JAKARTA, GRESNEWS.COM - Salah satu alasan Walikota Surabaya Tri Rismaharini ingin menutup lokalisasi Dolly adalah karena tidak ingin ada anak di Surabaya yang terpapar lingkungan yang akrab dengan aktivitas seksual atau mengalami pelecehan seksual. Lingkungan seperti itu, kata Risma, akan membuat seorang anak nantinya ketika dewasa kemungkinan besar menjadi pelaku kejahatan seksual. "Kemungkinan itu menjadi sangat besar jika tidak mendapat penanganan langsung dari orang-orang terdekatnya," demikian dikatakan Risma beberapa waktu lalu.

Alasan tersebut mendapatkan dukungan dari Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto. "Anak-anak akan mengalami kepribadian yang terpecah, ia akan mengalami gejolak batin ketika membandingkan apa yang dilihat di lingkungannya dengan yang diajarkan di sekolah, bahwa kegiatan tersebut tidaklah baik," ujar Susanto, kepada Gresnews.com, Jumat, (23/5).

Jika anak terpapar kegiatan seks ilegal, kata Susanto, maka "kewajaran" yang dirasakan anak akan menjadikannya tidak segan dan terinspirasi untuk melakukan kegiatan yang sama di kemudian hari. "Bagaimana kita mau melindungi jika anak sendiri merasa tidak kontraproduksi," katanya.

Senada Anto, Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (PPAP) Titi Sumbu berpendapat, Dolly sebagai tempat lokalisasi terbesar di Asia Tenggara merupakan cerminan masa depan anak yang tinggal di daerah tersebut. "Ini aib yang harus segera dihapus," ungkapnya kepada Gresnews.com, Jumat, (23/5).

Di tahun 2013, kasus pelecehan anak yang ditangani KPAI sendiri mencapai 925 kasus di tahun 2013 mengindikasikan lemahnya pengawasan kepada anak oleh orang tua maupun lingkungan sekitarnya. "Anak itu bergantung pada orang tua, jika orang tua yang menjadi subjek. Bagaimana masa depan anak Indonesia nantinya. Kita harus segera menyelamatkan mereka," kata Titi.

BACA JUGA: