JAKARTA, GRESNEWS.COM - Riuh rendah masyarakat menggalang dana untuk membantu biaya diyat (tebusan) untuk Tenaga Kerja Indonesia asal Ungaran, Jawa Tengah, Satinah, yang kini terancam hukuman mati karena membunuh majikannya di Arab Saudi, mengingatkan betapa lemahnya negara ini dalam melindungi warga negaranya  di luar negeri. Satinah juga tercatat bukan satu-satunya TKI yang mengalami nasih tragis terancam hukuman gantung di negeri orang.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah melaporkan sejak 2013 setidaknya ada 265 TKI  yang terancam hukuman mati karena membunuh majikannya. Penyebabnya, menurut dia, beragam seperti karena persoalan gaji tidak dibayar atau penganiayaan secara fisik.

Anis menuding pemerintah selalu lamban setiap merespons kasus serupa. Langkah pemerintah juga dinilai terlambat dalam melakukan upaya komunikasi dengan pemerintah negara lain terkait ancaman hukuman mati warganya. "Ya, lihat saja yang seperti sekarang. Waktunya sudah sebentar lagi," kata Anis, di Jakarta, Rabu (26/3).

Anis menyarankan sebaiknya pemerintah merespons positif bantuan dan gerakan dari masyarakat yang ingin memberikan sumbangan untuk Satinah. Uang diyat yang disepakati korban sebesar 7 riyal atau sekitar Rp21 miliar. Hanya saja yang baru terkumpul saat ini sekitar 4 riyal atau Rp12 miliar.

Menurut dia, cara-cara yang dilakukan pemerintah saat ini terlalu bertele-tele, dengan  mengupayakan eksekusi ditunda atau melobi pihak keluarga korban. Malah cara ini, menurutnya, bakal merugikan Satinah mengingat batas waktu yang semakin mepet. "Takutnya diyat tebusan itu bisa naik lagi. Mending dukung gerakan rakyat yang ingin bantu Satinah," katanya.

Satinah binti Jumadi Ahmad Rabin, 40 tahun, TKI asal Dusun Mruten Wetan RT 02 RW 03, Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, itu diancam hukuman mati oleh Pengadilan Buraidah Arab Saudi. Ia dituduh telah menghabisi nyawa majikannya, Nura binti Muhammad Al Gharib, 70 tahun dan mengambil uangnya senilai 37.970 riyal atau sekitar Rp119 juta pada Juni 2007.

Satinah semula telah divonis hukuman mati mutlak (had ghillah) oleh Pengadilan Negeri Buraidah pada Agustus 2011. Karena di dalam persidangan Satinah mengakui membunuh majikannya, berikut mengambil uang milik korban sebesar 37.970 Riyal.

Namun karena upaya pemerintah Indonesia, ancaman hukuman mati mutlak terhadap Satinah bisa diturunkan  menjadi hukuman mati qishas dengan peluang pemaafan melalui mekanisme pembayaran uang darah (diyat). Pemerintah juga mengupayakan tenggat waktu vonis pada Agustus 2011 menjadi diperpanjang hingga lima kali, yaitu Desember 2011, Desember 2012, Juni 2013, Februari 2014, dan 5 April 2014 nanti

Menurut keterangan Wakil Menteri Luar Negeri Wardana, yang didampingi Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Gatot Abdullah Mansyur, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kemenlu Tatang Budi Utama Razak, dan mantan Ketua Satgas TKI/WNI Terancam Hukuman Mati Di Luar Negeri Maftuh Basyuni mengatakan upaya pembebasan Satinah dari ancaman hukuman mati mutlak menjadi qishas hingga diperpanjang sampai lima kali itu, di antaranya dengan melakukan penunjukan pengacara tetap dan pendekatan kepada ahli waris korban, serta pendekatan ke tokoh-tokoh berpengaruh di Arab Saudi.

Di samping itu, juga telah dilakukan upaya diplomatik mulai dari tingkat Perwakilan, mengirimkan utusan resmi Pemerintah RI - hingga sebanyak lima kali yakni pada Juli 2011, 23 Oktober 2011, Desember 2012, Juni 2013, dan Februari 2014 - dan surat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Raja Arab Saudi sebanyak dua kali, yakni pada Juli 2011 dan Februari 2014.

Dikatakan Wardana, keluarga korban semula meminta diyat kepada Satinah senilai 15 juta Riyal atau setara Rp45 miliar. Pemerintah dengan berbagai upaya pendekatan kepada keluarga korban maupun upaya diplomasi, meminta diberi keringanan hingga diyat itu turun menjadi 10 juta Riyal, dan sekarang menjadi 7 juta Riyal.

Terkait diyat untuk Satinah itu pula, Pemerintah berupaya menggalang pengumpulan uang sebesar 4 juta Riyal atau setara Rp12 miliar, yang bersumber dari anggaran Kemenlu sebesar 3 juta Riyal, sumbangan Apjati sebesar 500 ribu Riyal, dan sumbangan dermawan Arab Saudi sebesar 500 Riyal.

"Uang sebesar 4 juta Riyal itu sekarang sudah diserahkan kepada Baitul Maal di Buraidah yang sewaktu-waktu bisa diambil pihak keluarga majikan Satinah," kata Wardana, seperti dilansir situs bnp2tki.go.id.

Bahkan terkait pengumpulan dana diyat untuk Satinah ini, menurut Wardana, pihak Konsorsium Asuransi TKI sudah menyampaikan bersedia menyumbang 750 ribu Riyal. "Tapi hingga sekarang belum juga dilakukan," ujar Tatang Budi Utama Razak menambahkan.

Tatang mengungkapkan saat ini upaya masih terus dilakukan dengan penggalangan dana dari masyarakat untuk Satinah di dalam negeri yang dikoordinasikan Kemenlu dan Gubernur Jawa Tengah. Gubernur Jawa Tengah menggalang dana dari para pengusaha, masyarakat dan pihak-pihak lainnya. Di samping itu, upaya pendekatan terus dilakukan kepada pihak ahli waris korban, antara lain agar bersedia menerima uang diyat sebesar 4 juta Riyal (setara Rp12 miliar) itu atau kembali menunda batas waktu eksekusi Satinah guna memberi kesempatan penggalangan dana diyat.

Sementara itu Kepala BNP2TKI Gatot Abdullah Mansyur menjelaskan, pemerintah sudah memaksimalkan penyelamatan Satinah di Arab Saudi dari hukuman pancung. "Langkah penyelamatan Satinah dari ancaman hukum pancung ini memerlukan proses yang panjang dan kami telah melakukan seluruh cara," katanya.

Cara tersebut diantaranya yakni melalui pendampingan dan bantuan hukum yang sudah diberikan pada Satinah sejak kasusnya mulai disidangkan. Melalui upaya diplomatik, Pemerintah juga telah meminta bantuan Kerajaan Arab Saudi, agar menurunkan hukuman Satinah sehingga bisa bebas asal mendapat maaf dari keluarga korban.

Bahkan Gatot mengaku ia sendiri yang mengantarkan surat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Raja Arab Saudi dan meminta Kerajaan Arab Saudi menyampaikan kepada keluarga majikan Satinah menurunkan nilai diyat. "Kami mencoba terus mendampingi dan melakukan tawar-menawar agar nilainya dikurangi sesuai kemampuan," tuturnya.

Upaya lainya yang dilakukan pemerintah adalah dengan memfasilitasi kedatangan anak kandung Satinah, Nur Afriana, dan kakak kandung Satinah, Paeri Al Feri, bertemu dengan Satinah di Penjara Buraidah, Arab Saudi, sebanyak tiga kali.

Menurut Gatot, yang Februari 2014 lalu masih menjabat Dubes RI di Riyadh, kehadiran Nur Afriana dan Paeri Al Feri di sangat berarti terutama dengan menuliskan surat pribadi dari anak Satinah ke keluarga majikan Satinah, yang dimaksudkan untuk mengetuk hati keluarga ahli waris.

Gatot mengaku masih terus mengupayakan pembebasan terhadap sejumlah tenaga kerja Indonesia yang terancam hukuman pancung. Menurut dia, mengenai penerapan hukum pancung di Arab Saudi, tidak bisa diintervensi. Namun pemerintah berusaha kasus hukuman pancung terhadap TKI Ruyati tidak terulang, karena tidak adanya pemberitahuan kepada pemerintah dan keluarga TKI.

Menanggapi kritik terhadap pemerintah atas penanganan hukum TKI bermasalah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan hingga 26 Maret 2014, pemerintah telah membebaskan 176 WNI di luar negeri yang terancam eksekusi hukuman mati.

“Catatan saya 174 yang sudah kita bebaskan dari hukuman mati, yang betul tambah dua malah, Alhamdulilah. Saya kira masyarakat mesti tahu 176 sudah bisa kita selamatkan saudara kita meskipun melakukan pelanggaran hukum. Kita akan berjuang terus agar 246 lainnya bisa juga kita lakukan hal yang sama,” kata Presiden saat menyampaikan pengantar rapat terbatas kabinet di kantor Presiden, Jakarta, seperti dikutip situs setkab.go.id, Rabu (26/3) pagi.

Presiden menegaskan, ia akan terus menulis surat, atau menelepon berkali-kali kepada Presiden, Perdana Menteri, Sultan, Raja, bahkan bertemu langsung untuk meminta mohon diampuni kesalahan WNI yang terancam eksekusi hukuman mati itu.

Namun, SBY juga mengingatkan masyarakat terkait vonis hukuman mati yang dihadapi WNI di luar negeri. Di satu sisi memang ada aspek kemanusiaan, dimana wajib hukumnya bagi pemerintah salah atau tidak salah kalau ada WNI diancam hukuman mati, harus berikhtiar untuk mengurangi hukuman itu, dan membebaskan dari hukuman mati. "Ini policy kita tidak berubah, akan kita jaga," tegas Presiden.

Tetapi aspek lainnya, lanjut SBY, adalah ini kejahatan. Ia menegaskan, WNI di luar negeri yang melakukan kejahatan sama di dalam negeri, mereka juga mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan, pemerintah all out  untuk membebaskan mereka di luar negeri yang melakukan kejahatan yang sama. "Poin saya adalah setiap WNI yang tinggal dan bekerja di luar negeri, harus terus kita berikan pendidikan, sosialisasi, peringatan, janganlah melakukan kejahatan yang besar karena berat kita harus terus menerus mencari jalan untuk memintakan pengampunan atau pembebasan, belum kalau harus membayar tebusan atau diyat," tutur Presiden .

Presiden mengaku bisa memahami, jika ada WNI dijatuhi hukuman oleh pengadilan di sebuah negara itu menjadi isu yang sensitif. Apalagi kalau hukuman yang diancamkan itu hukuman mati.  "Terus terang kita rasakan masyarakat kita begitu emosi kalau hal itu terjadi," ujarnya.

BACA JUGA: