JAKARTA, GRESNEWS.COM - Peran pemerintah dalam memenuhi kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) khususnya anak penyandang autis perlu peningkatan. Inisiatif pemenuhan kebutuhan terhadap anak-anak penyandang autis ini memang menjadi kewajiban pemerintah tanpa ada perlakuan diskriminasi sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Pejabat Fungsional Diplomat Direktorat Keamanan Diplomatik Kementerian Luar Negeri Shirley Malinton mengatakan, saat ini sudah ada inisiatif berupa gerakan pemenuhan kebutuhan terhadap anak penyandang autis.

"Kini orientasi kebijakan Kemlu tidak hanya pada pengarusutamaan gender saja tetapi juga memperhatikan kondisi pemenuhan hak anak penyandang disabilitas dan autisme," kata Shirley saat ditemui gresnews.com, usai seminar bertajuk Knowing and Caring Peningkatan Perhatian Kemlu terhadap tantangan anak berkebutuhan khusus (Autisme), di gedung Nusantara Kemlu, Jumat (14/8).

Di level global, kata Shirley, Indonesia juga telah mendorong dan mengajak negara lain memberi perhatian pada kalangan penyandang autisme. "Hal ini sempat diangkat saat Konferensi Asia-Afrika di Bandung beberapa waktu lalu," katanya.

Ia menyebut, gagasan tersebut sejalan dengan visi Menteri Luar Negeri guna membuka kesempatan yang sama tanpa unsur diskriminasi. Shirley menuturkan, Kemlu saat ini secara bertahap mulai mengakomidasi fasilitas anak autis melalui program day care.

Inisiatif awalnya, lanjut mantan bintang film tahun 1980-an ini, akan diterapkan kepada anak-anak dari kalangan staf atau pegawai Kemlu. "Selain itu juga rencananya akan merintis Parent Support yang difasilitasi Kemlu," katanya.

Disamping itu, disebutkan ada pertimbangan kebijakan pemberian tunjangan untuk berkebutuhan khusus mulai dari usia 21 Tahun. Namun terkait hal ini, Shirley mengatakan perlu lebih lanjut melalui lintas pemerintahan bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Sosial.

MINIMNYA AKSES PENDIDIKAN - Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Masyarakat Peduli Autis Indonesia (Mpati) Farida Kadarusno mengatakan, saat ini belum ada data akurat terkait persebaran jumlah anak penyandang autis secara nasional di seluruh Indonesia.

"Data resmi autis belum ada. Untuk mendapat dapat prevalensi membutuhkan anggaran," kata Farida kepada gresnews.com, Jumat (14/8).

Farida menyebutkan, berdasarkan data perkiraan sementara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terdapat sekitar 350 ribu Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Indonesia khusus penyandang autis. Hanya saja, kata dia, data tersebut belum akurat sebab dari riset dan analisis laporan yang diperoleh, ternyata jumlah anak autis di seluruh Indonesia mencapai 1 juta jiwa.

"Itu riset pakar dan analis mengenai jumlah anak autis di Indonesia. Laporan angka tersebut ditemui melalui paper disertasi dan tugas akhir kajian ilmiah," ujar Farida.

Ironisnya, dari jumlah anak autis versi Kemendikbud, Farida menyebut, kesempatan terhadap akses pendidik masih sangat timpang. Farida mengatakan, keterwakilan dan partisipasi anak penyandang autis masih jauh dibanding anak normal.

Farida menyebut, persentase penyandang autis yang diterima di sekolah saat ini baru 30 persen sementara 70 persen lainnya belum tertangani kebutuhan pendidikannya.

PELAYANAN MASIH MINIM - Selain pendidikan, sarana dan prasana pelayanan kebutuhan mental dan psikis anak autis cenderung rendah. Farida mengatakan, salah satu contoh nyatanya adalah penyediaan tenaga pengajar dan pelayan anak autis.

Menurutnya, kapasitas dan kuantitas tenaga pelayan seperti speech therapist (pembimbing komunikasi) masih sangat perlu ditingkatkan pemerintah. "Kendalanya terletak pada akurasi data anak autis secara nasional. Angkanya masih bervariasi sehingga perlu akurasi agar semua terlayani secara merata," ucapnya.

Farida menemukan, ada beberapa contoh kasus dan keluhan dari kalangan para orang tua. Dimana, pengakuan mereka pada umumnya berisi tentang keluhan akses mendapat pelayanan terapis yang bagus bagi anak.

Namun, Farida mengatakan, sulit dipungkiri bahwa lulusan tenaga terapis bagi anak autis sangat rendah. Sesuai informasi dari direktur akademi terapi, kata Farida, ternyata lulusan tenaga terapis per tahun hanya sekitar 60 sampai 70 orang dari satu angkatan.

"Anak autis tentu tidak kebagian karena lulusan tersebut langsung diserap rumah sakit untuk tumbuh kembang pasien, stroke dan lainnya," ujarnya.

Ia menambahkan, Rumah Sakit pemerintah khususnya RSUD yang seringkali menyerap tenaga terapis adalah Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Hal ini dinilai perlu diatur dan dikordinasikan Kementerian Kesehatan agar pelayanan menjadi merata.

INISIATIF PEMERINTAH - Farida mengungkapkan, saat ini masih sulit menemukan lulusan terapis yang berkualitas dan kompeten. Bahkan, ditengah kesulitan menyerap tenaga pelayan bagi para autis, justru bermunculan sejumlah terapis gadungan yang hanya mengejar sertifikat.

Menurutnya, praktik tersebut menimbulkan kekecewaan dari orang tua anak karena selama berbulan-bulan tidak ada perkembangan berarti yang dirasakan anak-anak.

Untuk menutup kekurangan pemerintah dan keberbatasan pelanyanan kesehatan, Yayasan Mpati sendiri sudah menyebar video konseling terapis bagi anak autis ke sebagian daerah dari Sabang sampai Merauke. Mpati mencetak 10 ribu video terapis utnuk edukasi dan sosialisasi kepada anak autis.

Sejak 2013, pemerintah tampaknya mulai berinisiatif meningkatkan pelayanan dan perhatian pada isu autism. Namun sebagai perwakilan yayasan Mpati, Farida menekankan, adanya kordinasi dan kerjasama lintas Kementerian seperti Kemenkes, Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan dan Kebudayan, serta Kementerian Ketenagakerjaan.

Serangkain inisiatif pemerintah yang patut diapresiasi misalnya upaya Kemendikbud mendirikan autism center yang rencananya akan dibangun 29 unit. Diantaranya, sudah ada sekitar 7 balai pelayanan di Makassar, Riau, dan Jakarta.

BACA JUGA: