JAKARTA, GRESNEWS.COM - Serangan serentak di beberapa tempat di Paris, Perancis pada Jumat (13/11) malam waktu setempat, segera menjadi topik hangat dalam pertemuan antara negara-negara G-20. Dalam acara Working Dinner Session Konferensi Tingkat Tinggi G-20, Minggu (15/11), isu terorisme dan pengungsi menjadi bahasan khusus.

Dalam forum ini, Presiden Joko Widodo menyatakan, ekstrimisme dan terorisme terjadi di mana-mana. "Ini merupakan tantangan yang perlu ditindaklanjuti dan disikapi bersama melalui tindakan konkret," kata Presiden Jokowi, seperti dikutip setkab.go.id.

Presiden berpendapat bahwa dampak negatif yang nyata dari konflik yang terus terjadi di berbagai kawasan dunia adalah meningkatnya migrasi ireguler. Isu migran ireguler ini telah menjadi tantangan yang cukup serius, khususnya bagi Turki dan negara-negara Eropa.

Untuk menyelesaikan masalah ini, menurut Presiden, perlu terlebih dahulu menyelesaikan akar permasalahannya. Antara lain dengan memastikan pembangunan berimbang, menghentikan kekerasan dan penindasan, serta menghilangkan diskriminasi dan menegakkan demokrasi.

Lebih lanjut Presiden Jokowi mengemukakan bahwa selama ini Indonesia menerapkan kombinasi pendekatan hard approach yang mengedepankan penegakan hukum dan keamanan, serta soft approach dengan menggunakan pendekatan kebudayaan dan agama dalam upaya mengatasi ekstrimisme di Indonesia.

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar serta negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, Presiden Jokowi berpendapat bahwa Indonesia adalah laboratorium yang menunjukkan bahwa Islam, demokrasi, dan kemajemukan bisa berjalan beriringan.

"Harmonisasi ini terlihat dimana kemajemukan dan toleransi itu sendiri merupakan kenyataan sehari-hari di Indonesia," tegas Jokowi.

Presiden Jokowi menegaskan, kerjasama internasional yang kuat untuk mengatasi ekstrimisme dan terorisme merupakan satu keharusan. "Diperlukan pendekatan terpadu yang mengharuskan negara-negara bersatu dan mengesampingkan perbedaan politik untuk menghadapi ekstrimisme dan terorisme," kata Presiden Jokowi.

Pemerintah Indonesia sendiri menyatakan komitmen dan kesiapannya untuk bekerjasama dengan masyarakat internasional dalam menghadapi ekstrimisme dan terorisme guna menumbuhkan toleransi, baik di dalam negeri maupun di seluruh dunia.

Isu terorisme dan juga konflik Suriah memang menjadi bahasan yang cukup intens dalam pertemuan G-20. Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan Presiden Rusia Vladimir Putin membahas perang Suriah dan serangan Paris di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Antalya, Turki.

Gedung Putih mengatakan kedua pemimpin sepakat bahwa konflik di Suriah mendesak dicarikan jalar keluar menyusul serangkaian serangan serentak di Paris yang sejauh ini menewaskan 129 orang dan melukai ratusan orang. Disebutkan, baik Putin maupun Obama setuju perlunya gencatan senjata dan transisi politik di Suriah.

Obama menyambut segala usaha untuk menentang ISIS dan menyerukan kepada Rusia untuk memusatkan perhatian pada kelompok itu dalam operasinya di Suriah. Namun seorang pejabat Rusia mengatakan negaranya dan Amerika masih mempunyai perbedaan tentang taktik yang seharusnya digunakan dalam memerangi ISIS.

PERLU PERSEPSI BERSAMA - Dalam forum G-20 ini, isu terorisme memang mendapatkan perhatian khusus. Upaya penanggulangan isu terorisme dinilai penting diserukan kembali mengingat penanganannya membutuhkan komitmen dan keseriusan bersama tiap-tiap negara.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir menyampaikan, perlu ada penyatuan pandangan dan visi menyelesaikan ancaman tersebut dalam perundingan tingkat internasional. "Hal ini sebagai komitmen serius Indonesia mewujudkan stabilitas kemanan global," kata pria yang akrab disapa Tata itu kepada gresnews.com, Senin (16/11).

Tata mengatakan, sesuai keterangan yang disampaikan Presiden Jokowi pada pertemuan G-20, kerjasama internasional mengatasi ekstrimisme merupakan suatu keharusan dan keinginan bersama sehingga diperlukan pendekatan serta komitmen terpadu dengan mengesampingkan perbedaan politik.

Dalam sesi penyampaian pidato itu, Presiden menyatakan kesiapan kerjasama bersama masyarakat internasional menghadapi ancaman kejahatan dan menumbuhkan semangat toleransi. Sebelumnya, pada putaran Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa ke-70, perwakilan pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri RI telah menyuarakan pandangan yang sama terkait aksi pencegahan dan penanganan isu kejahatan ektrimisme dan terorisme.

Pada kesempatan itu, dalam sidang yang diwakili Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, pemerintah menyampaikan pandangan kepada Dewan Kemanan PBB soal keseriusan aksi preventif menangani ancaman isu lintas batas. Isu ini dikhawatirkan membawa ancaman kejahatan, tidak hanya wilayah tertentu namun menyebar ke kawasan-kawasan lainnya.

Sementara itu, dari dalam negeri, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) juga sudah memerintahkan agar keamanan nasional ditingkatkan. "Kegiatannya (pengamanan) yang ditingkatkan. Kalau Undang-undangnya cukup," ujar JK di Kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (16/11).

JK menjelaskan Indonesia memiliki aturan-aturan soal terorisme dan radikalisme, termasuk Undang-undang soal keamanan negara. Itu tak jadi soal. "Sudah ada Undang-undang komando negara kan ada," ucapnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo juga sudah menyampaikan pernyataan tegasnya soal isu terorisme lewat akun twitter @jokowi sebelum keberangkatan ke KTT G-20. Jokowi menegaskan bahwa terorisme tidak dapat dibiarkan.

"Dukacita mendalam bagi korban aksi kekerasan di Paris. Terorisme, apapun bentuk dan alasannya tidak dapat ditolerir -Jkw," tulis Jokowi melalui akun Twitter-nya, @jokowi pada Sabtu (14/11) pukul 10.25 WIB.

Terkait serangan itu, Kementerian Luar Negeri menyatakan hingga saat ini tidak ada Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban. "Info sementara terkait insiden Paris yang kami terima dari wakil dubes di Paris. Sejauh ini tidak ada laporan korban WNI," kata Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Indonesia Kemlu Lalu M Iqbal.

ANTISIPASI PELANGGARAN KEDAULATAN - Pemerintah memang dinilai perlu mengajak negara lain menjalin kebijakan kerjasama secara regional maupun global, mengingat isu-isu lintas batas sangat rawan terjadi di wilayah teritori berbentuk kepulauan seperti Indonesia. Pakar Geopolitik Pusat Studi Sosial dan Politik Suryo AB mengatakan, secara geografis wilayah Indonesia cukup rawan dijadikan jalur masuknya terorisme.

Hal itu menurutnya, dipengaruhi posisi geografis Indonesia strategis sebagai kawasan lalu-lintas perdagangan. Namun dalam upaya penanganannya, Suryo menilai, perlu ada kesepakatan dan kesepahaman mengenai upaya melawan bentuk kejahatan dengan modus lintas batas.

"Kerjasama internasional bagaimana yang diinginkan, apakah penanganannya bisa masuk secara bebas ke wilayah teritorial negara tertentu. Perlu diperkuat batasan-batasan dan kejelasan masing-masing negara," kata Suryo kepada gresnews.com, Senin (16/11).

Batasan kedaulatan, kata dia, sangat esensial karena terkait teritorial wilayah negara. Menurutnya, pemerintah baik secara nasional maupun internasional jangan sampai reaktif terhadap suatu persoalan yang dapat berujung pada kesalahan dalam proses penerapannya.

"Jangan sampai kerjasama internasional yang dibahas dalam G-20 ini malah berdampak pada pengaruh teritorial negara," kata dia.

Apalagi, menurutnya, ada konsekuensi bagi kedaulatan nasional karena Indonesia di mata internasional kerap disinyalir sebagai sarang teroris. Artinya pelanggaran dan kejelasan intervensi luar perlu diantisipasi dalam kaitannya dengan unsur kedaulatan.

Ia juga menambahkan, sebagai penghubung jalur laut antar negara dan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago state), persiapan internal perlu diperkuat misalnya peningkatan peran intelijen.

Suryo mengatakan, orientasi kebijakan sektor pertahanan dan keamanan menjadi fokus utama yang harus didorong secara intensif oleh pemerintah untuk mencegah penyebaran kejahatan lintas batas. (dtc)

BACA JUGA: