JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran masih mandeg di DPR. Bahkan pembentukan UU yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) terancam tak bisa diselesaikan hingga akhir tahun ini. Alotnya perdebatan soal beberapa pasal dalam draf tersebut disinyalir menjadi penyebab mangkraknya pembahasan RUU Penyiaran.

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Nawawi Bahrudin memandang pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang sedang dibahas di DPR itu belum menggembirakan. Demokratisasi masyarakat dalam media telivisi masih terhambat oleh beberapa persoalan lama yang sebetulnya sudah cukup memprihatinkan dunia penyiaran.

"Kita mengkhawatirkan revisi UU  Penyiaran ini bukan malah memperbaiki tapi justru salah arah," kata Nawawi dalam diskusi bertajuk "Salah Arah Revisi UU Penyiaran" di Jakarta Selatan Jalan Raya Pasar Minggu, Jumat (10/6).

Menurut Nawawi, soal penyiaran ini memang harus mendapat perhatian publik. Karena penyiaran itu mengelola satu aset bangsa yang nilainya sangat penting dan menjamin konten penyiaran berpihak pada kemaslahatan masyarakat. Sesuai Pasal 5 huruf b UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran bahwa penyiaran bertujuan menjaga moral bangsa.

Mantan Komisoner Komisi Penyiaran Indonesia periode 2004-2007 Ade Armando mengatakan ada beberapa isu pelik dalam konteks penyiaran. Salah satunya soal pemilihan anggota komisioner KPI dan perpanjangan izin siaran 10 lembaga penyiaran swasta.

Dalam pengamatannya, eksperimen empowering masyarakat sipil dalam dunia penyiaran gagal. Dia merujuk kegagalan itu pada pengalaman KPI yang gagal membangun penyiaran yang baik bagi publik. KPI bahkan tak berbuat apa pun untuk menertibkan konten siaran yang sebetulnya menyalahi ketentuan perundang-undangan.

Padahal KPI memiliki kewenangan yang cukup kuat untuk menindak televisi swasta yang nakal. Namun demikian persoalan tersebut tidak pernah ditangani, KPI justru berdalih mereka merasa diperlemah.

"Mereka punya wewenang mengawasi isi penyiaran. (KPI) Punya wewenang memberikan rekomendasi bagi televisi jika ingin memperpanjang izin siarannya. Namun hal itu tidak dimanfaatkan oleh KPI menunjukkan kekuatannya," ungkap Ade.

Ade menyimpulkan KPI tidak bekerja maksimal menjalankan fungsinya. Padahal KPI memiliki kekuatan luar biasa untuk menindaklanjuti praktik curang yang dilakukan siaran televisi. Atas dasar itu, dia mengaku pesimistis dengan keberadaan komisioner KPI sekarang.

"Kita tak bisa banyak berharap pada komisioner sekarang ini. Ke depan komisoner yang dihasilkan harus berintegritas, yang pasti tidak memiliki hubungan dengan stasiun TV," tutur Ade.

Meskipun demikian, ia menilai UU Penyiaran sebenarnya sudah sangat bagus. Hanya saja perlu ada penguatan terhadap soal tertentu agar semakin jelas. Dia mencontohkan soal pasal tentang pembatasan kepemilikan. Dalam pasal yang lama hanya memuat, pemusatan kepemilikan dibatasi, sayangnya tidak ada penjelasan lebih lanjut secara definitif pembatasannya. "Harusnya draf yang baru memperkuat yang lama," terang Ade.

Hal yang sama juga dikemukakan Muhamad Heychel dari Remotivi. Dia menekankan pentingnya peran KPI dalam sistem penyiaran, karena itu, publik perlu memastikan bahwa komisioner KPI yang dipilih oleh DPR harus orang yang memiliki track record baik dan berintegritas. Kalau tidak, justru akan membahayakan publik sendiri.

Heychel juga menilai, komisioner KPI periode sekarang tidak menunjukkan performa terbaiknya dalam menjalankan perannya sebagai pengawas. Dengan begitu, dia menyatakan jika ingin melakukan perubahan maka harus bersifat holistik."Kalau mau kita ubah dari UU lembaga sampai ke komisionernya," kata Heychel.

Haychel menilai kinerja KPI selama ini belum maksimal terkait pelanggaran pelanggaran oleh stasiun televisi. "Sanksi KPI terkesan basa-basi," katanya.

Oleh karena itu, dia memandang DPR memiliki tugas penting dalam menyaring calon komisioner yang berkualitas agar penayangan media televisi berpihak pada kepentingan masyarakat. "Penting menghasilkan KPI yang berintegritas karena ada hajatan demokrasi besar pada 2019 yakni Pileg dan Pilpres," ujar Haychel.

BATASI MONOPOLI KEPEMILIKAN - Terkait dengan pembatasan monopoli kepemilikan stasiun tv, Heychel memandang perlu ada pengaturan dalam regulasi. Dia menawarkan konsep yang dipakai Bank Indonesia yang membatasi kepemilikan bank.

"Soal monopoli, entitas kepemilikan. Meminjam konsep Bank Indonesia, itu 3 ke atas dan ke bawah. Jadi waktu mendaftar sudah diserahkan ke pemerintah daftar keluarganya  agar mengantisipasi monopoli media," ujar Haychel.

Ade Armando juga memandang perlunya penguatan regulasi soal pembatasan kepemilikan. Dalam UU yang lama, definisi kepemilikan tidak diatur dengan jelas. "Seharusnya diatur, misalnya tidak boleh memiliki lebih dari satu wilayah yang sama. Itu kan jelas," katanya.

LBH Pers dalam rilisnya menilai draf yang diajukan dalam pembahasan RUU Penyiaran merupakan langkah mundur. LBH Pers mencatat beberapa kesalahan dalam draf yang baru yang diajukan oleh DPR periode 2014-2019. Kecacatan fatal itu diantaranya, pertama hilangnya pasal pembatasan atas kepemilikan perusahaan media. Kedua, karya jurnalistik akan menjadi target sensor. Ketiga meningkatnya alokasi waktu iklan komersial dan menurunnya waktu untuk layanan masyarakat. Keempat tidak diikutsertakannya dewan pers dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik.

Terhadap kecacatan itu, Ade menilai rancangan regulasi yang baru itu belum berpihak kepada masyarakat. "UU Penyiaran cukup bagus, cuma belum cukup tegas sehingga mudah diterjemahkan sesuai kepentingan pemodal," tukas Ade.

BACA JUGA: