JAKARTA, GRESNEWS.COM – Sebanyak 29 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri di sektor perikanan meminta perlindungan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para pemohon yang merupakan anak buah kapal itu merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 26 ayat 2 huruf f, Pasal 28 dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU TKI).
 
Akibat pasal-pasal tersebut, mereka mengaku kehilangan hak jaminan perlindungan dan kepastian hukum terkait penggunaaan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN). Mengingat terdapat perbedaan persyaratan dalam penempatan dan perlindungan TKI dari sejumlah kementerian, khususnya TKI di sektor perikanan. Hal ini diakibatkan tidak adanya kejelasan siapa yang melindungi ABK.
 
Pasal 28, tidak menegaskan kementerian mana yang berwenang memberikan perlindungan terhadap TKI atas akibat hukum yang ditimbulkan perselisihan ABK dengan Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Sementara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub), sama-sama mengatur tata cara perizinan, penempatan, dan perlindungan TKI sektor perikanan.
 
Adanya dua kementerian atau lebih yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI yang bekerja pada sektor perikanan sebagai ABK, membuat Pemohon tidak mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum, ketika ada perselisihan akibat hubungan kerja antara ABK dengan PPTKIS. Sebab pemerintah saling lempar tanggung jawab antara Kemenakertrans dengan Kemenhub.
 
"Pemohon  tidak mengetahui, siapa sebenarnya yang berkewajiban memberi jaminan perlindungan terhdap TKI sektor perikanan," tutur kuasa hukum pemohon, Iskandar Zulkarnaen saat membackan pokok-pokok permohonan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barta, Jakrta Pusat, Kamis (22/1).
 
Hal itu terjadi juga dalam permohonan izin yang diajukan oleh PPTKIS yang akan mempekerjakan ABK. Sebaliknya, kedua kementerian tersebut saling merasa berwenang menerbitkan izin yang dimohonkan. Penyebabnya menurut Iskandar, permohonan izin tersebut terkait dengan pendapatan dari biaya-biaya yang lahir dari permohonan. Sementara Perselisihan yang terjadi antara ABK dengan PPTKIS, tidak "melahirkan" biaya-biaya yang akan menjadi pendapatan dari kedua kementerian yang dimaksud.
 
Hal itu, dibuktikan dengan adanya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 84 Tahun 2013 tanggal 4 Oktober 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal. Isinya dalam Bagian Ketiga merupakan syarat-syarat kerja yang juga telah diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Selain itu, perlindungan dan syarat-syarat kerja TKI yang bekerja pada sektor Perikanan sebagai ABK, juga diatur dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Nomor Per.12/KA/IV/2013 tanggal 10 April 2013 tentang Tata Cara Perekrutan, Penempatan dan Perlindungan Pelaut di Kapal Berbendera Asing.
 
Karena itu mereka  meminta MK menyatakan, Pasal 28 UU TKI beserta Penjelasan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, "Yang dimaksud dengan Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab dibidang Ketenagakerjaan".

Menyatakan Pasal 26 ayat 2 huruf f  UU TKI beserta Penjelasan  bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, "TKI yang ditempatkan tidak wajib memiliki KTKLN".

Pasal 26 ayat (2) tersebut berbunyi: "Penempatan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan: f. TKI yang ditempatkan wajib memiliki KTKLN". Sedangkan Pasal 28 menyatakan: "Penempatan TKI pada pekerjaan dan jabatan tertentu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri".

 

BACA JUGA: