertulis pandangan-pandangan masyarakat sipil itu juga sudah disampaikan ke Menkopolhukam.

Selain itu, kalau pemerintah atau TNI dibelakangnya memaksa agar Perpres ini harus tetap disahkan maka TNI itu dalam penindakan. Tidak perlu ada penangkalan, pemulihan. Karena itu akan tumpang tindih dengan fungsi-fungsi lembaga yang lain. Dan juga terlalu luas kewenangan TNI dalam hal ini.

"Kenapa kita memberikan masukan seperti ini? Ini bukan berangkat hanya dari pemikiran kekhawatiran akan terjadi pelanggaran HAM, kebencian terhadap TNI, atau pun stigmatisasi terhadap TNI dan berbagai alasan yang menurut mereka itu kita kritik karena kita tidak suka, bukan!,"tuturnya.

Tapi karena berdasarkan keinginan untuk menjaga agar TNI itu tetap profesional. Tidak dimanfaatkan oleh elit-elit politik, baik itu elit politik dikalangan sipil maupun para perwira-perwira TNI.

Meskipun saat ini masyarakat melihat para perwira-perwira polisi dan TNI bergandengan tangan, harmonis, sinergis, dan berbagai macam. Tapi dibawah itu masih terjadi gontok-gontokan, ini menunjukkan kedua lembaga tersebut belum akur.

"Terlebih lagi rancangan ini dibuat dengan tiga fungsi dimasukkan dalam rancangan ini akan lebih memperparah persoalan," katanya.

Selain itu juga, satu hal memang di luar dari pembicaraan soal rancangan Perpres ini, Feri sepakat dengan Dian, jika pendekatannya untuk merespons situasional maka cukup dengan UU TNI.

"Nggak perlu lagi dengan Perpres ini. Ngapain kita repot-repot ngurus Perpres lagi," pungkasnya. (G-2)

BACA JUGA: