JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi III DPR RI terbelah dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Amanat Nasional Tjatur Sapto Edi mengatakan sebagai salah satu fraksi pendukung Perppu MK merasa kecewa dengan putusan MK itu.

"Kami kecewa, tetapi inilah jalan yang sudah dipilih oleh negara ini bahwa orang yang tidak puas dengan uu bisa mengajukan judicial review ke MK sehingga apapun keputusannya harus dihormati," kata Tjatur Sapto Edy melalui sambungan telepon dengan Gresnews.com, Kamis (13/2).

Tjatur menambahkan meski kecewa namun putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga apapun yang diputuskan bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Meski demikian Tjatur juga menyayangkan bila MK beberapa kali membatalkan UU yang menguji dirinya sendiri.

Menurut Tjatur meski secara hukum dapat dibenarkan, namun secara etika sikap MK itu dinilai kurang elok. Dengan dikabulkannya judicial review tentang UU mengenai Perppu MK ini, maka Komisi Yudisial (KY) tidak lagi menjadi lembaga yang mengawasi kinerja hakim-hakim MK. 

Untuk itu, Tjatur berharap agar MK dapat membentuk lembaga untuk mengawasi dirinya sendiri, seperti Komite Etik yang dibentuk oleh KPK beberapa waktu lalu. "Kami hanya berharap pemurnian terhadap dirinya sendiri. Tapi tidak ada yang bisa mengoreksi dirinya. ya kita berharap para hakim negarawan. Kami minta buat mekanisme internal untuk pembersihan dirinya," imbuhnya.

Dengan dibatalkannya UU tentang Perppu MK ini, otomatis pemilihan Hakim MK kembali kepada DPR RI. Terkait hal ini, Tjatur katakan Komisi III akan segera menggelar uji kepatutan dan kelayakan untuk mengganti dua hakim MK yang segera pensiun tahun ini. Uji kepatutan dan kelayakan itu akan digelar awal bulan depan. Saat ini setidaknya sudah ada lima hakim yang mendaftar untuk mencalonkan diri sebagai hakim MK.

Senada dengan koleganya, anggota Komisi III dari Fraksi Amanat Nasional yang lain Taslim Chaniago curiga dengan putusan MK itu. Menurutnya, dengan dibatalkannya UU tentang Perppu MK membuat lembaga itu seolah tidak mau diawasi. "Jadi secara etika apakah MK itu menguji UU yang mengurus dirinya. Ada apa sesungguhnya. Saya kira ada kecurigaan kenapa mereka menguji kasus itu. Ada orang-orang yang tidak nyaman (dengan UU MK, red)," kata Taslim kepada Gresnews.com, Kamis (13/2).

Ia katakan dengan putusan MK ini, menjadi semakin kuat adanya dugaan keterlibatan hakim konstitusi lain yang menjadi mafia kasus di MK seperti Mantan Ketua MK, Akil Mochtar. Padahal bila MK ingin menjadi lembaga yang transparan dan terbuka pada publik, seharusnya MK tidak membatalkan pasal yang mengatur soal pengawasan dirinya.

"Bila seperti ini, MK seperti tidak punya iktikad baik untuk berubah," imbuh Taslim.

Saat dikonfirmasi mengenai sikap fraksi pendukung Perppu MK beberapa waktu lalu, Taslim katakan hal ini sudah diprediksi oleh Sekretariat Gabungan (Setkab) sendiri pada saat membahas mengenai Perppu MK. "Saya sebagai salah seorang yang menghadiri saat pembahasan Perppu MK itu, memang pernah menanyakan apa yang akan dilakukan bila akhirnya MK membatalkan UU itu nantinya, tapi pada saat itu Setkab tidak memberikan jawaban," ujarnya. Namun tidak menutup kemungkinan bila para fraksi pengusung Perppu MK dapat bertanya pada MK dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI.

Sementara itu, anggota Komisi III dari Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan Ahmad Basarah mengatakan keputusan MK itu sudah tepat. Menurutnya dengan putusan MK itu membuat MK menjadi lembaga yang independen dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun.

"Pada dasarnya (putusan MK) itu tepat dan menunjukkan bahwa MK menjalankan tugasnya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang independen sekaligus pengawal konstitusi yang tidak dapat diintervensi cabang kekuasaan lainnya," kata Ahmad Basarah melalui pesan instan kepada Gresnews.com, Kamis (13/2).

Wakil Sekretaris Jenderal PDIP itu menambahkan ada beberapa pertimbangan yang menjadi masalah sejak diajukannya Perppu MK ini. Pertama, sejak awal kehadiran Perppu Nomor 1 Tahun 2013 terkesan dipaksakan dan menunjukkan ketidasepahaman Presiden akan substansi UUD 1945 yang dibuktikan dengan cacat formil. Cacat formil itu, adalah tidak memenuhi syarat hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Selain itu kehadiran Perppu itu sejak awal juga cacat materil karena bertentangan dengan ketentuan pembentukan panel ahli untuk rekruitmen Hakim MK oleh KY dan pengawasan Hakim MK melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) dibawah KY dengan pasal-pasal dalam UUD 1945. Kedua, putusan MK yang membatalkan UU penetapan Perppu MK ini menunjukkan sejak awal penerimaan beberapa fraksi di DPR terkesan terpaksa. Keterpaksaan itu lantaran adanya lobi politik dari partai penguasa yang mempengaruhi subjektifitas penilaian terhadap Perppu MK ini.

Dengan adanya putusan MK ini, Ahmad Basarah katakan harus segera ditindak lanjuti dengan segera memilih dua hakim MK baru. Satu hakim untuk menggantikan posisi Akil Mochtar dan seorang lagi untuk menggantikan Hakim Harjono yang memasuki masa pensiun. Sehingga posisi Hakim MK dapat segera terisi dengan sembilan anggota sesuai formasi. Wasekjen PDIP itu juga menghimbau kepada semua pihak untuk menghormati putusan MK itu.

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Persatuan Pembangunan Ahmad Yani mengatakan karena sejak awal diajukan Perppu MK sudah cacat hukum, maka dengan adanya putusan MK untuk membatalkan UU tentang Perppu MK sudah tepat. "Sejak awal kan memang bertentangan dengan konstitusi, karena mengambil kewenangan DPR dan Presiden dalam memilih hakim konstitusi. Jadi kalau UU ini batal ya sesuai dengan pemikiran saya sejak awal," kata Ahmad Yani melalui sambungan telepon kepada Gresnews.com, Kamis (13/2).

BACA JUGA: