JAKARTA, GRESNEWS.COM - Upaya pemerintah menangkal kelompok radikal masih bersifat reaktif. Seharusnya pemerintah memiliki program jangka panjang untuk menekan penyebaran radikalisme.

Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Ali Munhanif menilai pemerintah belum memiliki program jangka panjang untuk menangkal kelompok radikal seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang mulai menyusupi Indonesia. Langkah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) belum efektif menangkal paham terorisme dan radikalisme di Indonesia.

"Ada baiknya BNPT punya program jangka panjang sehingga apabila ada ruang publik yang disusupi kampanye kekerasan dan kebencian bisa dihindari lebih dulu," tutur Ali dalam diskusi Perspektif Indonesia dengan topik Mengapa Blokir Situs Online? di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (4/4).

Menurut Ali, dalam mengatasi penyebaran paham radikalisme, respons pemerintah cenderung fluktuatif. "Setelah ada ISIS tiba-tiba paranoid, nanti jika ISIS hilang pasti diam lagi," tegasnya. Pemerintah seharusnya fokus untuk menjadi fasilitator dalam menghadapi upaya-upaya yang bisa merusak identitas nasional, termasuk melalui situs.

Begitu juga dikaitkan dengan otoritas kewenangan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menutup situs-situs yang diduga menyebarkan paham radikal yang mengancam keamanan nasional. Kata Ali, mengajarkan nilai-nilai agama, anjuran berbuat baik dan ideologinya merupakan hak yang dimiliki setiap agama. Namun ketika menyentuh keamanan atau membahayakan orang lain maka perlu diambil tindakan tegas untuk menghentikannya.

Masalahnya seberapa jauh BNPT, sebagai pengusul pemblokiran itu, bisa memastikan situs-situs itu menjadi sarana melakukan kekerasan, menyebarkan nilai radikal yang mengancam keamanan nasional serta menyebarkan kebencian di muka umum.

"Langkah Kemenkominfo melalui usulan BNPT untuk menutup tersebut ada benarnya tapi perlu kriteria yang jelas," jelasnya.

Menurutnya, ada beberapa kriteria untuk menentukan apakah situs tersebut harus ditutup. Pertama, situs digunakan sebagai sarana untuk menyebar paham radikalisme. Kedua, menyebar kebencian serta menafsirkan keliru tentang ajaran agama.

Akan lebih bijaksana, lanjut Ali, ketika penutupan itu diawali dengan prosedur hukum yang benar dan memenuhi syarat sehingga masyarakat bisa menerimanya sebagai kebijakan untuk keamanan nasional. Selanjutnya, harus didahului proses komunikasi melalui dialog yang lebih persuasif antara pemerintah dengan pengelola atau penanggung jawab situs yang diduga menyebarkan paham radikalisme. Termasuk melibatkan organisi-organisasi keagamaan, seperti Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebab, menurut Ali, hal ini berbeda dengan penutupan situs pornografi yang juga ditutup, tetapi mendapat sambutan mayoritas masyarakat. "Saya pikir 22 situs merupakan jumlah yang sangat besar," tegasnya

Ketua Bidang Hukum dan Regulasi Desk Cyber Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenpolhukam), Edmon Makarim menegaskan, pemblokiran, bukan menutup, sejumlah situs yang dianggap menyebar paham radikal sudah sesuai aturan dan mekanisme sebagai langkah pencegahan.

Seperti diatur dalam UU ITE dan UU Pornografi. Ada juga yang mengatur mengenai muatan media yang mengandung kekerasan, dan penyebaran paham radikalisme yang disesuaikan dengan Undang-Undang Terorisme.

Selain itu, menurut Edmon, sebelum dilakukan pemblokiran, Kemenkominfo telah membentuk tim panel yang berjumlah empat orang. Masing-masing anggota panel ditugaskan melakukan kajian terhadap konten situs yang dianggap bertentangan dengan regulasi.

"Pemfilteran tidak dilakukan secara mendadak, atas dasar suka atau suka, tetapi karena ada kepentingan umum yang lebih besar," kata Edmon di acara yang sama, Sabtu (4/4).

Dijelaskannya, pengajuan pemblokiran situs tersebut dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), sebagai badan negara yang melihat pada substansi masalah. BNPT, lanjutnya, meminta kepada Kemenkominfo untuk memblokir sejumlah situs web melalui surat Nomor 149/ K.BNPT/3/2015. Hal ini menurutnya, sejalan dengan fungsi dan kewajiban BNPT  untuk menjaga keamanan nasional.

Sementara terkait pemberitahuan ke pengelola konten atau situs, menurut Edmon, pemerintah tak perlu memanggil mereka. Hal ini bisa dilakukan pemerintah jika sudah terbukti situs yang mereka kelola telah menyalahi aturan-aturan yang berlaku di Indonesia. Pemanggilan terhadap pengelola itu tergantung karakteristik konten.

BACA JUGA: