JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus sengketa lahan antara PT Bank Central Asia (BCA) dan Jakub Sugiarto Sutrisno berakhir dengan dijatuhkannya vonis 1 tahun 6 bulan penjara terhadap dua advokat Timotius Tumbur Simbolon dan Jemmy Mokolensang. Keduanya adalah pengacara dari Jakub Sugiarto Sutrisno saat berperkara dengan BCA terkait sengketa tanah di di Jl Karet III Gang Gusuran RT 10/01 Kelurahan Karet, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan.

Dalam perjalanan kasusnya, kedua pengacara itu ikut didakwa melakukan tindak pidana berupa pemalsuan dokumen sertifikat surat tanah seluas 7.800 meter persegi itu. Tanah itu, menurut pihak BCA, merupakan aset perusahaan yang sudah dikuasai secara sah sejak 20 tahun lalu.

Menurut versi BCA, Sugiarto berniat menyerobot tanah milik perusahaan dengan menggunakan modus klaim Eigendom Verponding. Sugiarto mengklaim tanah itu milik Lim Kit Nio (95 tahun) berdasarkan Eigendom Verponding 6393 Nomor 5. Padahal Eigendom Verponding 6393 Nomor 5 atas nama Lim Kit Nio itu tidak terdaftar di Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta.

Karena itu, pihak BCA melaporkan Suagiarto dan juga kedua pengacara itu ke polisi. Mereka diduga telah melanggar Pasal Pasal 167 KUHP tentang penyerobotan aset dan Pasal 263 Ayat (2) KUHP soal dokumen palsu. Pihak Polda Metro Jaya yang menerima laporan itu kemudian menindaklanjuti kasus tersebut dan menangkap sejumlah orang yang menduduki lahan itu yang diduga suruhan pengacara Sugiarto yaitu Timotius dan Jemmy.

Dipidananya dua pengacara saat mendampingi kliennya berkasus di pengadilan ini, belakangan menjadi polemik. Pasalnya, berdasarkan UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, posisi pengacara dilindungi undang-undang. Apalagi, terpidana utamanya yakni Jakub Sugiarto Sutrisno meninggal dunia saat menjalani kasus hukumnya di PN Jakarta Selatan sehingga penuntutannya dihentikan.

Namun kedua pengacara itu, oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kasusnya diteruskan dan dinilai terbukti melanggar Pasal 263 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP tentang pemalsuan dokumen.

Terkait perkara ini, pengamat hukum pidana Universitas Tarumanagara Hery Firmansyah menyatakan, pengacara meskipun diatur tersendiri melalui UU Advokat, namun tidak membuatnya kebal hukum. "Pengacara dapat saja dipidana karena dia juga merupakan subjek hukum," katanya kepada gresnews.com, Senin (11/7).

Terkait vonis hakim, kata dia, dalam pengenaan Pasal 263 KUHP, ada unsur barang siapa. Menurut Hery, unsur barang siapa adalah definisi umum yang membuat siapa pun bisa masuk ke dalam kategori ini. "Pengacara memang bukan subjek yang kebal hukum. Dia juga subjek hukum yang bisa saja dipidana," ujarnya.

Namun demikian, sebenarnya Hery melihat, dalam kasus ini, ada peluang agar kedua pengacara bisa lepas dari jeratan hukum. Langkah satu-satunya adalah membuktikan bahwa dirinya memang tidak terlibat dalam membuat dokumen palsu seperti yang dituduhkan. Kedua, terpidana harus membuktikan bahwa dokumen yang digunakan tidak mengalami perubahan sejak dari kliennya.

"Terpidana juga harus membuktikan bahwa dia tidak terlibat dalam delik pidananya tersebut. Penting juga menyatakan bahwa surat surat itu begitu aslinya tanpa diubah-ubah," katanya.

Menurut Hery, seharusnya memang ada pertimbangan hukum untuk menghentikan penuntutan karena JSS yang menjadi klien kedua pengacara itu sudah meninggal yang menyebabkan proses hukumnya mesti dihentikan.

KURANG CERMAT - Di sisi lain, kata Hery, kedua pengacara itu juga harus melakukan introspeksi terhadap tugas yang dijalankannya. Sebab, kata dia, jika ada unsur kekurangcermatan bagi pengacara dalam menerima perkara juga bisa saja membuatnya terjerat kasus hukum. "Makanya pengacara dalam melakukan tugas profesionalnya juga harus berhati-hati," ujarnya.

"Seharusnya kalau sumber utamanya selesai maka unsur turunannya juga selesai. Jadi ini sudah inkracht karena tidak melakukan upaya hukum banding jadi ini preseden juga buat hukum kita," terang Hery.

Hal yang sama juga diungkap pengajar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogjakarta Mudzakkir. Menurutnya, pengacara sebagai subjek hukum tidak bisa lepas dari tuntutan hukum jika dia kurang cermat dalam menangani perkara.

"Kalau ada bukti bisa saja pengacara dipidana. Seperti pengacara yang terlibat dalam penyuapan. Kalau sembrono bisa dipidana juga," ujar Mudzakkir kepada gresnews.com melalui sambungan teleponnya, Senin (11/7).

Meski begitu, Mudzakkir juga membuka peluang kedua terpidana bisa melakukan upaya hukum banding, dan bisa bebas dari vonis hakim tingkat pertama. "Bisa saja digugurkan penuntutannya tapi dengan syarat dia harus membuktikan sebaliknya (tidak terlibat dalam pembuatan dokumen palsu).Kalau dia mengajukan banding, artinya bisa saja hakim memeriksa kembali apakah putusan tingkat pertama sesuai dengan alat bukti atau tidak," tegas guru besar UII.

Akan tetapi, jika tidak menggunakan upaya hukum untuk membuktikan dirinya bersalah, maka putusan hakim tingkat pertama telah dianggap berkekuatan hukum tetap (inkracht). "Kalau dia tidak menggunakan hak hukumnya melakukan banding maka putusan hakim inkracht dan tetap dijalankan,"pungkasnya.

Timotius dan Jemmy sendiri dalam perkara ini menegaskan mereka tak bersalah. Timotius bahkan menuding ada skenario di balik dakwaan yang dibuat jaksa kepadanya. "Ada konspirasi kejahatan di balik dakwaan itu. Saya yakin dakwaan itu disusun dengan bukti-bukti yang tidak sah," kata Timotius saat dihubungi melalui saluran telepon kepada gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Timotius mengutip keterangan saksi Arbijoto di persidangan sebelumnya sebagai saksi ahli yang menyatakan berkas perkara atas terdakwa Timotius dan Jemmy disusun berdasarkan bukti yang tidak sah. Menurut keterangan Arbijoto, jika perseroan sudah mati atau bubar tidak bisa dijadikan subjek pajak karena sudah dihapus subjek pajak hukumnya dan dihapus badan hukumnya.

Keterangan itu, kata Timotius, membantah klaim BCA atas tanah itu, sehingga tuduhan yang dilancarkan pihak BCA pun tidak berdasar. Berdasarkan kesaksian Ernawati, Timotius mengetahui pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan di Jalan Karet III oleh BCA atas nama PT Bahana Dharma Utama tidak sah, karena Bahana sudah dibubarkan pada tahun 2002 lalu.

Dalam Berita Acara Pemeriksaan atas Ernawati juga terungkap bahwa pembayaran PBB tidak dilakukan BCA melainkan atas nama PT Bahana Dharma Utama. Untuk memperkuat dalilnya, Timotius mengaku sudah mengirim surat ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, kata Timotius dalam persidangan kode etik di Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) tempat Timotius bergabung menyatakan tidak ada pelanggaran kode etik saat Timotius melakukan pendampingan kliennya.

Terakhir Timotius mengadukan persoalan yang dihadapinya kepada presiden melalui surat Nomor 033/DPP-AAI/E/III/2016 tanggal 7 Maret 2016. Dalam surat itu, memuat tiga permohonan yakni meminta pengadilan tetap independen dalam perkaranya, tidak boleh menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan yang digunakan sebagai dasar dakwaan, memohon presiden memeriksa Jaksa Penuntut Umumnya.

Dalam surat balasan Nomor B-1566/Kemenstneg/D-2/DM.06/04/20016 yang dikeluarkan Kementerian Sekretaris Negara menyatakan laporan AAI tentang berkas perkara yang disusun bukti yang tidak sah bertentangan dengan UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaaan Pasal 8 Ayat (3) menyatakan menyerahkan pengaduan ke Jaksa Agung Muda Pengawas (Jamwas) untuk ditindaklanjuti. Hasilnya diserahkan ke Sekretaris negara untuk diteruskan ke Presiden.

BUKTI JAKSA SAHIH - Sementara itu, terkait sanggahan kedua terdakwa ini, pihak jaksa penuntut umum tetap pada pendiriannya. Jaksa Martha P. Berliana dalam persidangan sebelumnya mengatakan, bukti-bukti yang disusun jaksa adalah bukti yang sahih.

Berliana menyatakan bahwa antara sidang kode etik profesi dan sidang peradilan pidana adalah hal yang berbeda sehingga putusan sidang etik profesi tidak dapat mempengaruhi peradilan pidana. "Putusan kode etik oleh lembaga profesi advokat, dalam hal ini AAI, tidaklah dapat menyampingkan atau menghapuskan atas perbuatan terdakwa yang melakukan tindak pidana," ujarnya.

Menurut Berliana, dengan menjadi advokat tidak menjadikan seseorang atau warga negara menjadi kebal terhadap hukum. Karenanya, putusan dewan etika profesi advokat hanya berlaku untuk kalangan advokat saja, namun tidak berlaku untuk kalangan umum.

Berliana pun menyayangkan penasihat hukum dari dua advokat tersebut menggunakan asumsi dan pendapat hukum, bukan fakta hukum dalam membela kliennya. "Fakta-fakta persidangan adalah yang menjadi fakta hukum, namun sangat disayangkan penasihat para terdakwa yang menggunakan surat AAI, bukan berbicara mengenai fakta tetapi asumsi dan pendapat baik dari kuasa hukum maupun terdakwa," katanya.

Kemudian, pernyataan sudah dilegalisirnya sertifikat oleh notaris yang dinyatakan oleh penasihat hukum dan terdakwa tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh saksi dalam pembuktian persidangan. Dalam keterangannya, saksi selaku notaris menyatakan bahwa legalisir tersebut adalah legalisir untuk menyatakan bahwa fotokopi tersebut benar dan sesuai dengan aslinya, bukan untuk menyatakan bahwa sertifikat tersebut benar atau palsu karena bukan kewenangan saksi sebagai notaris.

BACA JUGA: