JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah Kementerian Komunikasi dan Informasi memblokir situs-situs radikal di dunia maya terus menuai kecaman. Kali ini para pemilik situs yang dicap radikal tersebut mempertanyakan apa dasar pemblokiran situs mereka. Mereka mendatangi Komisi I DPR untuk mengadukan permasalahan tersebut.

Anggota Komisi I DPR Supiadin mengatakan telah menerima kabar dari pemilik web yang mempermasalahkan langkah pemerintah terkait upaya pemblokiran situs di dunia maya. "Intinya pesan yang disampaikan pemilik situs adalah mereka mengaku keberatan dan mempersoalkan pemblokiran situs web ini," ujar Supiadin, Rabu (1/4).

Supiadin, anggota Fraksi Nasdem tersebut mengatakan, komisi I DPR berencana membahas masalah ini dengan pihak terkait, baik dari pemilik situs maupun dari pemerintah. "Kami meminta penjelasan soal penelusuran kriteria situs radikal," ucap Supiadin.

Namun, Supiadin menegaskan, langkah pemblokiran bisa saja diambil bilamana situs-situs yang diselidiki memuat konten radikalisme, provokasi dan penyebaran fitnah. Apabila terbukti melanggar aturan, Supiadin mengatakan sanksi hukum untuk menangani persoalan tersebut akan dilaksanakan sesuai aturan.

Selain itu, menurut Supiadi, pandangan masyarakat perlu dilibatkan dan harus dijadikan referensi untuk mengambil kesimpulan pada saat rapat Komisi I DPR.

Menurutnya dasar hukum pemblokiran situs berlandaskan pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Pada Pasal 2 Permen tersebut menyebutkan bahwa pemblokiran situs bermuatan negatif bertujuan melindungi kepentingan umum dari konten internet yang berpotensi memberikan dampak negatif atau merugikan masyarakat.

Namun, langkah pemblokiran situs bermuatan negatif tersebut disinyalir tidak membawa hasil yang maksimal. Pernyataan tersebut disampaikan pengamat terorisme Taufik Andri.

Menurut Andri, pemblokiran situs tidak menyelesaikan masalah karena dapat muncul kapan saja dengan motif dan nama baru lewat pendaftaran Internet Service Provider (ISP) atau penyedia jasa internet.

"Mereka adalah media yang punya hak untuk hidup. Mereka bisa menyebarkan pandangan dan visi politik mereka kapan saja," kata Andri.

Selain itu, kendala lain yang akan dihadapi pemerintah yaitu mekanisme penindakan hukum. Menurut Andri, pemerintah harus mengantongi sanksi yang jelas dan mempunyai dasar mengenai spesifikasi aturan yang dilanggar.

"Sanksi hukum masih belum jelas, apabila terbukti maka perlu ada penyelidikan dan pengawasan lebih lanjut oleh pemerintah," jelasnya.

Para pengelola situs yang diblokir berang dan mengadukan hal itu ke Komisi I DPR. "Kami minta tunjukkan, mana beritanya yang kafirkan Jokowi. Mana buktinya? Tidak ada seperti itu," kata pengelola situs hidayatullah.com, Mahladi, usai audiensi dengan Komisi I di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (1/4).

Hal yang sama juga diungkapkan oleh pengelola voa-islam.com, Aendra Madita. Dia meminta BNPT tidak membuat kriteria yang mengawang-awang. "Dibuktikan saja," ujar Aendra.

Sebelumnya, BNPT menyebut situs-situs yang diblokir menyebarkan paham radikalisme seperti pro-ISIS. Ada pula yang tidak mendukung ISIS namun mengkafirkan orang lain.

"Saya pernah lihat, mengharamkan demokrasi, dan mengkafirkan Jokowi. Mereka kontra dengan ISIS tapi di akhir mereka mengekor mengkafirkan," ujar Direktur Deradikalisasi sekaligus Juru Bicara BNPT Irfan Idris, Selasa (31/3). (dtc)

BACA JUGA: