JAKARTA, GRESNEWS.COM - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, menyatakan pemblokiran media harus melalui proses pengadilan dan bukan penilaian sepihak dari salah satu lembaga. Jika penutupan dilakukan hanya berdasarkan penilaian sepihak, hal itu akan berpotensi membuat konflik kepentingan yang besar.

AJI menyatakan, walaupun beberapa dari ke-22 media Islam yang diblokir masih bisa diakses hingga saat ini, namun, usulan pemblokiran dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kepada Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) tetaplah tak tepat. "Sedari awal, AJI mempersoalkan mekanisme dan tata cara pemblokiran," kata Suwardjono Ketua Umum AJI Indonesia kepada Gresnews.com, Rabu (1/4).

AJI menyatakan ketidaksetujuannya denggan mekanisme blokir oleh Kominfo yang langsung menutup sebuah website yang dinilai bermuatan radikalisme tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Apalagi, Kominfo seolah menutup masalah dengan tidak menunjukkan kesalahan situs-situs tersebut.

Seharusnya, kata Suwardjono, Kominfo dapat melihat mekanisme yang baik bukanlah diusulkan oleh sebuah lembaga. Sebab, lembaga tersebut, terlebih lembaga eksekutif penuh akan konflik ketidakindependenan.

Termasuk kepentingan kelompok tertentu dan politik. "Kepentingan mereka sangat terasa, kami menyarankan mekanisme blokir harus diputus oleh pengadilan," katanya.

Hal ini dikarenakan putusaan pengadilan sebagai lembaga yudikatif dinilai lebih bersih dan tidak memihak. Nantinya, pelaporan dari pihak terkait akan diputuskan hakim disertai dengan alasan yang penutupan.

Putusan hanya akan bersifat sementara sampai dilanjutkan dengan bukti-bukti pendukung hingga dinyatakan putusan akhir yang bbersifat final. "Dalam persidangan, media terkait dapat menunjukan keberatan, sampai ada putusan ditutup atau dibuka kembali," katanya.

Hingga kini proses putusan pengadilan untuk memblokir sebuah situs baru diterapkan pada UU Pornografi dan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Sementara terkait konten yang dianggap menyebarkan paham radikalisme, AJI lebih melihat media Islam ini sebagai produk dakwah.

Sehingga pemblokiran tersebut dikategorikan sebagai sebagai penghambat kebebasan berekspresi, bukan kebebasan pers. Namun, walaupun belum sampai pada produk jurnalistik, langkah blokir ini dinilai dapat berdampak penyalahgunaan wewenang. "Bisa saja esok benar-benar media jusnalistik yang terkena blokir," katanya.

Sebelumnya, Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno mengatakan kebijakan menutup situs berbasis Islam yang diduga menyebarkan paham radikalisme merupakan bentuk ketegasan pemerintah untuk memutus jaringan teroris di Indonesia. "Kemarin BNPT melihat ada provokasi dan penggalangan dana di beberapa situs tersebut, lalu mereka lapor ke Menkominfo dan terpaksa harus diblokir," kata Tedjo, di Kompleks Parlemen, Senayan, (1/4).

Ia melanjutkan, pemerintah tidak menutup semua situs Islam yang tersebar di dunia maya. "Ada beberapa yang ditutup, tapi tidak semua," katanya.

BACA JUGA: