JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rancangan Undang-Undang (RUU) Disabilitas yang sedang digodok Komisi VIII DPR RI masih menyisakan  sejumlah perdebatan. Salah satunya tentang  usulan pembentukan lembaga baru untuk mengayomi para penyandang disabilitas, terkait akses hukum dan politik bagi difabel.

Muhammad Joni Yulianto, Direktur Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigab), mengatakan pembahasan RUU yang sudah sempat mencapai tingkat panja ini sebenarnya sudah secara khusus diusulkan para dewan periode sebelumnya pada tahun 2014. Sempat masuk prolegnas, namun akhirnya gugur dan belum sempat dibahas pada tahun itu.

"Syukur pada masa sidang kali ini panja sudah mengadakan RDPU dan mengundang stakeholder untuk membahas RUU ini pada 25 Juni kemarin," katanya kepada gresnews.com, Senin (13/7).

Ia menjelaskan, terdapat dua draft yang ada di tangan panja sekarang. Draft pertama berasal dari Badan Legislatif (Baleg) DPR yang memuat 251 pasal. Sedang draft kedua diusulkan organisasi difabel yang memuat 265 pasal. Baik draft yang berasal dari Baleg, maupun draft yang berasal dari organisasi difabel keduanya masih memiliki kekurangan.

Salah satunya, soal usulan pembentukan lembaga baru berupa Komisi Nasional Disabilitas Indonesia. Ia menyatakan, poin ini cukup penting lantaran membuktikan konsistensi pemerintah dan DPR terkait penghormatan terhadap kaum penyandang cacat atau disabilitas. Namun, ia khawatir optimalisasinya tak bisa maksimal seperti lembaga negara lainnya di Indonesia.

"Sikapnya bukan membentuk komisi baru tapi menguatkan badan yang ada, kita punya Komnas HAM, bisa buat bidang khusus difabel," katanya.

Penolakan membentuk lembaga baru ini, salah satu alasannya lantaran melihat concern pemerintah saat ini lebih mengefisiensikan dan mengurangi keberadaan lembaga negara guna efisiensi anggaran. Inilah concern pemerintah yang coba diakomodasi organisasi difabel, hal yang lebih strategis, isu disabilitas bukan untuk mengkhususkan. Tapi, menjadikannya isu utama seperti halnya isu perempuan, menjadi arus utama dan sesuatu yang harus dipertimbangkan di sektor apapun.

"Amanat UU HAM bisa memperluas Komnas HAM untuk juga mengurusi isu disabilitas," katanya.

BUTUH ATURAN LEBIH KUAT - Sebenarnya, apapun bentuk lembaga yang akan dibentuk, ia meminta ada aturan yang lebih kuat sebagai pengawasan isu disabilitas. Sebab selama ini hal tersebut dianggap tak ada, bahkan Komnas HAM sendiri lebih banyak berbicara pada pelanggaran HAM berat. Dengan adanya UU khusus yang memberikan kejelasan mandat isu difabel, maka lembaga apapun yang dibuat memiliki dasar melakukan penanganan.

"Walaupun pernah punya anggota komisioner yang difabel, tapi kami rasakan penanganan isu difabel masih terlalu lemah karena dilokalisasi komisioner yang difabel bukan seluruh Komnas HAM," keluhnya.

Seharusnya, tanggung jawab isu difabel ini diemban oleh siapapun komisionernya. Ia pun menceritakan beberapa kasus yang menimpa difabel dan akhirnya menguap begitu saja. Misalnya, pada tahun 2013-2014 terdapat isu diskriminasi difabel di bidang penerbangan.

Salah satu maskapai penerbangan yang memiliki penumpang difabel memaksa penumpang tersebut untuk menandatangani surat pernyataan difabel. Surat tersebut menyatakan bahwa maskapai tak akan bertanggung jawab terhadap apapun yang terjadi pada penumpang difabel ini. Kasus ini hanya berakhir dengan pemanggilan maskapai saja, tanpa memastikan peraturan di maskapai tersebut benar-benar berubah.

"Ini sangat merugikan, maskapai bisa saja tak memberikan asuransi dan ganti rugi saat terjadi apa-apa," katanya.

Sigab sendiri, telah mencoba memberikan penekanan pada tiga isu utama dalam RUU Disabilitas ini. Pertama perlindungan hukum, RUU ini memiliki aturan yang lex specialis seperti UU Perlindungan Anak, misal dasar adanya Peradilan Anak penyidikannya diadaptasi dari kebutuhan anak. Ada satu bagian RUU Disabilitas yang jadi dasar lex specialis difabel, berangkat dari pengalaman,  terdapat banyak prosedur hukum yang tak adil ketika korbannya difabel.

Misal belum terfasilitasinya keberadaan penerjemah isyarat di penyidikan untuk mereka yang tuli mutlak. Rata-rata, para difabel yang tunarungu, kasusnya dihentikan atau malah ditolak. Sebab, jika diproses pun, maka akan susah berkomunikasi, jika memakai penerjemah maka juga belum tentu penerjemah tersebut netral adanya.

"Pernah ada tuna rungu korban pemerkosaan diberi penerjemah, tapi malah menyatakan korban wajar diperkosa karena nakal, dia tidak netral," katanya.

Dalam KUHAP, penerjemah hanya diberikan pada tingkat persidangan, itupun hanya pada mereka yang berbeda bahasa dan buta huruf, bukan tuli. Isu lain, beberapa difabel memiliki usia mental yang tak sejalan dengan usia biologisnya. Namun pengadilan Indonesia hanya memperlakukan aktor hukumnya sesuai usia biologis saja.

"Ada yang usia biologisnya 22 tahun tapi mentalnya 9 tahun, seharusnya ia secara mental memperoleh hak seperti anak-anak," ujaranya.

Poin kedua yakni pemenuhan hak politik agar para difabel memiliki akses yang lebih luas dalam pemilu dan partisipasi. Refleksi saat memantau pemilu 2004 hingga 2014, Sigab menyatakan masih banyak hambatan difabel dalam meggunakan hak politiknya baik secara khusus memilih, dipilih, atau berpatisipasi dalam penggambilan keputusan dan kebijakan.

Demikian juga dengan sistem pemilu yang ada dianggap kurang mengakomodir difabel, banyak difabel yang tak terdata dalam pemilu. Dalam konsep partisipasi yang luas pun kurang melibatkan mereka di perencanaan pembangunan. Selain adanya  syarat harus sehat jasmani dan rohani untuk mencalonkan diri dalam pemilu, yang diartikan tidak difabel.

Ketiga, akses kepesertaan jaminan sosial, dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang menjadi peserta jaminan merupakan kategori miskin. "Kita menawarkan indikator baru yakni kerentanan, termasuk kemudian difabel," katanya.

Menurut penelitian etnografi difabel di Sleman, Jawa Tengah, yang dilakukan Sigab pada tahun 2014. Difabel merupakan kelompok yang tingkat kemiskinannya tak terbaca di indikator kemiskinan. Sebab, sebagai difabel walaupun memiliki gaji diatas UMR, namun mereka punya biaya tambahan lain untuk menyokong aktivitasnya. Sedang, indikator kemiskinan hanya menghitung aset, bukan beban.

"Difabel pendapatannya bisa habis untuk terapi, transport yang tak kecil. Kenyataan yang dibelanjakan jauh lebih kecil," katanya.

PERTIMBANGAN ANGGARAN - Menanggapi hal ini, Ketua Komisi VIII DPR RI Saleh Parthaonan Daulay menyatakan usulan pembentukan badan khusus difabel ini masih dalam tahap penggodokan. Belum ada keputusan akan membuat lembaga baru atau membuat divisi baru pada lembaga yang sudah ada. Sebab banyak lembaga-lembaga yang ada di Indonesia malah mubazir dan tak berfungsi sesuai tupoksinya.

"Kita sedang buat hitungan plus minusnya, bagusnya memang jika ada masalah maka bisa langsung melapor ke lembaga itu. Bisa fokus," ujarnya kepada gresnews.com, Senin (13/7).

Namun sebagai lembaga pengawas, ia khawatir, pembentukan lembaga baru justru tak fungsional. Untuk itu, ia menyatakan jika hanya mengawasi maka masih bisa dilakukan DPR dengan pemerintah. Apalagi, melihat anggaran pemerintah yang dirasa tak memungkinkan untuk membentuk lembaga baru difabel ini.

Lebih sederhana, ia setuju untuk membuat penguatan di Komnas HAM. Namun, kembali semuanya  belum diputuskan. Sebab ia mengakui masih terdapat perbedaan pendapat di Komisi VIII. "Bukan kita tak mau membuat RUU Disabilitas bagus implementasinya seperti di Spanyol yang menjadi terbaik terbagus di Eropa. Tapi mampu tidak negara membiayainya?" ujarnya.

Jangan sampai ketika RUU ini selesai diundangkan sedemikian rupa, tapi pemerintah tak bisa melaksanakan pasal-pasal yang ada di dalamnya. Sebab, saat melakukan kunjungan ke daerah kabupaten kota, Saleh sudah menawarkan gagasan yang terdapat dalam RUU tersebut. Namun pemerintah daerah pun rata-rata angkat tangan.  "Kita sedang mencari titik temu antara ketidakmampuan dengan keinginan," katanya.

Perlu diketahui, perlindungan disabilitas di negara Spanyol merupakan yang terbaik di Eropa. Sebab memiliki perlindungan pendidikan, pemenuhan hak sipil dan yang jelas, terbukti dari adanya anggota DPR yang difabel. Fasilitas bagi difabel yang disediakan pun amat mumpuni, bahkan dalam botol air minum mineral saja khusus dibuatkan yang berhuruf braile.

"Semua ada, baik parkir, tempat duduk di angkutan umum yang khusus, jalan, dan lift khusus," katanya.

BACA JUGA: