JAKARTA, GRESNEWS.COM – Dua Fraksi di Komisi Hukum DPR, Golkar dan PDIP, menyatakan akan menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mereka menilai Perppu itu cacat hukum bahkan mengambil kewenangan DPR.

"Saya secara pribadi menolak, begitu juga dengan fraksi," ujar anggota Komisi Hukum DPR dari F-PG Nudirman Munir kepada Gresnews.com, Sabtu (19/10).

Menurut Nudirman, ada beberapa poin dalam Perppu tersebut yang seharusnya menjadi kewenangan DPR namun justru diambil alih oleh presiden. Nudirman menekankan poin mengenai persyaratan dan mekanisme seharusnya menjadi wewenang DPR dan tidak diputuskan oleh presiden.

"Kedua poin tersebut yang menjadi ganjalan dalam pembahasan Perppu," katanya.

Sementara poin mengenai pembentukan komisi pengawas, menurut Nudirman, sepertinya tidak akan terlalu dipermasalahkan dalam pembahasan di komisi nanti. "Kalau soal pembentukan Komisi Pengawas, sepertinya akan disetujui," ujarnya. Seperti diketahui dari empat orang pimpinan dan 46 anggota Komisi Hukum, satu orang pimpinan komisi dan sembilan orang anggota berasal dari Fraksi Partai Golkar.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Trimedya Pandjaitan juga menolak Perppu penyelamatan MK. Menurutnya, cacat fundamental di Perppu terletak pada poin b. Di situ dijelaskan bahwa Perppu tersebut dibuat untuk menyelamatkan MK dari kepribadian hakim MK yang tercela.

"Ini pertimbangan fatal. Satu hakim yang berbuat, semua dianggap tercela. Ini kesalahan fundamental dari Perppu ini. Masak satu orang yaitu Akil Mochtar, maka delapan hakim lainnya disebut tercela," kata Trimedya.

Bunyi poin b dari Perppu itu adalah: bahwa untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan Undang-Undang Dasar, akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi, perlu dilakukan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Namun Ketua Komisi III DPR mengambil sikap berbeda. "Saya mengimbau pada semua pihak agar tidak memberikan statement yang justru dapat menimbulkan polemik," kata Pieter Zulkifli dari Fraksi Demokrat.

Pieter menyatakan Perppu tersebut sangat berguna untuk menyelamatkan MK yang kini tengah terpuruk akibat ulah Ketua MK nonaktif Akil Mochtar. SBY kini tengah mencoba menyelamatkan kredibilitas MK di mata masyarakat.

Presiden, katanya, memiliki hak prerogatif membuat Perppu dan itu konstitusional. Sehingga jangan terburu-buru memberikan interpretasi yang justru dapat menyesatkan masyarakat.

Dirinya berpendapat, terpuruknya MK karena potensi penyelewengan kewenangan di MK sangat besar. Akhirnya, citra lembaga yang sebelumnya dikenal berwibawa itu telah tercoreng akibat kasus sengketa Pilkada.

"Seharusnya sejak beberapa tahun lalu semua pihak menyadari bahwa semakin meningkatnya gugatan sengketa pilkada di MK sebenarnya telah memberikan ruang terjadinya kejahatan luar biasa di internal MK," tutur Pieter.

Imbauan menahan diri tidak berkomentar dilakukan mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie. "Sekarang terserah kepada DPR, saya tidak akan berkomentar," katanya usai menjadi pembicara dalam diskusi bertema "Demokrasi Prosedural Versus Demokrasi Substansial" yang digelar di Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Gerakan Keadilan, Jumat (18/10).

Bahkan untuk sekadar berkomentar pun, Jimly tidak bersedia. Menurutnya itu adalah tugas dari para pengamat sementara dirinya saat ini sudah menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

"Kemarin-kemarin saya masih bersedia berkomentar karena kewajiban moral saja," ujarnya. Namun Jimly menyarankan apabila hendak mempertanyakan mengenai Perppu tersebut sebaiknya ditanyakan saja kepada para pejabat yang membuatnya.

"Tanya saja kepada Denny Indrayana (Wakil Menteri Hukum dan HAM)," katanya.

Jimly menekankan ide dan substansi dari Perppu tersebut sedikitpun tidak ada yang berasal dari dirinya. "Pasti ada plus minusnya dan menimbulkan pro dan kontra, yang jelas idenya bukan dari saya," ujarnya.

Ada tiga poin penting dalam Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang MK. Pertama, menambahkan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi dengan memasukkan Pasal 15 ayat (2) huruf i yang berbunyi, “Tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi”.

Kedua, menyempurnakan mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi untuk memperkuat prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas sesuai dengan harapan dan opini publik, yang tercantum pula dalam Pasal 19 UU MK.

Ketiga, memperbaiki sistem pengawasan yang lebih efektif dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya permanen, dengan tetap menghormati independensi hakim konstitusi.

(Yudho Raharjo/dtc/GN-04)

BACA JUGA: