KALANGAN DPR RI optimistis keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan uji materi UU No 32/2002 tentang Penyiaran akan menyelamatkan demokratisasi industri penyiaran. Putusan MK itu diharapkan dapat merombak sisi kelam industri penyiaran di Indonesia yang selama ini hanya dikuasai segelintir pengusaha.

"MK terlihat sangat hati-hati. Kami berharap keputusan MK kembali ke roh awal dibentuknya UU tersebut," kata anggota Komisi I DPR RI Effendy Choirie di Jakarta, Jumat (25/5).

Ahli dalam persidangan gugatan uji materi UU Penyiaran itu menyatakan, semangat pembentukan UU Penyiaran adalah menjamin diversity of content (keberagaman isi) dan diversity of ownership (keberagaman kepemilikan), serta frekuensi adalah milik publik untuk kemakmuran rakyat.

Jika MK mampu memulihkan semangat awal UU Penyiaran, mengembalikan frekuensi sebagai domain publik, hal itu akan dicatat sebagai sebuah prestasi tersendiri. "Saya yakin MK akan mengabulkan gugatan Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP). Dengan begitu, MK telah menyelamatkan wajah demokratisasi industru penyiaran," tegasnya.

Pendapat senada dilontarkan Koordinator KIDP Eko Maryadi. "MK akan mengubah wajah gelap industri penyiaran di tanah air dengan mengembalikan frekuensi yang selama ini dikuasai segelintir pengusaha kepada negara untuk kepentingan rakyat," papar Eko.

Tekanan media
Pada bagian lain, Eko menepis adanya rumor bahwa lambatnya majelis hakim konstitusi memutuskan perkara itu akibat adanya tekanan dari pelaku usaha media yang merasa kepentingan bisnisnya terusik.

"Integritas hakim konstitusi era Mahfud MD yang sudah teruji dalam berbagai kasus. Itu dasar keyakinan sehingga KIDP mengajukan permohonan uji materi UU Penyiaran," ungkapnya.

Pakar hukum tata negara Refly Harun menyatakan, frekuensi merupakan ranah publik sehingga tidak boleh dimonopoli. Karena itu, dibutuhkan satu aturan yang tegas dan keras, yang melarang monopoli dan pemindahtanganan frekuensi.

"Jika tidak, frekuensi akan dikuasai oleh segelintir orang, sehingga terjadi konglomerasi pembentukan opini. Ini mengancam demokratisasi penyiaran," imbuhnya.

BACA JUGA: