JAKARTA, GRESNEWS.COM  - Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) akan mengedepankan  perlindungan warga negara indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) di luar negeri daripada membayar diyat (tebusan) bagi WNI bermasalah di luar negeri.  Pembayaran diyat akan dibatasi berapa maksimal besaran yang akan diberikan pemerintah untuk WNI yang bermasalah dengan hukum. Sebab, mereka berprinsip setiap individu bertanggung jawab atas perbuatan yang dikerjakan.

"Kami sering menyerukan kepada WNI di Luar Negeri untuk menghormati hukum yang berlaku di negara penempatan," kata Menlu Retno Lestari Priansari Marsudi saat Rapat  Kerja (Raker) bersama Komisi I DPR RI di Ruang Rapat Komisi I, Senayan, Kamis (12/2).

Menurut catatannya, ada 2,7 juta WNI berada di luar negeri. Jumlah ini diperkirakan baru sebagian yang tercatat, sebab diprediksi jumlah WNI di luar negeri mencapai 4.3 juta jiwa. Dimana sebanyak 99,3 persen merupakan buruh migran non profesional, 99,1 persennya bekerja di sektor domestik dan 69 persen dari jumlah itu berjenis kelamin perempuan.

Kemenlu berupaya memfasilitasi pemulangaan over stayers luar negeri sebanyak 20 ribu jiwa di tahun 2014, ditambah 481 jiwa pada 18 Januari 2015. Pada tahun 2010 hingga awal 2015 Kemenlu juga berhasil membebaskan 238 WNI dari hukuman mati.

Diperkirakan masih terdapat 229 WNI yang terancam hukuman mati. Dimana 57 persen tersangkut kasus narkoba, dan 34 persen pembunuhan. Malaysia menjadi negara pemberi hukuan mati paling tinggi, yakni 168 kasus, disusul Arab Saudi 38 kasus, dan RRT 15 kasus.

Karenanya untuk pengiriman buruh migran hanya akan dilakukan dengan dua syarat. Pertama, negara tujuan punya peraturan masalah buruh migran asing. Kedua Indonesia punya perjanjian bilateral yang mengedepankan buruh migran Indonesia. "Anak buruh migran kini juga sudah dapat hak pendidikan," katanya.

Indonesia juga sedang berjuang atas satu instrumen hukum berkonteks ASEAN. Sebab belum ada hukum yang mengatur masalah perburuhan di ASEAN. Saat ini kerjasama hukum buruh migran di ASEAN baru dilakukan dengan Filipina.

Khusus terhadap perlindungan hukuman mati, berdasar Konvensi WINA, kewajiban utama pemerintah terhadap WNI di luar negeri yakni memastikan warga negaranya  memperoleh hak-hak melakukan pembelaan terbuka. Kemenlu akan menyedian pengacara, melakukan pendampingan consuler, mendekati pemerintah dan tokoh masyarakat setempat, serta menghadirkan keluarga.

Namun terdapat pula titik-titik dimana negara sudah tak dapat bergerak dan membela. Yakni di saat kemungkinan kasus pembunuhan dimana keluarga korban tak memberi maaf. Saat itu, bahkan negara atau raja sekalipun tak dapat melakukan intervensi. "Jika keluarga masih memberi maaf, maka masih dapat diberi diyat," katanya.

Berdasar fatwa ulama di Arab Saudi, diyat syari akan dikenakan pada perempuan setara dengan Rp600 juta atau laki-laki Rp1,2 miliar. Namun, tidak satupun negara di dunia membayar diyat dengan anggaran negara, negara hanya memfasilitasi pengumpulan dana saja. Berdasarkan fakta tersebut, Indonesia pun sedang melakukan pembahasan internal masalah diyat ini.

Sebelumnya, anggota Komisi IV DPR TB Hasanudin menyatakan tidak setuju dengan adanya pembayaran diyat oleh negara. Sebab pembayaran diyat dikategorikan amat mahal. "Negara kita pun memberi hukuman keras pada terpidana narkoba, setiap orang memang harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan," katanya dalam kesempatan tersebut.

BACA JUGA: