JAKARTA, GRESNEWS.COM - Koalisi Nasional Kelompok Kerja RUU Penyandang Disabilitas menilai, Rancangan Undang-Undang Penyandang Disabilitas yang diajukan Sekretariat Dewan DPR RI kepada Komisi VIII masih diskriminatif. Sebab RUU prioritas tahun 2015 ini dianggap hanya menitikberatkan pengaturan pendekatan kesejahteraan sosial. Bukan pada asas pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas setara dengan warga negara lainnya.

Ketua Umum Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Aria Indrawati menilai, RUU Penyandang Disabilitas tersebut penggarapannya masih berparadigma charity based dimana penyandang disabilitas didudukkan sebagai korban. Seharusnya, menurut Aria, hak yang harus dimiliki penyandang disabilitas adalah multisektor yang tidak hanya menjadi kepentingan Dinas Sosial tetapi juga lembaga negara lain.

RUU tersebut, kata dia, hanya memasukkan enam hak dasar seperti ketenagakerjaan, pemerintahan, politik, sosial, olahraga, dan budaya. "Sementara dalam draf yang disusun pokja terdapat 26 hak dasar, mulai dari kesempatan untuk hidup, hak perlindungan terhadap kekerasan, hingga hak mendapatkan informasi dan komunikasi," kata Aria dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Kamis (30/4).
.
Terkait sistematika pengaturan, RUU versi Setjen tidak memudahkan pelaksana undang-undang dalam hal implementasi, karena tidak menegaskan siapa yang bertanggungjawab atas pemenuhan hak penyandang disabilitas tertentu. "Sedangkan RUU versi masyarakat telah menggunakan sistematika pengaturan bedasarkan berbagai sektor dalam pemerintahan, sehingga jelas pengaturannya mengarahkan kepada siapa melakukan apa," kata Aria menegaskan.

Berdasarkan hal itu, Koalisi Masyarakat Penyandang Disabilitas mendesak Komisi VIII menginstruksikan kepada Setjen DPR untuk merevisi draf RUU Penyandang Disabilitas yang diajukan. Kata Aria, revisi terhadap RUU versi Setjen DPR harus dilakukan berdasarkan kepada draf RUU versi masyarakat sebagai referensi utama perubahan, sehingga dapat dipastikan draf RUU menganut sudut pandang Rights Based, dan mencakup pada seluruh sektor dalam pemerintahan yang berkaitan dengan penyandang disabilitas.

Selain itu, Koalisi juga mendesak Komisi VIII untuk mempercepat proses persiapan draf RUU, agar segera menjadi draf usulan DPR, dan kemudian masuk dalam tahap pembicaraan tingkat I dengan Pemerintah pada masa sidang terdekat. "Dengan demikian RUU Penyandang Disabilitas akan mampu disahkan pada tahun 2015, sesuai dengan komitmen awal yang sudah tercantum dalam Prolegnas," pungkasnya.

Hal senada juga disampaikan pegiat RUU Pokja Disabilitas Fajri Nursyamsi. "RUU itu masih memandang penyandang disabilitas sebagai permasalahan sosial masyarakat," kata Fajri kepada Gresnews.com, Kamis (30/4).

Hal tersebut, lanjut Fajri, patut disayangkan karena sebelumnya Koalisi Nasional Kelompok Kerja (Pokja) RUU Penyandang Disabilitas sudah menyampaikan usulan draf RUU dan draf Naskah Akademik versi masyarakat kepada DPR. Sehingga menurutnya, masih harus ditinjau ulang dan dilakukan revisi, sebelum diajukan sebagai RUU usul inisiatif DPR. "Permasalahannya bukan di pasal per pasal, tapi cara pandang," jelasnya.

Menurut dia, draf versi masyarakat yang diserahkan itu cara pandangnya sudah rights based, yaitu dengan menjadikan penyandang disabilitas sebagai subyek dalam pengaturan, dan fokus kepada penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam berbagai sektor terkait. Selain itu, draf RUU versi masyarakat sudah disesuaikan dengan prinsip dalam UUD 1945 dan Convention on the Right of People with Disability (CRPD) yang sudah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.

Fajri mencontohkan, implementasinya bukan dalam bentuk bantuan sosial. Tetapi lebih konkret, misalnya dibidang transportasi ada yang bisa dengan mudah bisa akses penyandang siabilitas. Begitu juga dibidang pendidikan, harusnya ada pengaturan jenjang pedidikan yang mereka bisa akses ke pendidikan umum. Termasuk dibidang penegakan hukum.

"UU harus memastikan ada jaminan mendapat bantuan berbagai fasilitas bantuan bagi penyandang disabilitas yang berstus terdakwa atau tersangka. Misalnya ada penerjemah bagi penyandang disabilitas yang tuli," tuturnya.

Diakuinya, aturan hak-hak penyandang disabilitas dibidang fasilitas umum sudah cukup banyak pengaturannya setingkat Peraturan Menteri. Namun dianggap tidak efektik karena cara pandangnya baru pada pendekatan kesejahteraan bukan menjadikan penyandang disatibilitas mendapat hak yang setara dengan yang lain. Misalnya, fasilitas komputer di sekolah luar biasa (SLB) sifatnya hanya bantuan sosial, bukan karena kebijakan penedekatan agar mereka memiliki kualitas atau pengetahuan setara dengan pelajar lain.

Menanggapi hal itu, anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Demokrat Khatibul Umam Wiranu mengakui, Komisi VIII sudah menerima draf dan naskah akademik RUU Penyandang Disabilitas dari Sekjen. Selanjutnya, kata dia, RUU itu akan disempurnakan di Komisi VIII melalui serangkaian rapat internal dan melalui forum pendapat umum dengan berbagai elemen masyarakat.

Dengan demikian, harapan dan masukan masyarakat masih terbuka lebar untuk dimasukkan ke RUU itu. "Proses pembahsan masih panjang, menurut saya semakin banyak yang memberi masukkan tentu hasilnya nanti semakin baik," kata Khatibul kepada Gresnews.com, Kamis (30/24).

Kata Khatibul, pembahasan RUU Penyandang Disabilitas ini akan lebih mengedepankan materi atau kontennya dibanding target waktu. Alasannya, target satu tahun seringkali berhasil, tetapi kontennya banyak bermasalah.

"Kami tentu akan lebih berhati-hati dan selektif untuk menuangkan segala konten karena berhubungan langsung dengan hak masyarakat," jelasnya.

 

BACA JUGA: