JAKARTA, GRESNEWS.COM - Amanat Undang-Undang Dasar (UUD 1945) dan Pasal 12 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan kewajiban negara untuk memberikan pendidikan bagi warganya tanpa diskriminasi. Pemerintah sendiri, seperti dikatakan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, akan memberikan bantuan yang merata untuk pendidikan anak-anak, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas.

Bantuan itu, kata Khofifah, sudah termasuk dalam sistem Kartu Indonesia Pintar (KIP). "KIP juga untuk begitu, dan untuk anak-anak yang memang membutuhkan support, sekarang anak-anak berkebutuhan khusus kalau dia penyandang disabilitas, dia bisa mendapatkan KAS PDB (Kartu Asistensi Sosial Penyandang Disabilitas Berat)," ujar Khofifah di The Hotel Media, Jalan Gunung Sahari, Jakpus, Selasa (7/7).

Dengan menggunakan kartu "sakti" tersebut, anak berkebutuhan khusus memperoleh bantuan dana senilai Rp300 ribu per bulan. Adapun Khofifah menjelaskan banyak program Kemensos yang dipegang oleh Dinas Sosial Kabupaten/Kota.

"Oleh karena itu kita berharap bahwa Dinsos di seluruh Indonesia tingkat dua terutama mohon bisa mengomunikasikan kebutuhan-kebutuhan khusus yang memang harus dipenuhi pemerintah," terang Khofifah.

"Tentu ini harus ada sinergi dengan pemerintah provinsi dan kabupaten, karena saat ini banyak tidak teregistrasi mereka," sambungnya.

Meski pemerintah sudah bertekad untuk memberikan bantuan kepada penyandang disabilitas, sayangnya, hingga kini diskriminasi pendidikan kepada penyandang disabilitas masih sangat terasa. Sektor ini masih kekurangan anggaran, fasilitas, dan guru.

Fasilitas pendidikan difabel hingga kini masih diberikan sebatas pada sekolah-sekolah kebutuhan khusus (SLB) dan sekolah-sekolah umum yang memberikan pelayanan difabel (inklusi). Sementara, jumlah difabel tersebar di banyak wilayah yang tak mungkin dijangkau oleh sekolah inklusif atau SLB yang jumlahnya terbatas.

"Masalah anggaran, memang ada penggalokasian khusus bagi pendidikan difabel. Tapi pengalokasiannya terbatas," ujar Muhammad Joni yulianto, Direktur Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigab), kepada gresnews.com, Sabtu (11/7).

Ia menyatakan, akan lebih efektif anggaran tersebut  dialokasikan untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusianya, baru kemudian pada fasilitas. Sebab, pada beberapa kasus, terdapat fasilitas difabel yang memadai namun tak diimbangi guru yang kompeten, sehingga menimbulkan penolakan saat siswa mendaftar.

KEKURANGAN GURU KOMPETEN - Kekurangan guru yang kompeten memang menjadi persoalan akut dalam bidang pedidikan bagi penyandang disabilitas. Jumlah guru berkompeten dan memiliki latar pendidikan disabilitas ini  digambarkan Joni dengan sebuah ilustrasi. Kata dia, dalam sebuah sekolah inklusi dengan jumlah murid 40 orang hanya mempunyai satu guru dengan ketrampilan khusus atau bahkan tak ada sama sekali.

Gambaran ini membuktikan betapa sektor pendidikan bagi penyandang disabilitas ini masih sangat kekurangan pengajar. "Skema umumnya, hanya ada guru pembimbing khusus yang dua kali seminggu datang," jelasnya.

Hal ini tentu menjadikan proses belajar mengajar menjadi tak intensif. Joni menyatakan perlu adanya perluasan kapasitas di tingkat pendidikan keguruan dengan prodi jurusan selain difabel. Ini agar para lulusan guru setidaknya mempunyai pengetahuan awal untuk menangani kelas inklusif. "Kasus ini tak lepas dari kurikulum mencetak guru, pendidikan anak difabel hanya diajarkan di jurusan pendidikan luar biasa," katanya.

Menurut hasil penelitian yang ada di lapangan, saat ini baru sekitar 35% anak difabel yang mengenyam bangku pendidikan. Kemendikbud mencatat 112 kabupaten belum memiliki gedung sekolah SLB. Padahal di wilayah tersebut juga banyak ditemukan anak-anak difabel.

Banyak latar belakang yang mempengaruhi rendahnya tingkat pendidikan difabel ini, seperti kurangnya kepedulian masyarakat akan kebutuhan anak difabel serta minimnya pengetahuan orangtua untuk mengoptimalkan kemampuan anak difabel. Selain itu, sekolah-sekolah untuk anak-anak difabel baru bisa dijumpai di tingkat kabupaten, sehingga anak-anak difabel yang tinggal di daerah terpencil tidak mendapatkan pelayanan pendidikan dari pemerintah.

FASILITAS SEKOLAH INKLUSI MASIH JARANG - Selain persoalan guru, menurut Joni, persoalan lain adalah ketersediaan sekolah bagi anak-anak penyandang disabilitas itu sendiri. Sekolah-sekolah umum yang menyediakan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus atau sekolah inklusi masih sangat jarang.

Tercatat baru ada 60 kota/kabupaten berwawasan inklusi dan 34 kabupaten/kota diantaranya sudah menerapkan kebijakan kota inklusi. Survei nasional pun menunjukkan 40 persen anak-anak difabel dari keluarga kurang mampu akan lebih cepat berhenti sekolah.

Ketidaktersediaan guru dan fasilitas inilah yang membuat 16-18 kategori anak yang tidak bisa mengakses layanan pendidikan formal, mulai dari cacat fisik, IQ rendah, kesulitan geografis dan lainnya. Sedangkan yang dapat mengenyam fasilitas pendidikan pun output-nya menjadi tak optimal lantaran pengajarnya pun tak memiliki kualitas optimal.

"Apalagi, ada semacam stigma, anak difabel harus dikumpulkan di sekolah khusus tertentu, sehingga pelayanan di sekolah inklusi semakin kurang," katanya.

Ia pun menyontohkan, walaupun saat ini sudah dibuka kesempatan bagi penyandang disabilittas untuk bersekolah di sekolah umum. Namun masih banyak syarat pendaftaran yang mendiskriminasikan. Contohnya saat mendaftar seleksi masuk perguruan tinggi disyaratkan sehat lahir batin, ini sering diartikan tak menyandang disabilitas.

Pada jurusan tertentu, misalnya arsitektur, kedokteran, teknik komputer, teknik lingkungan, sistem informasi, teknologi bioproses, dan prodi psikologi pun mensyaratkan mahasiswa barunya untuk tidak menyandang disabilitas seperti tunanetra, tunarungu, dan buta warna total. Prodi matematika mensyaratkan calon mahasiswa tidak tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunadaksa, dan buta warna total.

Persyaratan ini, kata Joni, seharusnya dihapuskan, sebab menurut Undang-Undang Dasar (UUD 1945) dan Pasal 12 UU HAM, kewajiban negara adalah memberikan pendidikan bagi warganya tanpa diskriminasi. Artinya, konstitusi mewajibkan negara membuka akses pendidikan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara, termasuk kaum difabel.

Pada beberapa negara maju, justru mengakomodasi dan memberikan fasilitas khusus bagi warganya yang difabel. Misalnya, di Amerika Serikat (AS), terdapat UU khusus untuk melindungi kaum difabel yang bernama The American with Disabilities Act. UU ini berisi kewajiban negara untuk memberikan perlindungan bagi kaum difabel di bidang pendidikan. AS bahkan melengkapi perlindungan untuk mahasiswa/mahasiswi difabel dengan yayasan yang bernama The Learning Disabilities Association of America.

Menanggapi hal ini, anggota Komisi X DPR yang membawahi bidang pendidikan Dadang Rusdiana menyatakan, pendidikan bagi penyandang disabilitas tentu sudah diperhatikan oleh pemerintah. Namun ia membenarkan belum adanya alokasi anggaran yang signifikan.

Hal ini, menurutnya, tidak terlepas dari persepsi semua pihak terhadap penyandang disabilitas yang memandang penyandang disabilitas punya hak terbatas atas pendidikan. "Sebab saat lulus nanti mereka memiliki keterbatasan dalam bekerja," katanya kepada gresnews.com, Sabtu (11/7).

Namun, saat ini Komisi X pun terus mendorong keberpihakan anggaran terhadap penyandang disabilitas dan adanya perubahan cara pandang masyarakat. "Difabel adalah warga masyarakat yang punya hak sama, bukan beban," kata Dadang. (dtc)

BACA JUGA: