JAKARTA, GRESNEWS.COM - Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia menyatakan keberatan atas iuran 3 persen untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Sebab dengan iuran tersebut para pekerja tidak bisa memiliki kesempatan menabung untuk masa depan mereka. Lahirnya UU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) beberapa hari lalu pun sambut pesimis oleh para buruh.

Sekretaris Jenderal ASPEK Indonesia Sabda Pranawa Djati mengatakan penerapan upah nasional dalam PP 78 Tahun 2015, telah mematok upah buruh berdasarkan angka inflasi. Sehingga aturan iuran 3 persen itu akan berdampak kepada upah buruh. Sebab upah buruh tidak didasarkan pada hasil survei standard kehidupan layak (KHL) di setiap bulannya. Artinya, dalam setiap kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) di dalam PP 78 Tahun 2015 tersebut belum memenuhi kebutuhan buruh.

Dia menjelaskan jika dikaitkan antara PP 78 Tahu dengan pengesahan UU Tapera yang mewajibkan pekerja memberikan iuran sebanyak 3 persen dari gaji yang diterimanya. Berarti, para pekerja dan buruh tidak akan pernah bisa menabung. Sebab untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja, para buruh masih dalam kesulitan.

"Untuk memenuhi kebutuhan saja masih di bawah standard kehidupan yang layak, karena penetapan upah tidak mempertimbangkan KHL," kata Sabda kepada gresnews.com, Jakarta, Sabtu (27/2).

Jika saja pemerintah masih menggunakan mekanisme survei KHL, dalam standar KHL tahun lalu terdapat 60 komponen KHL. Dalam 60 komponen KHL tersebut terdapat komponen pembiayaan perumahan untuk pekerja.  Sementara dalam PP 78 Tahun 2015 tidak ada komponen pembiayaan untuk perumahan untuk kelas pekerja.

Artinya, jika PP 78 Tahun 2015 tersebut dicabut dan kembali menggunakan survei KHL maka UMP akan menjadi tinggi dan komponen pembiayaan perumahan dapat ditabungkan untuk 3 persen dalam iuran Tapera.

Menurutnya iuran yang ditetapkan Tapera tersebut nantinya akan ditanggung oleh buruh. Bahkan bukan hanya iuran Tapera tetapi para pekerja juga harus menanggung beban iuran untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, gaji para pekerja juga harus dipotong dengan iuran Pajak Penghasilan (PPh).

"Jadi selama pengupahan masih mengacu kepada PP 78 Tahun 2015 tidak sesuai dengan KHL tiap bulan, maka selama itu pula iuran Tapera 3 persen menjadi beban bagi pekerja," kata Sabda.

ORENTASI TAPERA - Sementara itu Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda juga menilai UU Tapera terkesan lebih mengutamakan pengelolaan dana Tapera dan tidak berorientasi kepada kepentingan rakyat, yang berkaitan dengan mekanisme penyaluran dan peran Tapera menyediakan dana perumahan rakyat.

Dia menuturkan ada beberapa hal yang bakal menjadi masalah dalam Tapera. Pertama, penyediaan rumah bagi masyarakat MBR khususnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Tanpa ingin melempar tanggung jawab, namun semua yang berkaitan dengan public housing seharusnya menjadi peran pemerintah sepenuhnya, termasuk dalam pendanaan. Sementara dalam hal Tapera kehadiran pemerintah dalam hal pendanaan boleh dibilang tidak ada,  karena semua dana berasal dari masyarakat.

Kedua, Tapera seharusnya lebih sebagai lembaga nirlaba dan tidak diperlukan manager investasi dalam pengelolaan dananya. Sehingga tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk manager investasi, biaya karyawan, biaya operasional dan lain-lain. Biaya-biaya tersebut menjadikan beban biaya Tapera tinggi. Biaya itu akan membebani pemerintah atau nantinya Tapera akan lebih berorientasi komersial.

Dia menambahkan penunjukkan manager investasi sebagai pengelola dana Tapera, selain membebani biaya juga berisiko terhadap kerugian. Bila hasil pengelolaan merugi maka berdasarkan UU Pasar Modal, manager investasi tidak bisa disalahkan karena kerugian investasi.

"Sangat ironis karena dana Tapera merupakan pertanggungan terhadap uang rakyat," kata Ali.

Ketiga, perihal sebagian modal dana Tapera yang dialirkan dari Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan potensi dana Rp 33 triliun merupakan bentuk ketidakpahaman pemerintah mengenai konsep yang berbeda antara Tapera dan FLPP. Sehingga tidak dapat secara langsung menjadi disamakan dengan Tapera.

Keempat, Tapera tidak menyentuh masyarakat informal, menjadikannya lembaga ini sebagai instrumen yang bukan problem solver atas permasalahan perumahan yang ada saat ini.

Menurut Ali adanya keempat permasalahan tersebut, banyak pihak mengkhawatirkan,  banyaknya celah yang dapat dimasuki kepentingan pihak tertentu karena dana Tapera yang terkumpul dapat mencapai Rp 50 triliun setahun. Dana ini dengan kelolaan manager investasi dapat bertendensi ke arah komersial untuk bancakan pihak-pihak tertentu.

"Jangan semua mengatasnamakan kepentingan rakyat, namun terselip beberapa hal yang justru membuat rakyat ´ditipu´," kata Ali.

BACA JUGA: