JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kasus dua pengacara, Timotius Tumbur Simbolon dan Jemmy Mokolensang, yang didakwa membuat dokumen palsu dalam kasus sengketa tanah antara klien mereka dan PT Bank Central Asia (BCA) mendekati akhir. Timotius dan Jemmy berkeras menyatakan tak bersalah dalam kasus ini.

Keduanya diperkarakan oleh pihak BCA lantaran dinilai telah membantu Jakub Sugiarto Sutrisno membuat sertifikat palsu atas tanah seluas 7.800 meter persegi yang terletak di Jl Karet III Gang Gusuran RT 10/01 Kelurahan Karet, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan. Tanah itu, menurut pihak BCA, merupakan aset perusahaan yang sudah dikuasai secara sah sejak 20 tahun lalu.

Menurut versi BCA, Sugiarto berniat menyerobot tanah milik perusahaan dengan menggunakan modus klaim Eigendom Verponding. Sugiarto mengklaim tanah itu milik Lim Kit Nio (95 tahun) berdasarkan Eigendom Verponding 6393 Nomor 5. Padahal Eigendom Verponding 6393 Nomor 5 atas nama Lim Kit Nio itu tidak terdaftar di Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta.

Karena itu, pihak BCA melaporkan Suagiarto dan juga kedua pengacara itu ke polisi. Mereka diduga telah melanggar Pasal Pasal 167 KUHP tentang penyerobotan aset dan Pasal 263 Ayat (2) KUHP soal dokumen palsu. Pihak Polda Metro Jaya yang menerima laporan itu kemudian menindaklanjuti kasus tersebut dan menangkap sejumlah orang yang menduduki lahan itu yang diduga suruhan pengacara Sugiarto yaitu Timotius dan Jemmy. Keduanya belakangan juga telah ditetapkan sebagai tersangka.

Kasus ini kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI dan kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk disidangkan. Putusan kasus ini sendiri sedianya disidangkan pada Rabu (13/4). Namun sidang ditunda tanpa alasan yang jelas.

Atas perkara ini, Timotius dan Jemmy mengaku optimistis mampu memastikan mereka tidak bersalah dalam perkara ini. Timotius bahkan menuding ada skenario di balik dakwaan yang dibuat jaksa kepadanya.

"Ada konspirasi kejahatan di balik dakwaan itu. Saya yakin dakwaan itu disusun dengan bukti-bukti yang tidak sah," kata Timotius saat dihubungi melalui saluran telepon kepada gresnews.com, Jumat (15/4).

Timotius mengutip keterangan saksi Arbijoto di persidangan sebelumnya sebagai saksi ahli yang menyatakan berkas perkara atas terdakwa Timotius dan Jemmy disusun berdasarkan bukti yang tidak sah. Menurut keterangan Arbijoto, jika perseroan sudah mati atau bubar tidak bisa dijadikan subjek pajak karena sudah dihapus subjek pajak hukumnya dan dihapus badan hukumnya.

Keterangan itu, kata Timotius, membantah klaim BCA atas tanah itu, sehingga tuduhan yang dilancarkan pihak BCA pun tidak berdasar. Berdasarkan kesaksian Ernawati, Timotius mengetahui pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan di Jalan Karet III oleh BCA atas nama PT Bahana Dharma Utama tidak sah, karena Bahana sudah dibubarkan pada tahun 2002 lalu.

Dalam Berita Acara Pemeriksaan atas Ernawati juga terungkap bahwa pembayaran PBB tidak dilakukan BCA melainkan atas nama PT Bahana Dharma Utama. Untuk memperkuat dalilnya, Timotius mengaku sudah mengirim surat ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, kata Timotius dalam persidangan kode etik di Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) tempat Timotius bergabung menyatakan tidak ada pelanggaran kode etik saat Timotius melakukan pendampingan kliennya.

Terakhir Timotius mengadukan persoalan yang dihadapinya kepada presiden melalui surat Nomor 033/DPP-AAI/E/III/2016 tanggal 7 Maret 2016. Dalam surat itu, memuat tiga permohonan yakni meminta pengadilan tetap independen dalam perkaranya, tidak boleh menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan yang digunakan sebagai dasar dakwaan, memohon presiden memeriksa Jaksa Penuntut Umumnya.

Dalam surat balasan Nomor B-1566/Kemenstneg/D-2/DM.06/04/20016 yang dikeluarkan Kementerian Sekretaris Negara menyatakan laporan AAI tentang berkas perkara yang disusun bukti yang tidak sah bertentangan dengan UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaaan Pasal 8 Ayat (3) menyatakan menyerahkan pengaduan ke Jaksa Agung Muda Pengawas (Jamwas) untuk ditindaklanjuti. Hasilnya diserahkan ke Sekretaris negara untuk diteruskan ke Presiden.

UPAYA INTERVENSI HUKUM - Saat ditanya apakah surat ke presiden akan mengintervensi proses hukum yang sedang dijalaninya, Timotius membantahnya. Menurutnya, substansi surat presiden tidak mencampuri putusan hakim, hanya meminta agar proses hukum tetap berjalan sesuai prosedur.

"Justru tidak masuk ke dalam putusan hakim. Ini bukan intervensi politik ke dalam hukum tetapi hanya mengoreksi proses administratifnya saja," terangTimotius.

Menanggapi hal itu, Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Made Sutrisna menyatakan terkait surat dari pihak pengacara kepada presiden itu tidak mempengaruhi proses hukum yang sedang berjalan. "Tidak ada pengaruhnya itu terhadap keputusan majelis. Majelis tetap melakukan pemeriksaan dan memutuskan sesuai dengan surat dakwaan," kata Made kepada gresnews.com.

Terkait dengan isi surat permohonan agar JPU diperiksa, Made menganggap itu persoalan dari pihak terdakwa. Selama belum ada surat perintah dari Kejaksaan Agung untuk menghentikan perkara tersebut majelis tetap pada pendiriannya.

"Itu urusan mereka lah. Kecuali ada surat perintah untuk menghentikan dari Kejagung atau presiden baru akan dipertimbangkan. Sepanjang surat-surat saja ke instansi apa pun tidak ada masalah," pungkas Made.

Melihat perkara itu, pengamat hukum pidana dari Universitas Tarumanagara Hery Firmansyah menyatakan dalam penanganan perkara semestinya bersifat komprehensif. Baik dari pihak penyidik, penuntut umum, sehingga bisa menghasilkan putusan yang mengakomodir nilai keadilan.

"Harus saling korelasi positif dan terintegrasi. Karena ada bagian dari penuntutan atau penyidik yang salah maka berimplikasi terhadap putusan," kata Hery.

Hery menekankan pada proses penyidik atau penuntutan karena ini akan menjadi bahan bagi majelis untuk memutuskan. "Kalau pegumpulan bukti dengan cara tidak sah atau melawan hukum tidak bisa menjadi sah dan hakim harus menolak itu," pungkas Hery

Terkait sanggahan kedua terdakwa ini, pihak jaksa penuntut umum tetap pada pendiriannya. Jaksa Martha P. Berliana dalam persidangan sebelumnya mengatakan, bukti-bukti yang disusun jaksa adalah bukti yang sahih.

Berliana menyatakan bahwa antara sidang kode etik profesi dan sidang peradilan pidana adalah hal yang berbeda sehingga putusan sidang etik profesi tidak dapat mempengaruhi peradilan pidana. "Putusan kode etik oleh lembaga profesi advokat, dalam hal ini AAI, tidaklah dapat menyampingkan atau menghapuskan atas perbuatan terdakwa yang melakukan tindak pidana," ujarnya.

Menurut Berliana, dengan menjadi advokat tidak menjadikan seseorang atau warga negara menjadi kebal terhadap hukum. Karenanya, putusan dewan etika profesi advokat hanya berlaku untuk kalangan advokat saja, namun tidak berlaku untuk kalangan umum.

Berliana pun menyayangkan penasihat hukum dari dua advokat tersebut menggunakan asumsi dan pendapat hukum, bukan fakta hukum dalam membela kliennya. "Fakta-fakta persidangan adalah yang menjadi fakta hukum, namun sangat disayangkan penasihat para terdakwa yang menggunakan surat AAI, bukan berbicara mengenai fakta tetapi asumsi dan pendapat baik dari kuasa hukum maupun terdakwa," katanya.

Kemudian, pernyataan sudah dilegalisirnya sertifikat oleh notaris yang dinyatakan oleh penasihat hukum dan terdakwa tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh saksi dalam pembuktian persidangan. Dalam keterangannya, saksi selaku notaris menyatakan bahwa legalisir tersebut adalah legalisir untuk menyatakan bahwa fotocopi tersebut benar dan sesuai dengan aslinya, bukan untuk menyatakan bahwa sertifikat tersebut benar atau palsu karena bukan kewenangan saksi sebagai notaris.

BACA JUGA: