JAKARTA, GRESNEWS.COM - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pascatertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar beberapa waktu lalu akan mentah di DPR. Ahli Tata Negara Universitas Indonesia Ahmad Natabaya mengatakan alasan pembuatan Perppu MK tidak relevan bila dikatakan karena alasan darurat.

"Dari isinya, Perppu ini tidak menunjukkan keadaan darurat. (Salah satunya) dalam konsideran menimbang atau mengingat harus dilihat alasan filosofis dan sosiologisnya, itu tidak menunjukkan dalam keadaan darurat," kata Natabaya kepada Gresnews.com pada Kamis (28/11).

Ahmad Natabaya mengatakan selama ini Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur fungsi dan tugas masing-masing dari Mahkamah Konsititusi, Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). Menurutnya, dalam pasal 24 a menyebutkan kewenangan KY untuk mengajukan usulan mengenai Hakim Agung. Sedangkan pasal 24 b mengatur mengenai pengawasan KY terhadap Hakim Agung.

Sementara dalam Perppu MK menyebutkan untuk membentuk panel Majelis Kehormatan. Dimana proses seleksi Hakim Konstitusi diusulkan ke Majelis tersebut dan pengawasan Hakim Konstitusi oleh KY.

Menurut Natabaya dalam pasal 24 c UUD 1945 sudah diatur mengenai tiga lembaga yang memilih Hakim Konstitusi. Pasal itu menyebutkan Hakim MK yang berjumlah sembilan orang, diantaranya tiga orang diajukan oleh Presiden, tiga orang diajukan oleh DPR dan tiga orang oleh MA.

Sehingga bila Perppu itu nantinya diusulkan maju sebagai Undang-Undang, Guru Besar Ilmu Tata Negara UI itu, menilai sebagian fraksi akan menolaknya. Meski demikian Ahmad Natabaya menghormati keputusan Presiden Yudhoyono untuk mengeluarkan Perppu dengan alasan penyelamatan MK.

Pada rapat yang diselenggarakan Komisi III DPR RI dengan Menteri Hukum dan HAM serta Menteri PAN-RB mengenai Perppu MK dua fraksi menyatakan menerima yaitu Fraksi PD dan PAN. Sedangkan tiga fraksi menolak yaitu PDIP, Gerindra, dan Hanura. Sedangkan empat sisanya belum menyatakan sikap.

Anggota Komisi III dari Fraksi PDIP Ahmad Baskara menyatakan substansi dari Perppu MK cacat konstitusional dan berpotensi menumpuk kekuasaan baru di Komisi Yudisial (KY). "Perppu tersebut terutama Pasal 18A, 18B dan 18C yang intinya mengatur MA, DPR dan/atau Presiden mengajukan calon hakim konstitusi kepada panel ahli yang dibentuk oleh KY untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan yang diakhiri dengan persetujuan lolos atau tidaknya calon, secara nyata menabrak ketentuan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945," kata Baskara kepada Gresnews.com pada Rabu (27/11).

Menurutnya, Perppu itu juga dinilai akan merampas kewenangan DPR/MA/Presiden mengajukan hakim konstitusi sebagaimana dijamin UUD 1945 pasal 24C ayat (3) UUD 1945. Lebih lanjut, komposisi Majelis Kehormatan hakim konstitusi yang bersifat tetap (Pasal 27A ayat (5)) tanpa melibatkan unsur Hakim Konstitusi di dalamnya berpotensi menghambat MK dalam menegakkan keadilan substansial dan menjadikan MK cenderung formalistik.

"Karena kekuasaan majelis kehormatan yang sangat besar terutama dalam pemberian sanksi juga rawan disalahgunakan," imbuhnya.

Baskara juga menilai Perppu MK merupakan bentuk amandemen UUD 1945 secara terselubung oleh Presiden SBY. Padahal wewenang amandemen UUD 1945 ada pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Maka menurutnya, DPR harus menolak mengesahkan Perppu ini menjadi UU. Ia mengatakan agar DPR segera mendorong revisi UU MK dengan pembahasan yang mendalam untuk perbaikan-perbaikan kinerja MK dengan tetap berpegang pada UUD 1945.

(Mungky Sahid/GN-04)

BACA JUGA: