JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kebijakan pemblokiran situs yang dilakukan pemerintah tak memiliki dasar hukum kuat. Pemerintah dapat saja kembali membuka situs yang telah diblokir bila pemiliknya keberatan.

Pengamat siber, alumnus Arizona State University, Fahmi Fachrudin, menilai alasan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) meminta pemblokiran situs-situs yang dicurigai bermuatan konten Islam radikal oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), lemah. Permintaan pemblokiran dari BNPT itu tidak berdasarkan pada aturan hukum. Karena itu, menurutnya, perlu ada  kriteria dan aturan yang lebih detail dalam pemblokiran satu konten yang diduga menyebar paham radikalisme.

Fami merujuk alasan pemerintah memblokir adalah penggunaan domain dot (.) com dan paham takfiri (mengkafirkan orang lain). Takfiri merupakan salah satu kriteria khusus BNPT soal situs dianggap radikal sehingga harus diblokir. Sedangkan soal domain adalah kriteria pemblokiran di Kemkominfo.

"Argumen BNPT dalam beberapa pemberitaan ketika memberikan argumen tidak pas soal alasan pemblokiran, seperti penggunaan .com dan takfiri," tutur Fahmi dalam diskusi Perspektif Indonesia dengan topik Mengapa Blokir Situs Onlline? di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (4/1).

Padahal, lanjutnya, pemerintah seharusnya merujuk kepada aturan seperti undang-undang yang lebih mengena, misalnya aturan pers yang melarang penyebaran informasi kebencian. Karena itu, ia mengimbau para regulator untuk mendasari keputusannya dengan aturan-aturan yang berlaku. Lantaran BNPT berkaitan dengan terorisme maka acuan penutupan situs-situs tersebut juga harus berkaitan dengan penanggulangan terorisme.

"Perlu mendalami kriteria dan aturan yang lebih detail ketika akan melakukan pemblokiran," tegasnya.

Sementara itu Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta Ali Munhanif berpendapat, pemerintah bertugas untuk menjaga keamanan nasional. Pemerintah bisa menjadi fasilitator untuk mencegah agar paham radikal yang menyebarkan permusuhan tidak masuk ke ruang publik.

Namun, kata Ali, diperlukan komunikasi intensif dengan para pengelola situs, agar pemerintah dapat menjalankan fungsi pembinaan. "Saya mengimbau para pengelola situs untuk sepakat bahwa dakwah dalam media publik harus diimbangi sensitivitas multikulturalisme. Banyak aspek Islam yang bisa membangun keberadaban dibanding terus menganggap orang lain kafir, sehingga membuat permusuhan," kata Ali.

Seperti diketahui, melalui surat Nomor 149/ K.BNPT/3/2015, BNPT meminta kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir sejumlah situs web. Pemblokiran itu dilakukan karena situs-situs tersebut dianggap sebagai penggerak paham radikalisme dan sebagai simpatisan radikalisme

Menanggapi hal itu, Ketua Bidang Hukum dan Regulasi Desk Cyber Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenpolhukam) Edmon Makarim menegaskan, Kemenkominfo tidak menutup situs yang dianggap menyebarkan paham radikal. Tetapi hanya menghalangi atau memblokir agar halaman tidak menjadi konsumsi publik.  Sebab, kata Edmon, tidak butuh putusan pengadilan untuk memblokir situs.

"Pemerintah tidak melakukan penutupan terhadap 22 situs yang dianggap membahayakan keamanan nasional, tapi yang benar adalah pemblokiran agar tidak bisa dilihat publik," tutur Edmon.

Ia menambahkan, situs yang diblokir masih bisa diakses, namun terbatas. Sementara jika ditutup maka yang muncul dalam layar adalah keterangan situs telah ditutup. Situsnya, lanjutnya, tidak hilang, tapi tidak bisa dibuka. Pemfilteran ini, menurutnya, mutlak dilakukan sesuai aturan hukum yang ada untuk konten yang berisi informasi rasis, pornografi anak atau konten ilegal lainnya yang berkaitan dengan hak cipta.

Pemfilteran itu, kata Edmon, dilakukan atas permintaan BNPT setelah mempertimbangkan ada tidaknya konten yang dianggap mengandung paham pemenyebaran radikalisme. Namun Kemenkominfo masih bisa membuka pemblokiran dengan mempertimbangkan hal tersebut apabila ada pengelola situs mengajukan keberatan (normalisasi).

BACA JUGA: