JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memanggil Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (PT BCA) Jahja Setiaatmadja. Pemanggilan ini berkaitan dengan perkara korupsi saat proses pengurusan keberatan pajak bank swasta terbesar di Indonesia itu yang melibatkan mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Purnomo.

Pemanggilan Jahja ini memang pertama kalinya. Meski begitu, lembaga antirasuah ini menegaskan pemanggilan itu bukan yang terakhir. KPK bisa saja memanggil kembali Jahja ataupun pejabat BCA lainnya terkait perkara ini.

"Ya bisa saja (pejabat BCA) dipanggil lagi. KPK akan memanggil siapapun yang diduga berkaitan dengan perkara ini," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha kepada Gresnews.com, Minggu (24/5).

Priharsa mengatakan, pemanggilan tersebut akan dilakukan sesuai kebutuhan penyidik untuk melengkapi berkas Hadi Purnomo. "Penjadwalan belum tahu, karena itu sesuai kebutuhan penyidikan," ujar Priharsa.

Jahja dipanggil KPK pada Jumat (22/5) lalu. Ia diperiksa penyidik lebih dari 11 jam yaitu mulai dari pukul 09.00 WIB hingga 20.20 WIB. Sekeluarnya dari Gedung KPK, Jahja tak banyak bicara kepada wartawan. "Saya ditanya tentang keberatan pajak BCA," kata Jahja.

Ia mengklaim apa yang dilakukan perusahaannya telah sesuai dengan prosedur yang berlaku dalam mengajukan keberatan pajak. Namun ia sendiri mengaku tak mengenal Hadi Poernomo yang saat itu memimpin Ditjen Pajak.

Padahal, ketika itu Jahja menjabat sebagai Direktur PT BCA sejak 29 Desember 1999 dan kemudian menjadi Wakil Direktur Utama pada 26 Mei 2005. Lantas, sejak 12 Mei 2011 hingga sekarang ia menjadi direktur utama.

Kasus keberatan pajak ini terjadi pada 2003 lalu ketika Jahja menjabat direktur. "Tidak, tidak (kenal)," ucap Jahja.

KPK menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus tersebut pada 21 April 2014 ketika kasus terjadi Hadi masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak 2002-2004.

Hadi saat ini sedang menjalani sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena menggugat penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK berikut tindakan penyidikan, penggeledahan, dan penyitaan oleh lembaga penegak hukum itu.

Pada 21 April 2014, KPK menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait penerimaan seluruh permohonan keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan Badan PT BCA, Tbk tahun pajak 1999.

KPK menemukan kesamaan modus yang dilakukan Hadi Poernomo yaitu menyalahgunakan kewenangan dengan bersembunyi di balik kebijakan pajak saat menjabat sebagai Dirjen Pajak dengan tindakan mantan Deputi Gubernur BI bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya yang melakukan penyalahgunaan kewenangan sebagai Deputi Gubernur BI di balik kebijakan perbankan.

Hadi sebagai Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Pajak 2002-2004 diduga menyalahgunakan kewenangan dengan bersembunyi di balik kebijakan pajak yaitu mengubah telaah direktur PPH mengenai keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan Badan PT BCA, Tbk tahun pajak 1999.

Surat keberatan pajak penghasilan 1999-2003 itu diajukan BCA pada 17 Juli 2003 terkait Non Performance Loan (NPL atau kredit bermasalah) senilai Rp5,7 triliun kepada direktur PPH Ditjen Pajak.

Setelah penelaahan, diterbitkan surat pengantar risalah keberatan dari direktur PPH pada 13 Maret 2004 kepada Dirjen Pajak dengan kesimpulan bahwa permohonan keberatan wajib pajak BCA ditolak.

Namun satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final BCA yaitu pada 18 Juli 2004, Hadi Poernomo selaku dirjen pajak, memerintahkan agar Direktur PPH mengubah kesimpulan yaitu dari semula menyatakan menolak, diganti menjadi menerima seluruh keberatan.

Hadi kemudian mengeluarkan surat keputusan Dirjen Pajak yang memutuskan untuk menerima seluruh keberatan wajib pajak sehingga tidak ada cukup waktu bagi direktur PPH untuk memberikan tanggapan atas kesimpulan yang berbeda itu.

Atas penerimaan keberatan itu keuangan negara dirugikan senilai Rp375 miliar bahkan potensi kerugian negara dapat mencapai Rp1 triliun sehingga sudah dapat dikategorikan memenuhi unsur pidana yang disangkakan.

KPK menyangka Hadi Poernomo berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

BACA JUGA: