JAKARTA - Bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), memiliki rumah bukan perkara mudah. Jangankan membeli, menyewa rumah saja sudah menguras penghasilan bulanan mereka karena harga rumah terus meroket sejalan pertumbuhan harga lahan.

Kenaikan harga rumah bisa mencapai 30% per tahun, sementara kenaikan pendapatan MBR tak lebih dari 3%. Ruman idaman MBR pun semakin tidak terjangkau. Di sini peran pemerintah diperlukan. Berbagai regulasi pun dikeluarkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Mulai dari bunga cicilan tetap, Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), hingga bantuan uang muka.

Upaya lain untuk mendorong masyarakat memiliki rumah adalah melalui pembentukan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Tapera sendiri bukanlah hal baru, karena pembicaraannya sudah dilakukan sejak 2012. Presiden Jokowi telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Dengan peraturan ini, Badan Pengelola atau BP Tapera akan segera beroperasi.

Berdasarkan Pasal 7 PP 25/2020, BP Tapera tidak hanya mengelola dana perumahan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), tapi bisa diakses oleh seluruh perusahaan. Pekerjaan yang diwajibkan menjadi peserta BP Tapera adalah calon PNS dan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Kemudian, prajurit dan siswa Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), pejabat negara, pekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milih Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Desa, perusahaan swasta, dan pekerja apa pun yang menerima upah. "Besaran Simpanan Peserta ditetapkan sebesar 3% dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan peserta pekerja mandiri," bunyi Pasal 15 beleid tersebut.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menanggapi PP Tapera.

Wimboh mengatakan pengelolaan dana perumahan di Tapera sama dengan lembaga keuangan lainnya harus menerapkan kaidah good governance atau tata kelola yang baik.

"Seperti lembaga keuangan lainnya, ini harus dipenuhi, standar OJK begitu," kata Wimboh dalam konferensi pers daring di Jakarta, Kamis, (4/6/2020).

Menurut Wimboh, pemerintah mengeluarkan aturan Tapera ini agar masyarakat tidak kesulitan membeli rumah. OJK pun memberikan insentif dalam Tapera, salah satunya suku bunga yang murah.

Meski demikian, aturan baru ini masih menuai polemik. Di satu sisi, serikat buruh mendukung aturan ini, tapi di sisi lain, sejumlah pengusaha masih keberatan akan aturan baru yang terbit di tengah situasi COVID-19 ini.

Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah melihat Tapera sama sekali tidak tepat buat kelas pekerja. Lantaran pemenuhan kebutuhan dasar adalah kewajiban negara, tanpa kecuali pemenuhan kebutuhan perumahan.

"Apa yang bisa kita lihat dari kebijakan Tapera adalah upaya lepas tangan negara atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat," katanya dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Kamis (4/6/2020).

Ia menjelaskan setelah negara tidak mengambil kewajiban penuh dalam sektor kesehatan, kali ini juga menarik diri dari kewajiban pemenuhan perumahan rakyat. Sesuatu yang bahkan tampak tidak seirama dengan Pasal 28 H Ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan."

Menurutnya konstitusi jelas menyebut tempat tinggal sebagai hak, bukan penyebutan-penyebutan yang lain. Hak tentu saja tidak bisa diputar menjadi kewajiban bayar, seperti dalam program Tapera.

Upaya melepas tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain-lain kebutuhan publik, menunjukkan bahwa negara tidak bekerja untuk kepentingan rakyat.

Tapera hadir dalam kerangka menarik dana publik, alih-alih menggunakan sumber daya negara untuk memenuhi kebutuhan publik. Dalam Tapera, peran negara hanya menjadi tukang pungut dana dari rakyat, otoritas pengelola dan menjadikan dana publik demi tujuan-tujuan berorientasi profit, sebagaimana logika korporasi bekerja. "Kewajiban negara akan pemenuhan perumahan justru dibebankan ke pundak kelas pekerja," katanya.

Dalam konteks bisnis sekali pun, lanjut Ilhamsyah, ini tidak terlihat masuk akal, di mana publik yang sebagai penopang utama sumber pendanaan, bahkan tidak memiliki saham atau otoritas apapun atas BP Tapera.

Selain itu pungutan sebesar 3% dari besaran upah bagi pekerja adalah pukulan terhadap daya beli pekerja. Tambahan pungutan ini akan menggerus nilai upah, lebih-lebih skala kenaikan upah telah lama dipagari oleh PP 78/2015.

Keluarnya PP Tapera saat pandemi COVID-19 juga menunjukkan ketidakpedulian pemerintah atas kondisi rakyat pada umumnya dan kelas buruh secara khusus.

"Di saat-saat sulit seperti sekarang ini sepatutnya negara lebih banyak memberikan uluran tangan terbaiknya untuk memudahkan kehidupan rakyat, bukan uluran tangan untuk menarik lembaran rupiah dari kantong rakyat," ujarnya.

Sejauh ini negara terus saja mengintensifkan penarikan dana dari publik, yang hakikatnya adalah melemparkan beban krisis ke punggung rakyat. Dari biaya tarif listrik yang naik, tidak diturunkannya harga BBM, sampai dengan perluasan penerapan pajak. Tidak berlebihan bila PP Tapera diartikan sebagai lanjutan dari intensifikasi penarikan dana dari publik untuk mengatasi defisit APBN.

KPBI juga menolak Tapera karena sudah ada rujukan buruknya tata kelola dana publik oleh badan yang ditunjuk oleh undang-undang. Pada Mei yang lalu, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan kenaikan iuran BPJS yang ditetapkan pemerintah. MA menyatakan pemerintah seharusnya tak membebankan masyarakat atas defisit BPJS Kesehatan.

MA memandang karena defisit terjadi akibat kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan. Landasan MA itu tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor: 7 P/HUM/2020. Apa yang dinyatakan MA ini menunjukkan bahwa pemerintah belum bisa membenahi kinerja yang buruk dari badan yang mengelola dana publik.

Ia menegaskan penarikan dan pengelolaan dana publik baru seperti Tapera, patut diwaspadai akan mendorong berulangnya praktek pengelolaan yang buruk, merugikan rakyat dan menambah persoalan baru di kemudian hari. Tapera bukannya akan memberikan kebermanfataan dalam jangka panjang bagi rakyat, sebaliknya malah hanya akan menjadi ladang permasalahan baru, sehingga pada ujungnya rakyat akan kembali menjadi objek penderita.

 "Kami tentu menyadari kebutuhan rakyat akan perumahan adalah persoalan penting dan serius," imbuhnya.

Pada penghujung 2016, Kementerian Perkerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyebut bahwa kebutuhan perumahan bagi rakyat mencapai 1,2 juta unit per tahun. Sebuah angka yang memang tidak kecil. Lantas bagaimana seharusnya negara menjawab kebutuhan tersebut?

KPBI menilai ada beberapa langkah yang harus ditempuh pemerintah memenuhi rumah bagi buruh.

Pertama, mengembalikan peran negara dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Negara tidak boleh lepas tangan, atau mencari jalan lain untuk menghindari kewajiban ini.

Negara harus menggunakan semua sumber daya yang dimilikinya, bukan saja untuk membuat rakyat memiliki hunian yang layak, pun demi meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup rakyat secara keseluruhan.

Kedua, membangun kawasan industri yang terintegrasi dengan kebutuhan dasar buruh. Selama ini kawasan industri tidak dibangun untuk sekaligus memenuhi kebutuhan pekerja, seperti hunian dan fasilitas publik lain.

Kawasan industri hanya berisi pabrik-pabrik dan bangunan-bangunan bisnis. Ribuan hektar tanah yang ada tidak sedari awal direncanakan untuk dialokasikan sebagian demi pembangunan perumahan buruh. Negara harus mengambil langkah ini. Mewajibkan pembangunan perumahan buruh di kawasan industri.

Beban dana pembiayaan ini bisa dikenakan baik kepada pihak swasta atau ditarik dari sumber dana lain semisal BPJS Ketenagakerjaan.

Seperti diketahui, hingga 2019 saja dana BPJS Ketenagakerjaan telah menembus Rp431,9 triliun. Pada tahun yang sama juga, hasil investasi BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp29,2 triliun. Investasi yang dilakukan menggunakan instrumen utama seperti surat utang yang mencatatkan porsi 61%, kemudian saham 19%, deposito 10% dan reksadana 10%.

BPJS Ketenagakerjaan seharusnya mulai mengalihkan invetasi dan menyalurkan keuntungan kepada pemenuhan langsung kebutuhan buruh. Besaran dana yang ada dan keuntungan yang dihasilkan harus mulai dialihkan, satu diantaranya untuk membangun perumahan gratis atau setidaknya sangat murah untuk buruh.

Dana juga harus digelontirkan untuk rumah sakit dan fasilitas dasar lainnya. Halangan peraturan yang ada semisal PP 55/2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, harus segera diubah.

Bilamana cara-cara ini ditempuh oleh negara, akan banyak kemanfaatan yang akan diperoleh kelas pekerja di Indonesia.

Buruh akan mendapatkan kemudahan karena lokasi huniannya terintegrasi dengan tempat kerja. Selain meringankan mobilitas, biaya tempat tinggal, seperti sewa kontrakan atau kosan pun akan terpangkas tajam. Begitu pula dengan ongkos transportasi bagi buruh, mengingat jarak tempuh yang bahkan dimungkinkan dilakukan dengan berjalan kaki antara hunian dan pabrik.

Ongkos transportasi otomatis pasti susut secara signifikan. Selama ini biaya sewa tempat tinggal dan transportasi rata-rata memakan alokasi sekitar 30%-35% dari total upah buruh tiap bulan. Artinya bila program ini dijalankan, ada kenaikan upah riel buruh pada kisaran nilai yang kurang lebih sama.

Selain itu, perumahan buruh gratis atau sangat murah dan terintegrasi juga akan menurunkan konsumsi BBM. Negara kerap mengaku subsidi terus menganggu ruang fiskal mereka, dengan perumahan buruh gratis terintegrasi konsumsi BBM secara signifikan akan turun. Kelas pekerja tidak lagi membutuhkan BBM dalam jumlah besar dalam aktivitas berangkat dan pulang kerja.

Dampak lanjutannya adalah kemacetan pada jam berangkat dan pulang kerja juga akan susut. Bukan saja secara sosial ini akan membantu penurunan tingkat stress masyarakat di jalan, pun menguntungkan untuk penghematan anggaran. Biaya perawatan dan perbaikan jalan bisa dipangkas, hingga kemudian bisa dialihkan untuk kepentingan lain. (G-2)

BACA JUGA: