JAKARTA, GRESNEWS.COM - Belum genap sebulan umur Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) disahkan DPR, keberadaan beleid ini akan digugat oleh para senator di Senayan. UU Tapera dinilai cacat formil dan substansinya kabur.

Pembahasan UU itu dinilai cacat formil karena tidak sesuai dengan mekanisme pembahasan RUU yang telah diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh karena itu, Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI akan mempertimbangkan untuk melakukan judicial review ke MK. Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Komite II DPD RI, Anna Latuconsina, dalam keterangannya yang diterima gresnews.com, Minggu (20/3).

Anna menjelaskan, MK dalam putusannya menyatakan DPD RI memiliki kewenangan yang sama dalam pengajuan RUU. Selain itu, DPD RI memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU dari awal sampai akhir pembahasan. Pembahasan UU Tapera tidak memenuhi kedua unsur yang disebutkan dalam putusan MK.

"Oleh karena itu, Komite II DPD RI akan melakukan langkah-langkah konstitusional dengan mempertimbangkan kemungkinan diajukannya uji materiil atau judicial review kepada MK," kata Anna.

Selain cacat formil, UU tersebut juga secara materil dianggap mengandung beberapa muatan yang perlu mendapatkan perhatian oleh DPD RI. Komite II DPD RI menilai substansi UU Tapera tidak mengakomodasi tentang ketersediaan dan kepemilikan tanah, serta kestabilan harga tanah. UU Tapera sejatinya harus mampu memprioritaskan kepentingan ketersediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah, bukan hanya kepada kepentingan ekonomi. Tidak adanya unsur masyarakat sebagai peserta Tapera dalam struktur Badan Pengelola (BP) Tapera menunjukkan belum adanya keadilan bagi peserta Tapera.

Lainnya yang disoal DPD adalah UU Tapera juga dianggap mengalami tumpang tindih dengan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), terutama dalam hal iuran. Ada ketidaksinkronan UU Tapera dengan visi Tapera itu sendiri. Misalnya, syarat utama kepesertaan Tapera adalah bagi pekerja yang menerima upah di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) dengan iuran sebesar 3 persen dari upah tiap bulan, dimana 2,5 persen dibayar pekerja dan 0,5 persen dibayar oleh pengusaha. Dengan melihat itu tentunya beban pengusaha menjadi bertambah. "Ada tumpang tindih iuran Tapera dengan BPJS," kata Anna.

KEBERATAN PENGUSAHA - Keberatan implementasi UU Tapera juga disampaikan para pengusaha Indonesia. Lewat Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), pengusaha menolak membayar iuran Tapera. Hariyadi B. Sukamdani, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Apindo, mengatakan iuran Tapera dinilai tumpang tindih peruntukannya dengan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan melalui iuran Jaminan Hari Tua (JHT).

Pasal 37A Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, dengan jelas mengatur bahwa pemerintah telah mengatur pengembangan dana sosial JHT pada instrumen investasi dapat digunakan untuk mendukung program penyediaan perumahan bagi peserta paling banyak 30 persen dari total dana sosial JHT. Dan saat ini total dana JHT mencapai Rp 180 triliun. Jika dihitung tiga puluh persennya masih terbuka untuk dimanfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat, khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Sebaiknya pemerintah mengoptimalkan dahulu pemanfaatan dana perumahaan yang tercakup dalam program JHT. Dengan demikian, pemerintah tidak terburu-buru untuk memungut dana yang berpotensi membuat upah kerja Indonesia menjadi makin tidak kompetitif. Apindo juga menyatakan siap mengajukan uji materi (judicial review) atas peraturan itu jika langkah persuasif untuk membatalkan UU tersebut tak digubris.

Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Maurin Sitorus mempersilakan siapapun untuk mengajukan uji materi ke MK. Pihaknya mengaku siap digugat. Maurin menyampaikan siapapun punya hak untuk menguji perundang-undangan jika hal tersebut bertentangan dengan konstitusi. Disahkannya UU Tapera adalah keputusan politik agar negara hadir memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya dalam bentuk kepemilikan rumah.

Sementara menurut Ketua Pansus RUU Tapera Yoseph Umar Hadi, dengan disahkannya beleid ini, masalah perumahan rakyat dapat diselesaikan, terutama bagaimana membantu warga negara yang belum memiliki rumah karena faktor penghasilan. Menurut Yoseph, inti UU ini adalah menyediakan payung hukum bagi pemerintah untuk mewajibkan setiap warga negara baik Indonesia maupun warga asing yang bekerja di NKRI untuk menabung sebagian dari penghasilannya di bank kustodian yang akan dikelola oleh Badan Pengelola Tapera untuk dipupuk dan dimanfaatkan bagi penyediaan rumah murah dan layak.

BACA JUGA: