JAKARTA - Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Menangani Terorisme mendapat tentangan dari masyarakat sipil. Bahkan apabila rancangan perpres tersebut sampai disahkan dianggap terjadi kemunduran dalam agenda reformasi sektor keamanan.

"Karena dia tidak akan menggunakan keputusan politik negara untuk pelibatan militer dalam penanganan terorisme," kata Ketua SETARA Institute Ismail Hasani dalam Webinar: Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam mengatasi Terorisme yang diadakan oleh FISIP Universitas Andalas Padang, Rabu (26/8/2020).

Ia menjelaskan saat ini muncul fenomena yang menggoda dan mendorong TNI untuk terlibat dalam kehidupan sipil. Hal itu tentu saja bertentangan dengan reformasi TNI.

Padahal selama ini telah ada desain reformasi TNI yang cukup baik pada tahun 2000 dalam TAP MPR tentang pemisahan TNI/Polri. Lalu TAP MPR tahun 2000 itu juga tentang peran TNI dan Polri secara eksplisit. Pada intinya TNI adalah alat pertahanan dan Polri adalah alat atau instrumen keamanan dalam negeri, penegakkan hukum, pengayoman masyarakat.

"Lalu diturunkan secara operasional di dalam UU Polri dan UU TNI. Inilah desain yang sebenarnya merupakan mandat Reformasi. Yang tersisa dari amanat Reformasi apa? Pertama adalah revisi UU 31/1997 tentang Peradilan Militer," katanya.

Ia menjelaskan obsesi TNI dan pemerintah untuk pelibatan TNI dalam penanganan terorisme ini dilatarbelakangi oleh tiga faktor. Pertama intoleransi, kedua radikalisme, dan ketiga terorisme.

"Karena itu argumentasi ini mesti diketengahkan dan kemudian kita kritisi apakah itu adalah cara yang tepat atau justru cara yang kontra produktif," kata Ismail.

Menurut Ismail, intoleransi, radikalisme dan terorisme adalah tiga hal yang berbeda namun bertautan satu sama lain. Memang banyak yang mengkritik bahwa ini satu istilah yang memang tidak tepat kalau dipadatkan.

"Intinya adalah bahwa terorisme itu adalah puncak dari jenjang-jenjang harus dilalui seseorang. Tidak mungkin orang yang tidak memiliki pandangan intoleran tiba-tiba, ujug-ujug kata orang Jawa menjadi teroris," terangnya.

Ismail menjelaskan hal tersebut dapat dibuktikan didalam studi yang SETARA lakukan di 2011. Memotret bagaimana profile Muhammad Abduh di Cirebon Jawa Barat melakukan bom bunuh diri, lalu Sigit Ardawi di Klaten, Yogyakarta, Jawa Tengah melakukan tindakan yang sama.

Mereka, lanjut Ismail, tahun-tahun sebelumnya mengalami transformasi dari mulai awal, misalnya hanya menyatakan ketidaksukaan terhadap yang lain. Lalu diekspresikan secara terbuka dengan kekerasan. Kekerasan yang non terorisme. Lalu kemudian pada tahun 2011 melakukan pengeboman bunuh diri.

Jadi tangga pertama dari cikal bakal teroris adalah intoleransi. Ini adalah teroris psikologi yang kemudian banyak diadopsi dalam kajian-kajian terorisme.

"Kami meyakini intoleransi satu pandangan yang menegasikan atau mengingkari perbedaan, tidak menyantuni keragaman. Ini adalah tangga pertama untuk seorang menjadi teroris. Tapi tidak berarti ketika orang intoleran kemudian juga selalu berpotensi menjadi terorisme. Ini tergantung dari lingkungan yang kemungkinan akan menjadi push and full factor," jelasnya.

Ismail mengutip sebuah data yang menyebutkan ada 19 orang Aparatur Sipil Negara (ASN) terpapar radikalisme. Terpapar ini belum tentu menjadi seorang teroris.

Lalu 3% dari anggota TNI terpapar radikalisme. Definisi radikalisme yang digunakan juga masih diperdebatkan. Tentu saja hal itu, tidak serta merta diatasi dengan pendekatan atau dianggap sebagai teroris.

Wakil Direktur LBH Padang Indira Suryani mengatakan rancangan perpres tersebut jika dipaksakan berlaku berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM berat. TNI tidaK cocok untuk diberikan kewenangan pemulihan. Kewenangan itu lebih baik diberikan kepada lembaga lain yang lebih tepat.

Ia menjelaskan LBH memiliki banyak catatan penanganan pemberantasan tindak pidana terorisme oleh Densus 88. Soal proses penyidikan Densus 88 terhadap terduga teroris ini melakukan proses-proses yang melanggar HAM. Ini saja belum terbenahi dengan baik.

Ia juga menegaskan TNI bukan lembaga projusticia. "Oleh sebab itu tidak boleh diberikan kewenangan penyelidikan," kata Indira.

Lalu ditambah dengan institusi baru (TNI) yang mempunyai tupoksi yang sangat berbeda, punya pendekatan yang sangat berbeda. Bahkan bukan tugas mereka (TNI) untuk melakukan ini, maka potensi pelanggaran HAM akan semakin besar.

Menurutnya dalam soal pencegahan dan pemulihan terhadap tindak terorisme sebenarnya harus banyak melibatkan para ahli. "Saya sangat terbatas untuk melihat ada penelitian-penelitian lebih lanjut soal terorisme. Kenapa orang pilih terorisme? Kemudian apa upaya-upaya pencegahan yang bisa dilakukan?" tuturnya.

Dalam kasus di Sumatera Barat itu terjadi peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Dalam penangkapan teroris di Sumatera Barat, ia tidak melihat ada geliat yang luar biasa untuk pencegahan terorisme.

Padahal sebenarnya yang dibutuhkan untuk menanggulangi masalah terorisme ini adalah penelitian. Upaya preventif bukan sesuatu yang represif.

"Disini celakanya rancangan perpres ini dia memakai pendekatan represif yang rawan terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM kedepannya. Dan pastinya kami tidak setuju dengan itu," tuturnya.

Dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Tamrin mengatakan dalam sejarah di Indonesia tidak pernah ada ketentuan yang jelas tentang masalah kedudukan militer. Berbeda dengan negara maju dimana peranan militer itu sudah sangat ditentukan terlebih dalam hal keamanan.

"Tapi di Indonesia masalah pertahanan dan keamanan menjadi satu tapi tidak jelas batasnya," kata Tamrin.

Pada tahun 1950-an ada politisasi militer, kemudian militer menolak karena dianggap pemberontakan. Lalu dirumuskan untuk mengembalikan militer Indonesia karena berbeda dengan militer di negara maju sehingga terkenal dengan doktrin dwi fungsi ABRI.

Jadi doktrin pertama militer Indonesia itu baru pada tahun 1966. Lalu pada seminar di Hankam yang melahirkan doktrin tentang Pertahanan Keamanan yang sama. Pertama sistem pertahanan semesta. Proses mobilisasi rakyat. Itu adalah doktrin TNI.

"Doktrin tersebut kemudian diperbaiki oleh LB Moerdani pada 1995 dengan doktrin Catur Darma Eka Karma. Dan konsepnya itu sama yaitu pertahanan semesta," terangnya.

Persoalan sekarang, didalam dalam rapat penyusunan TAP MPR nomor 7 tahun 2000 tentang peran TNI, dimana MPR merumuskan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara, kedaulatan negara. Namun fungsinya juga sebagai ketertiban masyarakat yang beririsan dengan fungsi Polri sehingga membuat tugas dan wewenang TNI belum jelas.

"Fungsi ketertiban dan keamanan masyarakat menjadi sesuatu yang tumpang tindih. Militer/tentara membantu Polri. Polri juga membantu tentara dalam masa-masa pertahanan itu," tuturnya.

Selain itu, kata Tamrin, jangan dicemaskan kalau militer itu tidak kuat. TNI itu peringkat 16 besar negara didunia yang terkuat di dunia. TNI sangat kuat di ASIA.

"Cuma masuk ke wilayah politik dan sipil dan itu ancaman," katanya.

Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan bangsa Indonesia jarang sekali patuh terhadap kesepakatan politik yang sudah dikonstitusionalkan.

Padalah di dalam UUD itu sebenarnya merupakan kesepakatan politik sebagai acuan menyelenggarakan kehidupan ketatanegaraan.

"Kita tidak berkomitmen untuk itu. Termasuk juga di dalam berbagai hal yang berkaitan dengan pertahanan keamanan," kata Feri yang merupakan pakar hukum ketatanegaraan dalam webinar tersebut.

Selain itu, soal isu pertahanan dan keamanan sebenarnya ada di Pasal 30 UUD 1945 yang berisi bagaimana ruang-ruang konstitusional yang harus dijalankan.

Pasal 30 itu membatasi ruang gerak TNI dan Kepolisian. Kepolisian di bidang keamanan dan TNI di bidang pertahanan. Ruang itu yang menjadi tugas konstitusional TNI yang pada dasarnya tidak bisa mereka jauh dari tugas itu. Kecuali, diperintahkan oleh panglima tertingginya yaitu presiden sipil.

"Tapi di beberapa UU kita ada upaya menyusupkan keterlibatan baik polisi maupun TNI didalam ruang tertentu. Termasuk didalam UU TNI itu sendiri itu dimasukkan peran-peran TNI didalam ranah sipil," terangnya.

Selain itu, kata Feri, yang dikhawatirkan dari keterlibatan TNI dalam revisi UU terorisme ini adalah soal pembagian wilayah kerja. Bahwa TNI sedang cemburu-cemburunya terhadap kepolisian, hanya saja malu untuk diungkapkan, bahwa ini adalah hal yang tidak perlu dibentur-benturkan.

"Tapi pada faktanya itulah yang terjadi. Yang sebenar-benarnya memang perlu kita bereskan terlebih dahulu diruang itu," jelasnya.

Feri berpendapat perlu ada skala kapan TNI bisa dilibatkan dalam penanganan terorisme. Sebab, pelibatan TNI dalam penanganan terorisme sudah terlalu jauh dalam ruang sipil.

“Pelibatan TNI dalam penanganan terorisme bisa-bisa berbahaya karena mengabaikan tuntutan hak-hak tersangka dan masyarakat sipil karena TNI tidak dilatih untuk memenuhi hak-hak masyarakat,” tuturnya.

Selain itu, lanjut dia, pengaturan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme melalui Perpres bisa sangat berbahaya karena memberikan kewenangan yang luas bagi TNI. (G-2)

BACA JUGA: