JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sikap diam-diam dan tak terbuka Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menetapkan tersangka kasus korupsi sepertinya kembali terjadi. Kali ini dalam kasus suap terkait proyek pembangunan jalan di Kementerian Pekerjaaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa Musa Zainuddin yang beberapa kali diperiksa KPK dalam kasus ini, dikabarkan sudah ditetapkan menjadi tersangka. Sayangnya, KPK tak mengumumkan penetapan status tersangka atas Musa Zainuddin ini secara terbuka.

Musa, menjadi tersangka lantaran disangka turut bersama-sama melakukan korupsi dalam proyek tersebut. "Itu sudah (tersangka), kan irisan dari kasus PUPR ini," kata salah seorang penegak hukum kepada gresnews.com, Kamis (19/1).

Meski sudah ada keterangan dari penyidik soal ini, saat dikonfirmasi terpisah, Juru Bicara KPK Febri Diansyah enggan berkomentar mengenai hal tersebut. Ia mengaku belum mendapat informasi tantang naiknya status Musa menjadi tersangka karena perkaranya telah menjadi tahap penyidikan.

Nama Musa memang kerap kali muncul dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK. Seperti atas perkara Bos PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir, anggota dewan Damayanti Wisnu Putranti dan Budi Supriyanto serta yang terbaru Kepala Balai Pembangunan Jalan IX Amran Hi Mustary.

Dalam dakwaan Damayanti Jaksa pada KPK menyebut politkus PKB Musa Zainuddin ikut menerima duit suap dari Dirut PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir. Anggota Komisi V DPR RI ini menerima fee sebesar 8% atau senilai Rp8 miliar dari total nilai proyek pembangunan atau rekonstruksi jalan di Maluku dan Maluku Utara.

"Musa Zainuddin menyetujui permintaan terdakwa (Abdul Khoir) agar proyek aspirasinya senilai Rp104,76 miliar diserahkan untuk dikerjakan oleh terdakwa dan So Kok Seng alias Aseng (Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa) dengan komitmen terdakwa dan Aseng memberikan fee 8% dari nilai proyek atau sejumlah Rp8 miliar," kata Jaksa Mochamad Wiraksajaya, Senin 4 April 2016.

Kemudian nama Musa juga muncul dalam surat dakwaan Kepala BPJN IX Amran Hi Mustary. Bahkan, Musa disebut bersama-sama dengan Amran menerima uang untuk memuluskan pembahasan anggaran di Kementerian PUPR melakukan tindak pidana korupsi.

"Melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, menerima hadiah atau janji, yaitu menerima hadiah berupa uang dari beberapa rekanan yakni Abdul Khoir selaku Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama," kata Jaksa KPK Iskandar Marwanto saat membacakan surat dakwaan atas terdakwa Amran Hi Mustary.

"Aseng menitipkan pemberian ke Musa kepada Abdul Khoir sehingga Abdul Khoir secara bertahap memberikan keseluruhan fee sebesar Rp8 miliar melalui tenaga ahli anggota DPR bernama Jaelani pada 16 November-28 Desember 2015," sambung Jaksa Iskandar Marwanto.

PROSES SUAP KEPADA MUSA - Dalam persidangan dengan terdakwa Amran yang dilangsungkan, Rabu (18/1) kemarin, salah satu staf ahli anggota Komisi V DPR Jaelani mengungkap proses suap yang terjadi kepada Musa. Pemberian suap memang terjadi tidak secara langsung, tetapi melalui perantara lain.

Jaelani awalnya mengungkap perkenalannya dengan Khoir yang dimulai pada Agustus 2015 pada sebuah acara buka puasa bersama. Setelah itu terjadilah perbincanga dan keduanya saling bertukar nomor telepon.

Perkenalan ini pun bukan tanpa sebab, karena Jaelani menjelaskan, Khoir meminta bantuannya agar mendapat jatah pengerjaan proyek di Maluku dan Maluku Utara termasuk dari dana aspirasi milik Musa.

"Minta bantu ke saya dan menurut kode Pak Musa. Saya tidak teralu kenal musa, lalu Pak Khoir sampaikan program nilai Rp150 miliar," kata Jaelani di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (18/1).

Meskipun mengaku tidak terlalu mengenai tetapi Jaelani tetap berusaha bertemu Musa untuk menyampaikan permintaan Khoir. Pertemuan pertama terjadi saat masa reses dan kunjungan kerja di Lampung. "Lalu saya bilang disuruh Khoir soal program di Maluku, katanya ya udah nanti saya ke Jakarta, sebelum Natal, tanggal 24 Desember 2015," tutur Jaelani.

Selang dua hari kemudian ia mendatangi rumah Musa di kompleks Perumahan DPR, Kalibata, Jakarta Selatan. Awalnya Musa mengaku, dana aspirasinya sudah menjadi pihak lain, namun belakangan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini pun menyetujui permintaan itu.

Sebelum memberikan persetujuan, Musa sempat menanyakan berapa fee yang ia dapatkan. "Lalu (Musa) bilang mau dikasih berapa? kata saya 7 persen seperti yang disampaikan Khoir," tutur Jaelani yang kemudian melanjutkan dari dana aspirasi Rp150 miliar, Khoir mendapat Rp100 miliar.

Khoir sendiri sebelumnya telah menitipkan sejumlah uang kepada Jaelani sebagai "amunisi" suap para anggota dewan dengan total uang yang diberikan Rp12,2 miliar. Dari jumlah tersebut Musa mendapat Rp7 miliar, anggota DPR Komisi V lainnya Andi Taufan Tiro Rp3,9 miliar, dan sisanya menjadi jatah Jaelani, Rino dan seorang pejabat BPJN IX lain.

Dalam proses pemberian suap, Musa memberikan nomor seorang yang jadi perantara dari kasus ini. Kemudian diketahui di belakang hari orang yang dimaksud adalah Muttaqien, salah seorang staf ahli Komisi V DPR RI.

Pemberian suap dilakukan cukup singkat. "Awal saya enggak kenal yang bersangkutan, Musa hanya berikan nomor ada orang saya coba di telepon. Setelah ketemu waktu itu saya nelpon ada yang ngangkat katanya ada orang Pak Musa. Lalu di pemeriksaan berikutnya ada foto lalu muncul satu orang, di Facebook yang ditunjukkan penyidik namanya Muttaqien, yang ditunjukkan foto, saya bilang kayaknya yang ini (Muttaqien)," jelasnya.

Saat ditanya apakah Jaelani mengenai Muttaqien, ia menjawa singkat. "Familiar, karena di DPR pernah papasan, di DPR sering papasan saya orang makanya kenal muka," ujarnya.

BACA JUGA: