JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kalangan pengusaha menyatakan keberatan dengan pemberlakuan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Sebab sejauh ini pengusaha telah menanggung banyak beban seperti iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS) Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, maupun PPh 21. Sehingga merasa terbebani jika harus menanggung iuran Tapera.

Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (KADIN) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat memberatkan pengusaha dan pekerja. Selain itu juga tidak memiliki  urgensi untuk diterapkan saat ini.

"Kalau urgensi implementasi UU Tapera sebetulnya apa, sekarang ini beban pengusaha di DKI sudah berat dan akan semakin berat jika harus menanggung iuran untuk perumahan  pekerja," kata Sarman kepada gresnews.com, kemarin.

Sarman menjelaskan, iuran yang diwajibkan menjadi tanggung jawab pengusaha dan pekerja saat ini meliputi  BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan dan PPh 21, menurutnya, iuran-iuran tersebut, sudah sangat memberatkan  kedua belah pihak. Apalagi iklim perekonomian Jakarta saat ini sedang mengalami penurunan

Dia mengaku, UU Tapera disahkan sebelum DPR dan pemerintah mengajak  para pengusaha berdiskusi. Walaupun tujuan pemberlakuan UU tersebut baik, namun harusnya tidak dipaksakan untuk diberlakukan sekarang

Sarman mengatakan DPR dan pemerintah telah mengikutsertakan kalangan pengusaha dan perwakilan Serikat Pekerja untuk mengawal efektivitas aturan tersebut. "Kami yang keluarkan iuran, tapi kenapa DPR dan pemerintah hanya menetapkan sepihak?" keluhnya.


KRITIK PASAL UU TAPERA - DPR telah mengesahkan UU Tapera beberapa waktu lalu. Namun pro dan kontra muncul setelah pengesahan UU Tapera tersebut disahkan. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, jika sekilas membaca UU Tapera, terbersit bahwa UU ini membawa semangat yang baik yaitu, untuk menyediakan rumah bagi pekerja.

Sebab banyak pekerja yang selama ini gagal memiliki rumah walaupun sudah bekerja bertahun tahun. Pekerja yang berpenghasilan rendah tidak memiliki akses kepada perbankan dan tidak memiliki collateral untuk mendapatkan kredit dari perbankan untuk kredit perumahan.

Sementara itu, bila menyewa atau mengontrak rumah maka biaya kontrak tersebut juga mahal. Ada tiga komponen yang mengambil biaya besar dari upah yaitu pangan, transportasi dan perumahan. "Oleh karena itu kehadiran UU Tapera menjadi kunci bagi pekerja berpenghasilan rendah untuk bisa memiliki rumah," kata Timboel kepada gresnews.com, Minggu (6/3).

Namun demikian, menurut Timboel, dari pasal-pasal yang ada beberapa perlu dikritisi. Diantaranya, Pasal 7 ayat 3 yang membatasi usia  kepesertaan awal 20 tahun atau sudah kawin. "Menurut saya pekerja usia 18 dan 19 tahun juga yang masih lajang juga berhak ikut sebab perumahan adalah kebutuhan pokok (primer) bagi pekerja," jelasnya.

Kedua pasal 14 ayat 2 dan 3  yang mengatur tentang berakhirnya masa kepesertaan berhak memperoleh pengembalian simpanan dan hasil pemupukannya. Namun hasil pemupukannya diperoleh setelah dilakukan pembagian secara prorata. Prorata artinya ada potensi hasil pemupukan pekerja di potong.

"Seharusnya pengembalian hasil pemupukannya tidak dibagikan secara prorata tapi berapa yang didapat dari hasil pemupukan ya itulah yang diberikan. Jadi tidak boleh dipotong," ungkapnya.

Kemudian ketiga, relevan dengan pasal 14 tersebut, maka pasal 23 harus menyebutkan secara eksplisit bahwa dana Tapera peserta dan hasil pemupukannnya diberitahu per tahun kepada peserta seperti dana JHT di BPJS Ketenagakerjaan.

Terkait dengan kepesertaan pada Pasal 7 yang mewajibkan semua pekerja termasuk pekerja asing, Timboel berpendapat, sebaiknya kepesertaan dibatasi pada pekerja yang berupah di bawah 2 PTKP (sekitar 7 juta) pada saat menjadi peserta. Toh menurut Pasal 27 yaitu tentang syarat bagi peserta untuk mendapatkan pembiayaan perumahan, maka yang berhak hanya golongan masyarakat termasuk pekerja yang berpenghasilan rendah.

Ini artinya pekerja yang tidak berpenghasilan rendah tidak mendapatkan manfaatnya apalagi ketika mau diambil maka yang diambil prorata (mengacu pada Pasal 14 ayat 2 dan 3). Terkesan UU Tapera hanya jadi tabungan hari tua bagi yang bukan berpenghasilan rendah. "Kan sudah ada pensiun dan JHT di BPJS Ketenagakerjaan. Ini akan memberatkan perusahaan tentunya," katanya.

Bila UU Tapera ini berorientasi gotong royong, sebenarnya masyarakat berpenghasilan rendah termasuk pekerja yang berpenghasilan rendah juga masih banyak, bisa sekitar 80 persen. Dengan jumlah yang besar tersebut masih ada unsur kegotong royongannya.

Selain itu juga terkait dengan pasal 28 yang mengatur tentang kelayakan peserta untuk mendapatkan pembiayaan.  Syarat tersebut dinilai sangat subyektif dari BP Tapera terutama ayat 2 c yaitu, tingkat kemendesakan kepemilikan rumah dan ayat 2 d tentang ketersediaan dana pemanfaatan.

Timboel menilai jika merujuk pada dua ayat ini maka tidak ada kepastian kapan peserta bisa mendapatkan pembiayaan rumah. Kalaupun diatur lebih lanjut dalam Peraturan BP Tapera maka seharusnya ada kepastian secara obyektif, tidak menjadi subyektifnya BP Tapera.

"Saya menilai dari seluruh pasal pasal yang ada, banyak kewenangan regulasi operasionalnya diserahkan kepada Peraturan PB Tapera. Harusnya terkait kepastian peserta mendapatkan rumah diatur oleh Peraturan Pemerintah bukan oleh Peraturan PB Tapera (seperti Pasal 28). Yang mendesak pekerja dan rakyat berpenghasilan rendah adalah kepastian untuk mendapatkan rumah," pungkasnya.

Regulasi turunan yang diamanatkan UU Tapera ini harus dibahas secara terbuka oleh seluruh stakeholder terutama serikat pekerja dan buruh sehingga obyektivitas pelaksanaan UU Tapera bisa terpenuhi. "Saya mendorong SP SB terus mengawal pembuatan regulasi operasional UU Tapera ini," ujarnya.

BACA JUGA: